Budaya tak sekadar warisan seni dalam kertas berdebu minta dicetak  ulang, batu-batu rapuh minta dipugar atau juga gagasan beku nenek-moyang  minta dielus atau dikritik bahkan dihancurkan, tapi ia  adalah semua  dalam material dan immaterial yang cahayanya memancar tanpa diminta atau  dijelaskan bahkan. Bukankah kita sering mendengar Bali, pulau dewata,  Jawa: halus-lembut, eropa: liberal, soviet: revolusioner, Padang:  cinanya Indonesia alias pintar dagang dan lain-lain. Semuanya itu sering  disebut Ethos. Dicitrakan dalam karya-karya seni: sastra-sastranya,  musik-musiknya, tari-tariannya, rumah-rumahnya, gedung-gedungnya,  taman-tamannya, pesta-pestanya, jalan-jalannya, tingkah-lakunya,  humor-humornya dan akhirnya kosmos keseluruhan dalam alam pikirannya  untuk memahami ontologi keberadaan dirinya dan alam semesta ruang dan  waktu tempat ia berdiri hidup, bernafas dan mati. Atau singkatnya  Filsafat.
Dalam praktek hidup manusia yang panjang itu sampai  juga pada pemahaman masyarakat berkelas: penindas dan kaum tertindas  bahkan kesimpulan dari hidupnya: sejarah manusia adalah sejarah  perjuangan klas yaitu perjuangan dan pemberontakan antara kaum tertindas  kepada kaum penindas. Tanpa penindasan tentu tak akan ada perjuangan  pembebasan. Itulah yang menggerakkan roda kemajuan zaman. Pemahaman ini  dimulai oleh Hegel dan diteruskan para pengikutnya terutama yang  bergerak di lingkaran Hegelian Kiri, termasuk Karl Marx.
Di sini, dimulai peletakan batu fondasi budaya pembebasan. Heine menyatakan dalam syair: 
Terimakasih bagi Hegel
Yang mengajari saya 
Bahwa Tuhan yang baik
Tidak bermukim di dalam surga
Seperti yang dikatakan nenek
Tapi saya sendiri 
Dapat jadi Tuhan yang baik
Bangunan  budaya pembebasan pun terus menemukan bentuk. Gerakan pembebasan ini  berkait erat dengan perlawanan-perlawanan rakyat dalam berbagai bentuk  termasuk  seni yang berkehendak membebaskan diri dari sistem  penindasan  dan penghisapan bahkan menemukan jenis manusia yang menjadi juru-slamat  seni dari penindasan Kapitalisme yakni klas pekerja. 
Itulah  capaian filsafat abad ke-19. Ia seperti menara tinggi yang sanggup  melihat capaian kebudayaan masa lalu dan masa depan.  Kebudayaan masa  lalu yang bagaimana yang harus dimaknai sebagai hasil kemerdekaan  manusiawi atau harus dihancurkan karena bermakna anti-manusia dan  bagaimana kebudayaan masa depan harus dibangun yaitu  budaya yang  membebaskan manusia dari sistem penindasan dan penghisapan.
Kearifan  pembebasan macam itu sampai juga pada kita yang berada di persimpangan  budaya: nusantara. Sneevlit membawa api baru dalam gerakan pembebasan.  Ia membangunkan organisasi yang berlawan pada tahun 1914. Membangkit  orang-orang pribumi untuk menyadari sistem penindasan dan penghisapan  yang berlaku atas negeri dan rakyat nusantara serta melawannya. Hasil  dari olahan tangannya adalah Semaun: remaja non akademik yang  berkesadaran maju, di bidang  ideologi, politik dan organisasi pada usia  13 tahun. Pada usia remaja ini, Semaun telah dipercaya menjadi  sekretaris SI cabang Semarang. Tentu ini suatu kemampuan yang ajaib yang  tak akan ditemukan pada masa sekarang. Pada masa lalu kalau kita  percaya tentu yang dapat menyaingi adalah Yesus yang sanggup berdebat  dengan para rabbi Yerusalem pada usia 12 tahun. Obor pembebasan di  nusantara ini terus menjalar, meretas jalan pembebasan dan berusaha  memahami detail keringat untuk kerja pembebasan yang telah ditempuh para  pekerja sebelumnya. Alat-alatnya telah ditaburkan ISDV minimal arah  pembebasan  manusia secara komprehensif.
***
Tanpa Obor: Kegelapan pun Harus dimaknai
Beberapa  orang menolak ada basis budaya pembebasan di Indonesia (di Nusantara).  Yang ada melulu budaya pembodohan, penindasan. Semua budaya yang  membebaskan datang dari luar yang datang bersama imperialisme: Belanda  menghapuskan budaya sutee dan melarang kanibalisme, Inggris  menghancurkan pemilikan tanah yang feodal. Bersama mereka juga dibawa  nilai-nilai baru: demokrasi, sosialisme, nasionalisme, pendidikan:  zending yang kemudian ditiru Muhamaddiyah. Rapat, kongres, pertemuan,  notulensi dan vergadering, termasuk teater pun dibawa oleh mereka.  Pramoedya juga berada dalam posisi seperti ini. Tapi benarkah begitu?  Kalau ukurannya adalah gerakan pembebasan modern dengan cara pikir yang  modern: rasionalitas. Tentu pendapat ini dibenarkan. Logika modern  sendiri baru dikembangkan Aristoteles pada abad 4 SM. Cara berpikir yang  berangkat dari kesimpulan atas perenungan manusia sendiri baru  berkembang pada beberapa abad sebelum Aristoteles. Semua itu terjadi di  Asia kecil dengan Yunani sebagai bintangnya. Kebudayaan ini meluas  bersamaan meluasnya kerajaan Macedonia di bawah Alexander Agung:  Helenisme yang sampai juga di India. India kelak menjadi kiblat  kebudayaan berabad-abad  kerajaan-kerajaan nusantara. Pengaruhnya sampai  kini terasa terutama dalam bahasa. Bahkan pernah  menguasai bahasanya,   Sangskerta dianggap menguasai bahasa dewa, kemudian bahasa yang indah  dan menjadi kembangnya bahasa Jawi yang menjadi syarat bila ingin  menjadi pujangga. 
India memperkenalkan huruf, cara berhitung dan  pengaturan masyarakat dan tentu saja cara berpikir dan kepercayaanya.  Pram memaknai ini sebagai perubahan dari kondisi komunal purba ke  feodalisme sebagai penindasan pertama. Semua ini dipastikan dilakukan  dengan cara kekerasan. (Baca Hoa Kiau di Indonesia) Bagaimana ini  berjalan belum pernah ada penelitian. Kebanyakan penulis Kebudayan  Indonesia, Pengaruh India berlaku dengan perdagangan dan penyebaran  agama yang selanjutnya berkembang di masyarakat karena diterima dengan  damai. Perlawanan yang ada adalah perlawanan budaya dengan tetap  mempertahankan ciri-ciri lokal yang dianggap dikerjakan oleh para genius  lokal yang tak ingin larut dalam indianisasi. Misalnya Candi yang  berundak, dengan pundennya dianggap budaya asli. Lantas: cara penguburan  bujur selatan-utara, bahkan dianggap sebagai simbol perlawanan dan  kehati-hatian karena dari utaralah datang kematian dan kehidupan. 
Masa-masa  gelap di bawah feodalisme ini berlangsung lama tanpa kepemimpinan yang  jelas. Tak ada terang budaya yang membebaskan. Intrik-intrik kotor khas  feodal berlangsung terus: mulai dari rebutan kerajaan sampai selir.  Walau begitu kegelapan ini diterangi dengan:  peribahasa,  cerita dan  dongeng perlawanan tanpa akhir dari para pengembara ksatria yang setia  pada rakyat kecil: seperti Joko Umboro, Joko Lelono dan seringkali  dengan mengangkat cerita budaya di luar mainstream Kraton:  seperti  Syech Siti Jenar, Arya Penangsang, Mangir, atau Centhini atau menulis  satir dengan nama-nama gelap seperti yang disinyalir dikerjakan oleh  Ronggo Warsito.  Sampai pada Cipto, Mangir dijadikan tokoh untuk melawan  feodalisme Kraton,  Ronggo Warsito sampai pada lekra masih harus  diteliti dan diterjemahkan syair-syair kerakyatannya. Arya Penangsang  oleh Pram melalui Tirto dijadikan tokoh acuan yang memberontak terhadap  Kebudayaan yang beku, pedalaman. 
Beberapa peribahasa yang  dianggap maju, progresif menjelaskan ketertindasan rakyat dan memberi  ruang kesadaran untuk melawan misalnya:
Nek awan duweke sing nata nek wengi duweke dursila
Mutiara asli tetap berkilau, meski ditutupi lumpur kebohongan.
Becik ketitik ala ketara
Siapa menanam angin, akan menuai badai
Berakit-rakit kehulu berenang-renang ketepian – Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian
Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, ,
Ada udang dibalik batu 
Sedia payung sebelum hujan
Peribahasa-peribahasa  ini belum diteliti latar-belakang kemunculannya dan kapan. Cuma alat  budaya yang muncul pada masa seperti ini kebanyakan berupa puisi yang  kemudian disarikan dalam pepatah dan peribahasa. Atau malah sebaliknya:  hanya pesan-pesan bijak.
Melawan Budaya Penjajah
Kedatangan  kolonialisme Barat yang padamulanya karena rempah-rempah menimbulkan  derita bagi rakyat. Tak seperti Jepang yang berusaha melawan kekuatan  Barat dengan pengiriman rakyatnya yang cerdas untuk menimba ilmu di  Barat atau dengan usaha menterjemahkan buku-buku barat ke bahasa Jepang  secara massal, kaum feodal Indonesia justru bekerja sama dengan kolonial  menindas rakyat. Rakyat tanpa kepemimpinan modern melawan dengan  caranya sendiri-sendiri. Terkadang bersekutu dengan bangsawan yang  kecewa karena tak dapat warisan kekuasaan seperti kaum tani yang rela  menjadi prajurit Pangeran Diponegoro 1825-1830. 
Perang  Diponegoro yang didukung kaum tani ini membekas dalam ingatan rakyat.  Terlebih penangkapan Dipo sendiri telah diabadikan dalam lukisan Raden  Saleh, seorang pelukis pribumi yang sanggup menguasai teknik melukis  Barat. Chairil Anwar pun membangunkan Ode buat Dipo dalam Sajak  Diponegoro di tahun 1945. Berbagai perlawanan atau cerita paska  perlawanan Diponegoro terus membekas dan menjadi inpirasi para pejuang.  Beberapa bahkan bangga menjadi keturunan prajurit Diponegoro: lihat film  Dua Ksatria. Prajurit-prajurit Dipo yang kalah perang enggan pulang dan  meneruskan dengan caranya sendiri termasuk dengan bentuk-bentuk  kesenian. Sebagian lagi menjadi basis bagi kemunculan semi proletar di  kota-kota Jawa.
Kedatangan kolonialisme 
Peranan Max Havelaar
Diskriminasi  sosial yang sangat mencolok misalnya telah menyadarkan Mas Marco akan  harga dirinya sebagai manusia. Perlakuan sewenang-wenang di stasiun  kereta api dan penempelengan kuli-kuli telah merangsang Marco untuk  bergerak. Pembacaannya tentang sejarah dunia, buku-buku Multatuli, Veth  dan lain-lain telah ikut mempercepat kesadaran akan kebebasan Indonesia  (Soe, dblm)
Kartini: Ibu Budaya Pembebasan
Kartini dalam  berbagai surat-suratnya yang kemudian diterbitkan menjadi bacaan kaum  pergerakan sekaligus bahkan memberi arah gerakan, memberi jiwa.  Karenanyalah Kartini menjadi sumber inspirasi gerakan budaya pembebasan.
Djawa  Dipa 1914, sebuah gerakan anti feodal Jawa yang berkembang menjadi  gerakan anti kolonialisme Belanda; dilanjutkan dengan pergulatan Ki  Hadjar Dewantara membangun Taman Siswa, gerakan pendidikan modern yang  berbasiskan kebudayaan asli (Jawa) bagi rakyat jajahan; dan terakhir  tentang pilihan "Barat" dan "Timur" dalam polemik kebudayaan tahun  1930-an. (Supartono)
Selamanja saja hidoep, selamanja
saja aan berichtiar menjerahkan djiwa
saja goena keperloean ra'jat
Boeat orang jang merasa perboetannja baik
goena sesama manoesia, boeat orang seperti
itoe, tiada ada maksoed takloek dan teroes
TETAP menerangkan ichtiarnja mentjapai
Maksoednja jaitoe
HINDIA MERDIKA DAN SLAMAT
SAMA RATA SAMA KAJA
SEMOEA RA'JAT HINDIA
(Semaoen, 24 Djoeli 1919)
Soe Hok Gie
Di Bawah Lentera Merah, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1999 
Dan waktu itu juga sering terbaca betapa keadaan orang-orang buangan di  Digul. Saya pernah membaca betapa kerasnya watak Mas Marco,  Boedisoetjitro, Winanta dan Najoan yang menolak utusan Gubernur jenderal  menemui mereka. Padahal pertemuan dengan utusan Hilman itu mungkin akan  membebaskan mereka dari neraka Digul. Kadang-kadang saya membaca  beberapa segi dari kehidupan tokoh-tokoh komunis ini. Misalnya, tentang  kebandelan Mas Marco dan kedermawanan Najoan, kesemuanya sangat menarik  hati 
Itulah sebabnya maka studi mengenai pemberontakan 1926, harus  dimulai dari studi terhadap awal mulanya pergerakan kaum "Marxis"  Indonesia. Dan dalam hal ini kita harus mulai dengan Sarekat Islam  Semarang. Permulaan abad keduapuluh merupakan salah satu periode yang  paling menarik dalam sejarah Indonesia, karena sekitar tahun-tahun  itulah terjadi perubahan-perubahan sosial yang besar di tanah air kita.  Pesatnya perkembangan pendidikan Barat, pertumbuhan penduduk yang  meningkat cepat dan mulai digunakan teknologi modern, kesemuanya  menimbulkan perubahan sosial di Indonesia. Nilai-nilai tradisional yang  telah mengakar di bumi Indonesia, tiba-tiba dikonfrontasikan secara  intensif dengan nilai-nilai tradisional mereka dan malah ada yang sudah  mulai melepaskannya, walaupun pegangan yang baru belum mereka peroleh.  Ketiadaan pegangan menciptakan rangsangan untuk mendapatkan suatu  pegangan. Sebagian dari mereka mencarinya di dalam pemikiran-pemikiran  Islam, sedang yang lain mencari dengan menggali kembali kebudayaan lama  untuk disesuaikan dengan dunia mereka yang modern. Sebagian lainnya lagi  mencarinya di dalam alam pemikiran Barat.
Suatu gerakan hanya  mungkin berhasil bila dasar-dasar dari gerakan tersebut mempunyai  akar-akarnya di bumi tempat ia tumbuh. Ide yang jatuh dari langit tidak  mungkin subur tumbuhnya. Hanya ide yang berakar ke bumi yang mungkin  tumbuh dengan baik. Demikian juga halnya dengan gerakan sosialistik  Sarekat Islam Semarang. Saya pikir, bukanlah hal yang kebetulan saja  menghebatnya gerakan-gerakan Samin di tahun 1917, bersamaan waktunya  dengan munculnya ide-ide sosialis Sarekat Islam Semarang. Bahkan Sarekat  Islam merasa adanya persamaan dasar, walaupun yang satu dicetuskan  dalam suasana tradisional, sedang yang lainnya dengan jubah modern.  Gerakan komunis bahkan mereka terjemahkan dengan gerakan Saminis.2) Dan  jika kaum Saminis menggunakan bahasa Jawa kasar untuk siapa saja, maka  dalam masa yang bersamaan kita juga menemui gerakan Jawa Dwipa. Yang  satu bergerak di desa, sedang yang lainnya di Surabaya. 
Dalam  kata pengantarnya mereka menyatakan bahwa haluan Sinar Djawa akan lebih  radikal dan terhadap pemerintah mereka akan menilainya secara jujur,  sedangkan terhadap kaum kapitalis dan kaum priyayi yang memeras akan  mereka musuhi.2)
Tetapi ada pula kelompok yang mengajukan konsepsi  Marxistis dalam membahas realitas sosial ini, dan tokoh utamanya adalah  Hendricus Fransiscus Marei Sneevliet, ketua ISDV.3) Sneevliet bersama  kaum ISDVnya berhasil mempengaruhi sekelompok angkatan muda dari Sl baik  di Semarang (Semaoen, Darsono, dan lain-lain), Jakarta (Alimin dan  Muso), Solo (H. Misbach) maupun di kota-kota lainnya.
Dari  Sneevliet-lah mereka belajar menggunakan analisis Marxistis untuk  memahami realitas sosial yang dialami. Mereka berpendapat bahwa sebab  dari kesengsaraan rakyat Indonesia adalah akibat dari struktur  kemasyarakatan yang ada, yaitu struktur masyarakat tanah jajahan yang  diperas oleh kaum kapitalis.
Dengan kekuasaan keuangannya, sejumlah  orang berhasil memeras kekayaaan alam Indonesia, sekaligus memeras  rakyatnya. Kemiskinan yang lahir sebagai akibatnya menumbuhkan  kriminalitas di kalangan rakyat Indonesia dalam bentuk perampokan dan  kelaparan.4) Kesengsaraan itu menjadi semakin berat lagi oleh peperangan  (Perang Dunia I). Perang ini disebabkan adanya persaingan antara  kepentingan kaum kapitalis Eropa (Kapitalis Inggris melawan Jerman). Di  dalam analisisnya mereka melihat perkebunan, terutama perkebunan tebu  sebagai penyebab kemiskinan yang nyata. Dan cara untuk mengatasinya  hanyalah dengan sosialisme, yaitu menasionalisasikan  perusahaan-perusahaan yang penting bagi hajat hidup rakyat.
Pernerintah  yang seyogyanya memperhatikan kepentingan rakyat terbanyak, tidak  memperhatikannya dan malah memihak kepada kaum kapitalis. Menurut mereka  pemerintah masa itu mewakili kaum uang.5) Karena itu ia bertentangan  dengan kepentingan kaum Kromo, dengan rakyat terbanyak.6) Bahkan para  anggota Tweede Kamer sendiri, berkepentingan dengan adanya pabrik-pabrik  gula. Mereka mempunyai saham-sahamnya di sana.7) Pemerintah dan para  pengusaha tidak memperhatikan rakyat dan bahkan karena mempunyai banyak  uang mereka dapat membeli dan menyogok pegawai-pegawai pemerintah.
Tetapi  ketika adanya bahaya yang mengancam dari luar. Tanpa malu-malu kaum  kapitalis/pemerintah menganjurkan adanya milisi Bumiputra. Padahal  milisi ini bertujuan untuk melindungi kapital mereka sendiri, dengan  menjadikan orang Indonesia sebagai umpan peluru.12) Secara sarkastis Mas  Macro mensajakkan:
Indie Weebaar jang dibitjarakan
Sana sini sama mengatakan
Indie Weerbaar akan memasoekkan
anak Hindia di lobang meriam.13)
Karena  itu, demi kepentingan Indonesia sendiri, Indie Weerbaar harus dilawan.  Dalam bidang perburuhan pun Pemerintah berpihak kepada kaum majikan. Dan  tidak mau peduli pada pihak kaum buruh.
Aksi-Aksi Sarekat Islam Semarang (Mei 1917-Oktober 1918)
Goena apa menoelis soerat
Kalau masih dapat berjoempa
Goena apa dapat Volksraad
Kalau masih koerang Sempoerna
Tindakan-Tindakan Pemerintah
.  Marco, musuh tradisional Belanda, hampir-hampir pula dijerat Asisten  Residen karena ia menulis sebuah sajak yang dapat ditafsirkan sebagai  anjuran mengusir kaum "kafir".8).l0)
Sastra Liar Yang Membebaskan
Beberapa  tahun yang lalu, ketika meneliti koran-koran awal tahun tiga puluhan,  saya kadang-kadang membaca berita-berita di sekitar proses pengadilan  terhadap kaum komunis. Mereka ini, bukanlah tokoh-tokoh utamanya,  melainkan hanya peserta biasa saja. Di dalam mengemukakan alasan mengapa  mereka ikut memberontak di tahun-tahun 1926-1927, kebanyakan data  menunjukkan kepada sebab-sebab kemiskinan. Biografi "rakyat kecil" ini  pun sangat menarik. Terkadang, hanya karena hutang 50 sen, atau karena  soal-soal kecil lainnya, mereka berani melawan Belanda. (soe)
"BACAAN LIAR": BUDAYA DAN POLITIK PADA ZAMAN PERGERAKAN
oleh Razif
Pengantar
Sementara  itu para pemimpin pergerakan sendiri memandang produksi bacaan mereka  sebagai bagian yang tak terpisahkan dari mesin pergerakan: untuk  mengikat dan menggerakkan kaum kromo--kaum buruh dan kaum tani yang tak  bertanah. Produksi bacaan dapat berbentuk surat kabar, novel, buku,  syair sampai teks lagu. Bagi kaum pergerakan, bacaan merupakan alat  penyampai pesan dari orang-orang atau organisasi-organisasi pergerakan  kepada kaum kromo. Oleh spektrum revolusioner dan radikal dari kaum  pergerakan, bacaan diisi pesan tentang jaman yang telah berubah dan  penindasan kekuasaan kolonialisme. Tujuan dari pesan-pesan tersebut  adalah agar dapat mengajak rakyat--kaum kromo--melawan penjajah,  sebagaimana pernah dinyatakan Marco:
"...kapitalist Europa, dia orang  soedah sama bersepakat dengan bangsanya kapitalis alias membikin  Maatschappij jang besar-besar, dan akalnja menggaroek oeang, jaitoe  menghisap darahnja kromo, soedah amat pintar sekali."
Kurun 1920-1926  merupakan masa membanjirnya "bacaan liar," saat terbukanya celah-celah  yang relatif "demokratis" bagi pentas pergerakan. Misalnya, pada Kongres  IV tahun 1924 di Batavia, PKI mendirikan Kommissi Batjaan Hoofdbestuur  PKI. Komisi ini berhasil menerbitkan dan menyebarluaskan tulisan-tulisan  serta terjemahan-terjemahan "literatuur socialisme"--istilah ini  dipahami oleh orang-orang pergerakan sebagai bacaan-bacaan guna  menentang terbitan dan penyebarluasan bacaan-bacaan kaoem modal. Semaoen  adalah orang yang pertama kali memperkenalkan pengertian "literatuur  socialistisch." Dalam artikelnya, Klub kominis!, dikatakan: "socialisme  jalah ilmoe mengatoer pergaoelan idoep, soepaja dalem pergaoelan idoep  itoe orang-orangnja djangan ada jang memeres satoe sama lain.1) Tujuan  memilih, menerbitkan dan menyebarluaskan tulisan yang mengajarkan  sosialisme adalah; Pertama, untuk menghapuskan hubungan-hubungan sosial  lama--yang telah usang yang tetap dipertahankan oleh kekuasaan  kolonial--seperti aturan sembah jongkok ketika bertemu dengan pejabat  atau pembesar kolonial. Kedua, "literatuur socialisme" melakukan oposisi  untuk melawan dominasi penerbitan barang-cetakan yang diproduksi oleh  Balai Poestaka (BP).2) Dengan kata lain, di atas pentas politik  pergerakan, "literatuur socialisme" merupakan "hati dan otak" dari  gerakan massa. Dengan produksi bacaan tersebut, rakyat jajahan  diperkenalkan dan diajak masuk ke dalam pikiran-pikiran baru yang  modern, dan karena itulah "literatur socilisme" harus ditulis dengan  bahasa yang dipahami oleh kaum kromo.Runtuhnya `bacaan liar' sendiri tak  dapat dipisahkan dari perkembangan pentas politik pergerakan khususnya  ketika terjadi pemberontakan nasional dalam tahun l926/l927. Ketika  diberangusnya organisasi-organisasi radikal oleh diktaktor kolonial,  terjadi pula pemberangusan produksi bacaan liar. Meskipun berbagai  lembaga dihancurkan, namun praktek dan gagasan pergerakan yang telah  hidup pada tahun 1920-an tetap hidup walau dengan bentuk dan isi yang  berbeda. Hal ini, misalnya, dapat dilihat dari tetap hidupnya serikat  buruh--sekalipun tidak dengan intensitas dan kegarangan yang  sama--maupun gerakan-gerakan radikal lainnya yang tumbuh pada tahun  1930-an. Sudah tentu bentuk bacaan pun mengalami perubahan. Sebagai  contoh pada tahun 1933 Sutan Sjahrir masih menulis buku Pergerakan  Sekerdja. Buku Sjahrir ini dimaksudkan untuk membangkitkan kembali  gerakan buruh.3) Tulisan Sjahrir ini secara jernih mengetengahkan: "Di  dalam masa kemerdekaan beloem tentoe kaoem boeroeh djoega merdeka."4)  Tulisan lain yang dapat ditemui adalah karya Moesso, Djalan Baroe, yang  terbit tahun 1948, yang mencoba mengembalikan gerakan politik seperti  tahun 1920-an--di mana aspirasinya sangat demokratis.
Berangkat dari  pijakan bahwa "literatuur socialitisch" tidak terlepas dari aktivitas  politik pergerakan, dalam penelitian ini pandangan akan lebih diarahkan  pada para pemimpin pergerakan yang memproduksi bacaan tersebut; apa yang  mereka bayangkan tentang pergerakan; apa yang mereka hadapi dalam  situasi pergerakan; dan bagaimana usaha mereka memecahkan kontradiksi  antara penjajah dan yang dijajah. Persoalan-persoalan di atas lalu  menimbulkan berbagai pertanyaan: Bagaimana "literatuur socialitisch"  pertamakali disebarluaskan? Bagaimana distribusi bacaan tersebut?  Bagaimana hubungan percetakan dengan bacaan tersebut? Bagaimana pendapat  kaum pergerakan baik yang terlibat langsung ataupun tidak terhadap  bacaan tersebut? Seberapa jauh tindakan pemerintah kolonial dalam  mengantisipasi derasnya bacaan tersebut--terutama Balai Pustaka yang  men-cap-nya sebagai "bacaan liar?" Dan juga pertanyaan yang cukup  penting: mengapa "bacaan liar" seringkali dihasilkan di penjara?  Selanjutnya untuk memperjelas dapatkah terbitan-terbitan BP melakukan  pencegahan terhadap bacaan liar, maka saya akan mengkonfrontasikan  "bacaan liar" di sana-sini dengan produk-produk bacaan Balai Poestaka.
Untuk  lebih memahami "bacaan liar" secara komprehensif, maka perlu diteliti  karya-karya pemimpin pergerakan, seperti Raden Darsono yang melakukan  perang suara (perang pena) dengan Abdoel Moeis. Serangan Darsono  terhadap Abdoel Moeis berjudul "Moeis telah mendjadi Boedak Setan  Oeang." Atau karya Darsono lainnya yang menentang peraturan kolonial  yang berjudul "Pengadilan Panah Beratjun." Dan juga Karya Semaoen  Hikayat Kadiroen--buah karya di dalam penjara. Dan juga yang menjadi  pertanyaan dalam penulisan ini bagaimana makna hikayat dipahami oleh  para pendukungnya?
Sementara seorang peneliti lain, Paul Tickell,  melakukan sebuah studi komprehensif tentang novel Student Hidjo karya  Mas Marco Kartodikromo dan Hikayat Kadirun buah pena Semaoen.5)
Tickell  juga berhasil menjawab bagaimana perspektif negara kolonial dalam  memandang "bacaan liar." Kekuasaan kolonial memberi pandangan dan makna  untuk "bacaan liar" sebagai bacaan yang mengagitasi rakyat untuk  melakukan "pemberontakkan," sehingga penulisnya pun diberi "cap"  pengarang liar.
Bagian kedua akan membahas bagaimana panggung  pergerakan menjadi bagian dari perkembangan "bacaan liar" (literatuur  socialistisch). Terutama, bagaimana surat kabar menjadi organ yang  mendidik kaoem kromo--sehingga mereka dapat ikut dalam perdebatan atau  perang soeara di antara kaum pergerakan sendiri maupun terhadap  kebijaksanaan negara kolonial. Mulai dan masuknya gagasan sosialisme  terbentuk dari sini, terutama dengan pecahnya revolusi Bolsjevik di  Rusia pada tahun 1917 yang sangat mempengaruhi bentuk "bacaan liar."
Dalam  bagian ketiga dari tulisan ini, saya akan membandingkan produk "bacaan  liar" dengan produk Balai Poestaka (BP), baik dari segi produksi,  konsumsi, distribusi maupun pertukaran. BP yang sangat erat berhubungan  dengan Het Kantoor voor Inlandsze Zaken (Kantor Urusan Bumiputra) turut  mewarnai surat kabar dan bacaan bumiputra dengan semangat politik  etisnya. Dengan mensejajarkan BP dengan produk "bacaan liar" akan  terlihat bagaimana proses tumbuh dan berkembang yang kompleks dari  "bacaan liar" yang sebelumnya tidak diarahkan untuk menyerang BP. Baru  pada tahun 1924 berdiri institusi Kommisi Batjaan Dari Hoofdbestuur PKI  yang secara terus-terang menentang produk bacaan BP sebagai geest  kapitalisme (kapitalisme jiwa). Dengan berdirinya komisi batjaan ini  maka terlihat bahwa proyek negara kolonial tidak dapat melakukan  hegemoni terhadap penduduk kolonial Hindia, tetapi yang dapat dilakukan  hanyalah dengan dominasi--hal ini terbukti dengan dihancurkannya  institusi-institusi pendukung "bacaan liar."
Bagian terakhir dari  tulisan ini, saya akan menguji berbagai produk bacaan Kommisi Batjaan  Dari Hoofdbestuur PKI yang peranannya tidak terbatas semata-mata untuk  menyebarkan ide-ide, pendidikan politik dan merangkul sekutu-sekutu  politik. Karena makna sebuah bacaan bukan sekedar sekumpulan propagandis  dan agitator, akan tetapi juga sekumpulan organisatoris. Dalam  pengertian ini, bagaikan meniti tangga ke sebuah bangunan, yang dapat  lebih mempertajam lengkung-lengkung struktur bangunan, bacaan menjadi  fasilitas komunikasi di antara kaoem kromo, mempermudah mereka  membagi-bagi kerja, dan memandang hasil bersama yang mereka capai dengan  tenaga kerja yang terorganisir. Namun demikian apa yang dicapai oleh  PKI sebagai sebuah partai tidaklah demikian. Sehingga saya sangat  berkepentingan untuk menggali apa yang sebenarnya terjadi pada tahun  1925 dan 1926?
.
Sementara itu rumah-rumah cetak Tionghoa  peranakan muncul tidak berbeda jauh dari rumah-rumah percetakan  kepunyaan orang-orang Eropa. Memang untuk pertamakali mereka masih  mencetak di perusahaan percetakan Van Dorp, dan hanya menterjemahkan dan  menerbitkan Boekoe tjerita Tjioe Koan Tek anak Tjioe Boen Giok,  terkarang oleh Soeatoe Orang Tjina. Tetapi kemudian mereka, pada paruh  abad ke-19 telah menerbitkan suratkabar berbahasa Melayu dengan tulisan  Latin yang terbit di Jawa: Soerat Chabar Betawie terbit tahun 1858,  Selompret Melajoe muncul pertamakali tahun 1860 dan Bintang Soerabaja  tahun 1860.25)
ahun 1877 Tjiong Hok Long mendirikan rumah cetak Goan  Hong dan Liem Kim Hok pada tahun 1885 membeli percetakan kepunyaan  seorang Belanda, Van der Linden. Banjirnya rumah-rumah cetak Tionghoa  peranakan dimulai pada penutup abad ke-19 seperti Goei P.H., Jo Tjiam  Goan, L.S.T. & T.H.L., Oei Tjoen Bin, Thio Tjeng Teng, dan Thio Tjoe  Eng, Tiong Hoa Wi Sien Po yang berdiri tahun 1906.
Sementara itu  bentuk-bentuk bacaan yang diproduksi oleh penulis dan rumah cetak  Tionghoa peranakan lebih beragam ketimbang produk penulis dan rumah  cetak Eropa yang yang disebutkan di atas. Lebih beragamnya barang  cetakan dari orang Tionghoa peranakan seperti saduran karya-karya prosa  Shair Ong Tjiauw Koen Ho (1888) yang mengisahkan petualangan Putri Wang  Zhaoajun; Boekoe Elmoe Peladjaran, tersalin dari Boekoe Tjina Tjoe Ke  Hoen, njang amat bergoena sekalie boeat kasie mengertie pada sekalian  orang (1888), cerita yang bersifat nasehat dan pendidikan; Sair dari hal  datengnja Poetra Makoeta keradjaan Roes di Betawi dan pegihnja (1891),  cerita-cerita mengenai kejadian semasa. Selanjutnya karya-karya yang  dimaksudkan sebagai hiburan semata, seperti Rodja Melati Oleh Si Nonah  Boto (1891), terjemahan novel Kisah Hanwan dan Ular Putih (1893),  tulisan-tulisan keagamaan dan pendidikan Peladjaran Keloearga Guru Zhu  (1897), tulisan-tulisan revolusioner "Oeroesan Tiongkok" 15 tahoen di  moeka (1909).27)
Kertas untuk mencetak diimpor dari Jepang, sebab  harganya sangat murah ketimbang mereka memesan dari The Big Five yang  harganya jauh lebih mahal. Penterjemahan dan penyaduran karya-karya  revolusioner yang diproduksi oleh Tionghoa peranakan sangat membantu dan  mendorong penerbitan tulisan-tulisan "bacaan liar" pada tahun 1924-25  di bawah naungan Kommisi Batjaan Hoofdbestuur PKI. Karena itu tidak  terjadi sebuah pertarungan antara penulis dan penerbit "bacaan liar"  dengan penulis dan penerbit Tionghoa peranakan. Selain itu para penerbit  Tionghoa peranakan turut memberikan sumbangan dana untuk pergerakan  melalui pemasangan iklan. Hal ini akan saya bahas dalam akhir tulisan  ini.
Babak pertama dimungkinkan karena adanya orang-orang peranakan  Belanda dan Tionghoa yang memiliki rumah cetak dan surat kabar.28) Teks  bacaan yang diproduksi dimulai dengan terjemahan novel-novel fiksi  Eropa, seperti karya Robinson Crusoe dan Jules Vernes yang masing-masing  diterjemahkan oleh F. Wigeers dan Lie Kim Hok.29) Kemudian ditambah  dengan terjermahan fiksi-fiksi populer di antaranya Hikayat Sultan  Ibrahim, Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Jan Pieterzooncoen.  Ceritera-ceritera tradisional ini disebarluaskan melalui berbagai surat  kabar. Selanjutnya bacaan-bacaan ini juga diterbitkan dalam edisi buku  teks oleh sarjana-sarjana Belanda, seperti H.C. Klinkert dan A.F. von de  Wall.
Tetapi terobosan penting dilakukan oleh tiga jurnalis yakni,  F.H. Wiggers, H. Kommer dan F. Pangemanan. Dua orang pertama dari  golongan peranakan Eropa dan yang terakhir kelahiran Menado. Ketiga  orang ini yang mendorong dan mengarahkan penulisan-penulisan ceritera  asli dengan latar belakang sejarah Indonesia. Mereka menulis dengan  lancar dalam Melayu pasar dan karya-karya mereka dapat diterima baik di  kalangan Indo maupun Tionghoa peranakan. Tetapi di antara ketiga orang  tersebut yang paling produktif (menerbitkan tiga tulisan) adalah F.  Wiggers; di samping itu dia juga menterjemahkan berbagai buku  perundang-undangan resmi ke dalam bahasa Melayu, membantu Liem Kim Hok  dalam menterjemahkan karya Michael Strogoff, Le Comte de Monte Cristo.  Terjemahan paling penting yang ia buat adalah karya Melati van Java's  (nama pena Nicolina Maria Christina Sloots yang hidup dari 1853-1927,  seorang wanita Belanda yang banyak menulis tentang kehidupan Hindia  semasa penjajahan Belanda), Van Slaaf Tot Vorst. Ceritera ini merupakan  sebuah rekonstruksi imajinatif dari legenda Surapati yang dibumbui  dengan mengacu pada keris suci dan _djampe-djampe_ dan alur cerita penuh  dengan intrik dan romantika dalam keluarga kerajaan.30)
Sedangkan H.  Kommer lebih dikenal sebagai sastrawan pada masanya dengan karya "Nji  Paina" terbit di Batavia pada 1900 dan "Tjerita Njonja Kong Hong Nio"  yang terbit di Betawi tahun 1900, dikeluarkan oleh penerbit terkenal  pada masa itu: A. Veit & Co dan W.P. Vasques. H. Kommer dengan Nji  Paina-nya, sadar atau tidak, telah melancarkan kecaman tajam terhadap  kaum pemilik pabrik gula, yang saat itu merupakan tulang punggung Hindia  Belanda dalam mendapatkan devisa. Sedangkan karyanya yang lain Njonja  Kong Hong Nio yang baik dari bentuk maupun isi bisa disebut modern,  adalah sebuah dokumen tentang kehidupan di tanah partikelir dan swasta.  Karyanya ini mengisahkan tragedi kejatuhan bangsawan pribumi yang  diukiskan secara dramatis, sehingga kenyataan fiksi di sini terasa lebih  mencekam daripada kenyataan sosial sendiri.
F. Pangemanan berasal  dari marga Minahasa yang maju pada masanya, yang banyak menghasilkan  kaum terpelajar, yang pada umumnya dipersamakan (gelijkgesteld) dengan  komunitas Eropa di Hindia. Karyanya adalah Tjerita Si Tjonat dan Sjair  Rossina. Tjerita Si Tjonat berkisah tentang seorang bandit yang beraksi  di sekitar Batavia dan melakukan serangkaian pembunuhan, penculikan dan  perampokan terhadap orang-orang Eropa. Cerita ini adalah kisah  pertualangan yang romantis. Si Tjonat, walaupun seorang bandit, tidak  pernah melakukan pemerkosaan. Ia bahkan digambarkan oleh F. Pangemanan  sebagai seorang pahlawan. Sjair Rossina melukiskan seorang budak wanita  yang melarikan diri dari majikannya, tetapi jatuh ke dalam perangkap  seorang perampok. Dan tulisan ini juga diramu dalam bentuk petualangan  romantis. 
Sebaliknya literatur golongan Tionghoa peranakan dimulai  oleh Liem Kim Hok yang memulai karirnya dengan menulis Siti Akbari, yang  menceritakan penyebaran agama Hindu di Hindia. Dalam sejarah pers di  Hindia ia pernah menyusun aturan bahasa "Melayu Betawi" yang terbit  tahun 1891. Kemudian disusul oleh Nio Joe Lan yang menyadur Hikayat  Sultan Ibrahim, yang mengisahkan penyebaran agama Islam di Hindia. Karya  yang lebih maju dari golongan Tionghoa peranakan ditulis oleh Liem Koen  Hian dengan judul Ni Hoe Kong Kapitein Tionghoa di Betawi dalem Tahoen  1740 terbit tahun 1912. Tulisan ini menggambarkan peristiwa pembunuhan  orang-orang Cina pada tahun 1740.
Tulisan-tulisan orang Indo maupun  Tionghoa peranakan yang digambarkan secara singkat di atas, masih  menampakkan wataknya asimilatif atau pembauran. Meskipun dalam beberapa  hal mulai kritis terhadap sistem kolonial, tetapi secara keseluruhan  isinya masih tetap mempertahankan segi-segi moral kolonial, terutama  tulisan-tulisan yang diproduksi oleh golongan Eropa. Ini yang membuat  bacaan-bacaan tersebut masih dikategorikan sebagai bacaan yang  menyenangkan, untuk mengisi waktu luang para pembacanya.31)
Teknik  berdagang buku semacam ini pertama-tama untuk meringankan beban beli  pembaca dan sekaligus untuk merangkul lebih banyak pembeli. Teknik  memecah-mecah buku cerita menjadi beberapa jilid kemudian ditiru oleh  para pemimpin pergerakan, misalnya Marco yang menjual Mata Gelap  (terdiri dari tiga jilid) setiap jilidnya f.0,15,- atau Kommunisme serie  I dan II masing-masing perjilid f.0,25,-. 
Babak kedua adalah  bacaan-bacaan yang ditulis oleh orang bumiputra sendiri pada awal abad  ke-20. Yang menarik dari perkembangan produksi bacaan yang dilahirkan  oleh orang-orang bumiputra adalah penggunaan "Melayu pasar" yang rupanya  juga mengikuti para pendahulunya, golongan Indo dan Tionghoa peranakan.  Kenapa demikian? Karena "Melayu Pasar" adalah bahasa para pedagang dan  kaum buruh yang tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah dengan  pengajaran bahasa Melayu yang baik.35) Selain itu bacaan-bacaan yang  ditulis dalam bahasa Melayu Pasar mempergunakan bahasa lisan  sehari-sehari yang terasa lebih spontan dan kadang-kadang lebih hidup,  lebih bebas dari ikatan tatabahasa. Perkembangan produk bacaan bumiputra  sangat didukung dengan meriapnya industri pers pada awal abad ke-20.36)
Golongan  bumiputra yang bisa disebut perintis fiksi modern adalah R.M.  Tirtoadhisoerjo dengan karyanya Doenia Pertjintaan 101 Tjerita jang  soenggoe terjadi di Tanah Priangan diterbitkan pada tahun 1906. Kemudian  disusul dengan karya-karyanya yang lain: Tjerita Njai Ratna, terbit  tahun 1909, Membeli Bini Orang, terbit pada tahun yang sama dan Busono  terbit tahun 1912. Sedangkan tulisan-tulisan non-fiksi R.M.  Tirtoadhisoerjo, atau lebih tepat tulisan politiknya adalah, Gerakan  Bangsa Tjina di Soerabaja melawan Handelsvereniging Amsterdam yang  dimuat dalam Soenda Berita pada tahun 1904; Bangsa Tjina di Priangan  dimuat dalam media yang sama pada tahun 1904; Peladjaran Boeat  Perempoean Boemipoetera yang juga dimuat dalam media yang sama dan tahun  yang sama; Soeratnja Orang-Orang Bapangan, dimuat dalam Medan Prijaji  (MP), tahun 1909; Persdelict: Umpatan, diumumkan dalam MP tahun 1909,  Satoe Politik di Banjumas, disiarkan di MP tahun 1909; Drijfusiana di  Madioen dimuat di MP tahun 1909; Kekedjaman di Banten dimuat di MP tahun  1909; Omong-Omong di Hari Lebaran, disiarkan di MP tahun 1909; Apa jang  Gubermen Kata dan Apa jang Gubermen Bikin dimuat di MP tahun 1910 dan  Oleh-Oleh dari Tempat Pemboeangan yang pertamakali disiarkan di harian  Perniagaan, kemudian diumumkan kembali di MP tahun 1910.37)
R.M.  Tirtoadhisoerjo sebagai seorang pelopor pergerakan nasional yang  memproduksi bacaan-bacaan fiksi dan non-fiksi, telah mendorong beberapa  tokoh pergerakan untuk melakukan hal yang sama, seperti Mas Marco  Kartodikromo, Soeardi Soerjaningrat, Tjipto Mangoenkoesoemo, Semaoen,  Darsono dan lainnya. Mereka semua menghasilkan bacaan-bacaan populer  yang terutama ditujukan untuk mendidik bumiputra yang miskin (kromo).  Bacaan-bacaan yang mereka hasilkan merupakan ajakan untuk mengobati  badan bangsanya yang sakit karena kemiskinan, juga jiwanya karena  kemiskinan yang lain, kemiskinan ilmu dan pengetahuan. Penyebaran  gagasan dalam bentuk bacaan-bacaan politik berkenaan dengan konsep  pergerakan, sebagaimana ditegaskan oleh Marco pada tahun 1918:
Soenggoehpoen  amat berat orang bergerak memihak kepada orang yang lemah, lihatlah  adanja pemogokan jang beroelang-oelang diwartakan dalam Sinar ini. Di  sitoe soedah menoendjoekkan bilangannja berpoeloeh-poeloeh korban itoe  pemogokan, inilah memang soedah seharoesnja. Sebab melawan kaoem jang  mempoenjai pabrik pabrik itoe sama ertinja dengan melawan pemerentah  jang tidak adil.... Lantaran hal ini, maka di sitoe timboellah  peperangan soeara (soerat kabar) jaitoe fehaknja pemerentah dan fehaknja  ra'jat. Apakah peperangan mentjari makan di Hindia sini achirnja djoega  seperti peperangan mentjari makan di Zuid Afrika? Inilah misih djadi  pertanjaan jang tidak moedah didjawab! Kami tahoe ada djoega bangsa kita  anak Hindia jang lebih soeka memehak kaoem oeang dari pada memehak  bangsanja jang soedah tertindas setengah mati, maar... djangan poetoes  pengharapan pembatja! disini ada banjak sekali anak anak moeda jang  berani membela kepada ra'jat, dan kalau perloe sampai berbatas jang  penghabisan. Dari itoe kita orang tidak oesah takoet dengan bangsa kita  mahloek jang lidahnja pandjang, lidah mana jang hanja, perloe diboeat  mendjilat makanan jang tidak banjak, dan dia bekerdja diboeat masih  melawan bangsanja sendiri jang ini waktoe masih djadi indjak-indjakan.  Sekarang ada lagi pertanjaan, jaitoe tidak saban orang bisa mendjawab  itoe pertanjaan: Apakah di Hindia sini ada soerat kabar jang dibantoe  oleh kaoem oeang, soepaja itoe soerat kabar bisa melawan soerat kabarnja  rajat? Ada! tetapi nama soerat kabar itoe pembatja bisa mentjari  sendiri. Lain dari itoe, kita memberi ingat kepada saudara-saudara,  djanganlah soeka membatja sembarang soerat kabar, pilihlah soerat kabar  jang betoel-betoel memihak kepada kamoe orang, tetapi jang tidak memihak  kepada kaoem oeang. Sebab kalau tidak begitoe, soedah boleh  ditentoekan, achirnja kita orang Hindia tentoe akan terdjeroemoes di  dalam lobang kesengsara'an jang amat hina sekali.
Achir kalam, kami  berkata; NGANDEL, KENDEL BANDEL, itoelah gambar hatinja manoesia jang  tidak memandjangkan lidahnja, tetapi menoendjoekkan giginja jang amat  tadjam, dan kalau perloe...38)
Maka demi menghela rintangan-rintangan  bagi pergerakan diperlukan bacaan-bacaan politik, agar "kaum kromo"  mengetahui, memahami dan menyadari politik kekuasaan kolonial.
Bacaan-bacaan  yang dihasilkan oleh para pemimpin pergerakan di atas dapat  dikategorikan sebagai "bacaan politik". Hampir semua bacaan yang  diproduksi oleh para pemimpin pergerakan apakah bentuknya novel, roman,  surat perlawanan persdelicht dan cerita bersambung, isinya menampilkan  kekritisan dan perlawanan terhadap tata-kuasa kolonial. Sejarah  mencatat, sesungguhnya sastra Indonesia sejak mula sejarahnya merupakan  sastra protes.
Pada awal abad ke-20 rumah-rumah cetak di Hindia  tumbuh dengan pesat, di Semarang saja ada delapan rumah cetak, di  antaranya firma Benjamin & Co, firma Bisschop & Co, firma Masman  & Stroink, N.V. Dagblad "De Locomotief", de N.V. Hap Sing Kongsie,  de firma Misset & Co.41)
Dan barang cetakan yang mereka keluarkan  sangat beragam, misalnya firma Masman & Stroink mau menerbitkan  tulisan Sneevliet yang berjudul Pertoendjoekan Kekoeasaan dan Bahaja  Kelaparan. Sementara itu orang bumiputra yang mempunyai rumah cetaknya  sendiri adalah R.M. Tirtoadhisoerjo, yang bekerjasama dengan Hadji  Moehammad Arsjad dan Pangeran Oesman--N.V. Javaanche Boekhandel en  Drukkerij en Handel in Schrijfboeten "Medan Prijaji", yang kemudian  disusul dengan berdirinya rumah cetak Insulinde yang sebagian besar  dananya disokong oleh H.M. Misbach. Rumah cetak Insulinde ini antara  lain menerbitkan Mata-Gelap-nya Marco.
Tidak lama berselang berdiri  rumah cetak VSTP yang menerbitkan suratkabar Si Tetap. Berbeda dengan  rumah cetak Eropa yang selalu cari untung, rumah cetak bumiputra lebih  menekankan pendidikan "ra'jat djadjahan" dan memberi harga murah agar  dapat dijangkau oleh pembaca. Karena itulah proses pencetakannya dibuat  lebih sederhana, misalnya Mata Gelap dibagi menjadi 3 jilid. Ada dua  "keuntungan" dari teknik menerbitkan seperti ini. Pertama, harganya  lebih murah yang berarti jangkauan pembacanya pun lebih luas, dan kedua  ada semacam ikatan antara pembaca dan bacaan yang dibangun dalam proses  itu. Sulit membayangkan bahwa orang mau membaca hanya jilid kedua atau  ketiganya saja. Dengan teknik ini maka pembaca dibentuk hidup dalam satu  lingkaran, yaitu lingkaran pembaca. 
Satu-satunya rumah cetak milik  orang Arab, yakni Hasan Ali Soerati adalah N.V. Setia Oesaha yang  kemudian diambil alih oleh Tjokroaminoto untuk menerbitkan organ  CSI--Oetoesan Hindia. Pada awal tahun 1920-an dengan berdirinya PPPB,  mereka mempunyai rumah percetakan sendiri dengan menerbitkan organnya  Doenia Merdeka pada tahun 1924 untuk menggantikan organ sebelumnya,  jurnal Pemimpin yang terbit sejak tahun 1921.
Membanjirnya  barang-barang cetakan ini sejak tahun 1910-an hingga 1920-an, terjadi  bagaimanapun setelah dikeluarkannya undang-undang pers yang baru pada  tahun 1906 yang menetapkan sensor represif sebagai pengganti sensor  preventif. Tetapi undang-undang pers yang baru ini lebih jauh dapat  diterjemahkan menjadi pen-sensoran diri oleh pemimpin redaksi yang  khawatir bacaannya bisa dilarang atau dibredel oleh negara kolonial.
Pada  zaman pergerakan, seorang revolusioner seperti Semaoen, Darsono, Marco,  juga seorang jurnalis. Banyak waktu mereka digunakan untuk menulis  artikel, menyunting dan mendistribusikan suratkabar-suratkabar kecil.  Membaca surat kabar ini, adalah suatu langkah yang baik untuk  merekonstruksi kisah perjuangan internal dan eksternal dari kaum  pergerakan. Dengan suratkabar dan barang cetakan lainnya kaoem kromo  dapat membentuk kesadaran kolektif untuk membayangkan masa depan yang  mereka hadapi. SI Semarang menerbitkan Sinar Hindia yang peredarannya  mencapai 20.000 hingga 30.000 eksemplar.44)
Dengan demikian,  suratkabar bukan hanya propaganda kolektif, tetapi juga organizer  kolektif. Bagaimanapun, mereka juga memerlukan pemasukan untuk  mempertahankan produksi dengan menerima pemasangan reklame dari berbagai  perusahaan, baik produksi yang dihasilkan di Hindia maupun produk luar  negeri. Selain itu dana juga diperoleh dari para pendukungnya  (pelanggan) sebesar f. 0,50,- setiap orang.
Pada saat itu juga muncul  buku-buku bacaan kecil (booklets), yang biasanya dimuat di dalam  suratkabar-suratkabar secara bersambung yang diproduksi oleh  institusi-institusi pergerakan, mengambil contoh dari bacaan yang  diproduksi oleh orang Tionghoa peranakan. Dan yang cukup penting, para  pemimpin pergerakan yang sekaligus menjadi jurnalis mendirikan  perhimpunan atau organisasi untuk menentang kebijaksanaan kolonial yang  kebanyakan didanai oleh saudagar-saudagar batik, seperti Hadji Samanhudi  yang mendanai Sarotomo atau H.M. Bakri yang mendanai Doenia Bergerak  serta Hadji Misbach yang mendanai Medan Moeslimin dan Islam Bergerak.45)
***
Yang  terpenting dari reaksi pemerintah kolonial ini adalah--terutama setelah  Balai Poestaka direformasi pada tahun 1917--pemberian label "bacaan  liar" untuk tulisan-tulisan pemimpin pergerakan. Label ini pertamakali  diberikan oleh Rinkes, direktur Balai Poestaka. Image "bacaan liar" yang  diproduksi oleh kaum pergerakan ini diungkapkan Rinkes karena  kekhawatiran negara kolonial terhadap barang-barang cetakan seperti  surat kabar, jurnal, novel dan bentuk-bentuk bacaan lainnya, sebagaimana  dijelaskan olehnya pada tahun 1914: 
The only publication that  dominated all those, with Darma Kanda as the exception, and something  more than a local newspaper with personal slanging match (met  personlijke scheld partijen) was Medan Prijaji...which besides sharing  the character with others showed itself as more energetic, gifted,  cunning and more poisonous and which declared Java as its territory of  action (terrein van actie)
In beginning it was published as a weekly  an after being develop, within 2 years it had been converted into a  daily, constantly loved, and according to some it has 2000 subscribes.  In itself for a European newspapers in the indies that is not a bad  figure, which is even more so for a Malay newspaper....
In the weekly  and later daily newspaper... The goverment and goverment regulations  were ridiculed and at same time those half--baked groups (de kringen van  half-ontwikkelen) were captivated and influenced by [its] deception, by  pushing [them] to improve their lot and the like)50)
Dengan Rinkes  menyatakan surat kabar harian maupun mingguan isinya seringkali  provokatif--menyerang pemerintah kolonial, mengejek aturan-aturan  pemerintah dan menyerang pejabat pemerintah--maka bacaan-bacaan tersebut  dianggap telah melanggar kekuasaan kolonial dan menggangu ketertiban.  Lebih jauh pernyataan Rinkes ini merupakan hasil perdebatannya dengan  Marco pada tahun 1914 tentang hasil-hasil kerja Mindere Welvaart  Commissie, yang dianggap Marco sebagai usaha mempertahankan mitos  politik etis. 
Dimulai Dengan "Perang Soeara" 
. Orang yang  pertama kali merintis perlunya bacaan bagi rakyat Hindia yang tidak  terdidik adalah Tirtoadhisoerjo. Ia memulainya dengan menerbitkan  artikel "Boycott" di surat kabar Medan Priyayi. Artikel "Boycott"  dijadikannya senjata bagi orang-orang lemah untuk melawan para pemilik  perusahaan gula. Tindakan boikot pertamakali dilakukan oleh orang-orang  Tionghoa terhadap perusahaan-perusahaan Eropa, yang menolak permintaan  mereka untuk memperoleh barang. Tindakan para pengusaha Eropa ini  dibalas oleh orang-orang Tionghoa dengan memboikot produk  perusahaan-perusahaan Eropa, sehingga hampir sekitar 24 perusahaan Eropa  di Surabaya gulung tikar.
Makna dan nilai artikel boikot ini sangat  penting bagi produk penulisan bacaan yang menentang kediktaktoran  kolonial51) di masa selanjutnya, sebab artikel ini merupakan pendorong  bagi orang bumiputra lainnya, menyadarkan bahwa bacaan-bacaan politik  sangat diperlukan untuk membuka mata dan daya kritis orang bumiputra,  yang dikungkung oleh cerita-cerita kolonial yang senantiasa ingin  mengawetkan tata kuasa kolonial. 
Gaya penulisan bacaan politik yang  dipelopori oleh Tirto kemudian diikuti oleh para pemimpin pergerakan,  umpamanya Mas Marco Kartodikromo dan Tjipto Mangoenkoesoemo, yang  sama-sama perintis jurnalis dan sama-sama kukuh memegang prinsip  pergerakan, sekalipun keduanya berbeda dalam memandang pergerakan.52)
Marco  Kartodikromo adalah orang yang paling produktif dalam menghasilkan  "bacaan liar", dan akan menjadi salah satu fokus penulisan ini.  Karya-karya yang dikenal adalah Mata Gelap, yang terdiri dari tiga jilid  yang diterbitkan di Bandung pada tahun 1914; Student Hidjo diterbitkan  tahun 1918; Matahariah diterbitkan tahun 1919; Rasa Mardika diterbitkan  tahun 1918, kemudian dicetak ulang tahun 1931 di Surakarta. Marco juga  menerbitkan sekumpulan syair, Sair rempah-rempah terbit di Semarang pada  tahun 1918 dan Sair Sama Rasa Sama Rata terbit di suratkabar Pantjaran  Warta tahun 1917. Kemudian Babad Tanah Djawi yang dimuat di jurnal  Hidoep tahun 1924-1925. Dari karangan-karangannya ini, belum lagi dari  karya jurnalisnya, nampak ketegangan-ketegangan dalam cara berpikirnya.  Untuk mengetahui ketegangan-ketegangannya kita perlu membaca  teks-teksnya secara teliti, yakni dengan menelusuri alur cerita,  karakter, dan bahasa yang digunakannya. Dalam Mata Gelap ia melukiskan  hal-hal modern yang terjadi di tanah Jawa (terutama Semarang dan  Bandung) dengan dengan gamblang bahwa orang sudah keranjingan membaca  surat-kabar, senang hidup bebas, dan berliburan. Ini semua menunjukkan  bahwa masyarakat kolonial telah mempunyai kebutuhan baru. Tetapi di  pihak lain Marco melukiskan bahwa kebudayaan Eropa yang bersinggungan  dengan kebudayaan bumiputra menimbulkan persoalan demoralisasi dan  dekadensi. Marco menggambarkan bagaimana kaum bumiputera juga telah  mulai menyukai perjudian, melacurkan diri, main perempuan, minum dan  sebagainya. Karya ini menjadi ajang pertempuran dan ketegangan ide  Marco. Setelah terbit, Mata Gelap mendapat tanggapan dari pembacanya dan  juga menjadi bahan perdebatan. Apa yang menjadi perdebatan dan  bagaimana pengaruh perdebatan itu bagi para pembaca bumiputra juga akan  menjadi fokus penelitian. Dalam karya lainnya, Student Hidjo, yang  menceritakan perjalanan Hidjo, seorang pelajar HBS yang melanjutkan  sekolah ke Negeri Belanda. Waktu di Jawa ia sudah bertunangan, tetapi  setelah tinggal di Belanda ia tertarik pada gadis Belanda. Tema dalam  Student Hidjo adalah tema umum pada masanya, yang ternyata masih bisa  juga menjadi bahan untuk sepuluh-duapuluh tahun kemudian: orang muda  (student) Indonesia, yang pergi belajar ke Belanda, sudah punya  tunangan, tapi di tanah dingin sana kemudian jatuh cinta pada gadis  kulit putih.53)
Sebaliknya Sair Sama Rasa dan Sama Rata, merupakan  kumpulan syair yang mengkritik negara kolonial dan sekaligus  menggambarkan kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat kolonial. Dari  ketiga karya fiksinya ini nampak ia masih dilingkupi oleh pemikiran  Multatuli, artinya semangat dan bangunan pikirannya senantiasa  meledak-ledak dalam melihat ketimpangan dan ketidak-adilan kolonial.  Selain itu, ia selalu memberi sub-judul "kedjadian jang benar-benar  terdjadi di tanah Djawa". Ungkapan ini juga harus dilihat sebagai hasil  bagaimana ia memandang struktur masyarakat kolonial. Makna ungkapan ini  sangat penting, karena perkataan "kedjadian jang benar-benar terdjadi di  tanah Djawa" adalah ungkapan pengalaman praktek politik penulis atau  lebih luas lagi pengalamannya ketika mengamati perubahan sosial yang  terjadi pada awal abad ke-20. Ini sangat berbeda dengan karya  terakhirnya Babad Tanah Djawi, di mana ia melakukan penelitian terhadap  karya-karya sarjana Belanda yang menelaah babad. Dalam karyanya yang  terakhir ini nampak puncak ketegangan dalam pemikirannya, yaitu saat ia  melakukan putus hubungan dengan cara pikir Multatulian, dan menuju ke  pemikiran yang lebih radikal. Yang menjadi pertanyaan untuk penelitian  ini apakah dalam Babad Tanah Djawi ia mempunyai obsesi untuk membongkar  dan menjungkir balikkan cerita-cerita babad yang ditulis oleh  sarjana-sarjana Belanda untuk memperkuat legitimasi kekuasaan kolonial?  Dalam bagian pengantar jelas disebutkan bahwa ia ingin "mengambil  kembali" masa lalu orang Jawa yang selama ini ada di tangan orang  Belanda. Caranya adalah dengan menulis ulang babad-babad.
Bagaimanapun,  sebagai seorang penulis dan pemimpin pergerakan, Marco tidak lepas dari  proses belajar untuk memahami kekuasaan kolonial. Dalam novel Mata  Gelap, Marco menunjukkan kejadian-kejadian yang melukiskan betapa  kompleksnya pengaruh pemikiran Barat dalam masyarakat tanah Jawa di  bawah kapitalisme pada awal abad ke-20. Mata Gelap harus dibaca dengan  teliti, sembari terus mengingat tahap-tahap pemikiran Marco pada saat  itu. Pembacaan atas Mata Gelap kalau tidak dilihat sebagai produk dan  dilepaskan dari politik zamannya, akan tampil sebagai sebuah bacaan  "picisan".54)
Untuk membaca dan memahami tulisan seseorang harus  dilihat perasaan dan pikiran si penulis, nafsu-nafsunya,  kecenderungannya, impiannya, ketololan dan kekurangannya, kecerdasannya,  kecerdikannya, pengetahuannya dan banyak hal lain yang jalin-menjalin  seperti benang-benang kaca yang jernih. Ingin saya tekankan bahwa setiap  tulisan mengandung dunia kenyataan dan dunia impian. Itu tahap pertama.  Tahap kedua, memperlakukan bacaan sebagai sebuah senjata, sehingga  dapat menimbang dunia-dunia kecil antara impian dan kenyataan itu,  ibarat membidikkan sebuah peluru ke arah tertentu. Seandainya bobot  pelurunya diarahkan ke negara kolonial atau pengusaha, maka akan timbul  reaksi politik.55)
Mata Gelap menceritakan skandal hubungan antara  seorang nyai yang bernama Retna Permata yang sedang ditinggal oleh  majikannya ke Eropa dengan Soebriga yang bekerja sebagai seorang klerk  (jurutulis) di sebuah perusahaan Eropa. Setting cerita mengambil tempat  di Semarang dan Surabaya, yang kala itu merupakan pusat kantor-kantor  dagang dan industri beberapa negeri metropolis, dan juga di tempat  peristirahatan di sekitar daerah Parahiangan. Untuk mempertajam  pembacaan terhadap Mata Gelap, perlu dipertanyakan mengapa Marco memilih  kota pusat perdagangan, industri dan tempat peristirahatan sebagai  setting novelnya? Dan yang juga penting, kenapa Marco memberi nama Mata  Gelap untul novel tersebut? Jawaban yang pertama berkaitan dengan  dicanangkannya open deur politik (politik pintu terbuka) pada tahun  1904, kekuatan-kekuatan modal metropolis, terutama Inggris, Prancis,  Amerika Serikat yang berhasil mencairkan politik perdagangan eksklusif  pemerintah Hindia Belanda. Kekuatan modal metropolis serta perusahaan  Belanda sendiri lebih menyukai menancapkan kakinya di kota-kota  pelabuhan seperti Surabaya dan Semarang. Alasannya jelas karena  transportasi dan sarana modern lainnya lebih memadai. Selain itu kedua  kota besar inilah yang pertamakali berbenturan dengan gagasan modern  yang berasal dari Eropa, baik dalam surat kabar, novel, teater dan  praktek kebudayaan lainnya. Sedangkan soal yang kedua berkaitan dengan  hasil praktek kebudayaan Eropa tersebut yang menguasai tata-pergaulan  kaum bumiputera. Pada satu pihak, Marco menjelaskan bahwa gagasan modern  yang berasal dari Eropa dan dipraktekkan di Hindia Belanda mengajarkan  hal yang modern, seperti kalangan pedagang dan pegawai rendahan  perusahaan swasta mulai keranjingan membaca koran, buku, mengenal waktu  dan jadwal dan melakukan plesiran dan beristirahat sebagai yang  dilakukan oleh pengusaha-pengusaha Eropa.56) 
Tetapi di pihak lain,  ia melukiskan sisi negatif dari praktek kebudayaan tersebut di Hindia,  yaitu kehidupan seks yang bebas, seperti Soebriga, sebagai seorang yang  bermata gelap, yang bukan hanya melakukan hubungan intim dengan nyai  Retna Permata, tapi juga dengan Retna Poernama, adiknya Retna Permata.
Kembali  kepada tahap kedua dalam membaca tulisan seseorang, yakni harus  menimbang ke arah mana peluru Mata Gelap-nya Marco ditujukan. Karangan  ini ditujukan kepada perusahaan surat kabar Tjhoen Tjhioe yang terbit di  Surabaya. Akibatnya suratkabar Tjhoen Tjhioe bereaksi dan terjadi  perselisihan yang hebat antara jurnal Doenia Bergerak yang di pimpin  Marco dengan suratkabar Tjhoen Tjhioe.
Apa yang sebenarnya yang  menyebabkan surat kabar Tjhoen Tjhioe begitu berang terhadap Mata Gelap?  Hal ini dapat dibaca dalam surat kabar Tjhoen Tjhioe sebagai berikut:
Ini  hati kita trima satoe boekoe tjerita, jang pake nama Mata Gelap,  terkarang oleh M. Marco, Redacteur Doenia Bergerak di Solo. Sabetoelnja  itoe boekoe ada begitoe renda deradjatnja, hingga bermoela kita tida ada  ingetan boeat bitjaraken isinja di ini soerat kabar. Tetapi sebab di  sitoe penoelisnja soeda terlaloe njataken ia poenja pembrasa'an renda  pada orang Tionghoa, kita merasa terpaksa djoega toelis ini recensie,  dengan perminta'an, soepaja toean Marco, kalo dibelakang hari menoelis  lagi satoe boekoe, djanganlah ia bikin orang Tionghoa djadi sakit hati  seperti sekarang ia soeda bikin, antara mana di dalem kalimat: "Bah!  minta stroop ijs,". Ingetlah, bangsa Tionghoa ada satoe bangsa manoesia  djoega, hingga tida pantes kaloe toean Marco pandang begiote renda pada  marika.... Orang Tionghoa merasa dan mengakoe, di ini djadjahan ia orang  ada seperti orang menoempang dan memang ingin hidoep roekoen dan demi  dengan orang Boemipoetra. Tetapi orang Boemipoetera, seperti toean  roema, djoega haroes oendjoek itoe kahormatan dan perendahan pada orang  Tionghoa, seperti diantara orang-orang sopan, toean roema memang wadjib  oendjoekkan pada tetamoenja
Isinja itoe boekoe ada begitoe tida  berharga, hingga kita merasa sajang kaloe moesti boeang lebi banjak lagi  dari kita poenja tempo, boeat menoelis lebi djaoeh tentang itoe. Kita  hendak kirim poelang boekoe itoe pada penoelisnja, tetapi merasa sajang  boeat itoe 2 1/2 cent jang kita bajar boeat porto. Djadi boeang sadja di  dalem krandjang kotor. Memang di sitoe, menoeroet haroesnja, itoe  boekoe mesti dapet tempat.57)
Penegasan dari pihak Tjhoen Tjhioe  sebenarnya mengandung tiga hal dan keberatan mereka terhadap Mata  Gelap-nya Mas Marco. Tulisan kemudian mendapat balasan yang cukup tegas  pula dari Mas Marco:
Itoe perkataan tidak saja doeloe telah lazim  boeat seseboetan atau memanggil bangsa Tjina, djoega sampe sekarang itoe  perkataan misih kami pakai boeat memanggil bangsa Tjina yang tidak  soeka kami panggil Babah atau Bah? O! tidak ada. Sebab kalau kami  bertjampoer gaoel dengan orang Tjina, itoe seboetan selaloe kami  goenakan, en toch tidak ada seorang yang menjangkal. 
Apakakah  koerang tjoekoep orang Djawa menghormati tetamoenja?! Apakah orang Djawa  koerang Tjoekoep menoendjoekkan keroekoenannja kepada tetamoenja?!  Apakah orang Djawa koerang rendah dan mengalah?! 
Kalau kami  menjeboet Babah of Bah atau menjebut orang Tjina dikata: menghina kepada  itoe bangsa, sesoenggoehnja kami tida mengerti. Apakah sebabnja dikaart  (Atlas) misih selaloe ditoelis: China (Tjina Mal of Jav)?
Kalau  betoel-betoel toean tamoe tidak mengharap perselisihan dengan toean  romah, kami harep ini perkara djangan dibikin pandjang. Ingatlah, ini  waktoe, waktoe jang koerang baik diseloeroeh doenia.... Lain roepa kalau  toean tamoe tjari-tjari perkara dengan toean romah, itoe lain perkara.  Kalau toean tamoe tidak dapat hidoep roekoen dengan toean romah,  seharoesnja kami toean romah mendjalankan bagaimana adilnja.58)
Perdebatan  ini terus berkepanjangan hingga menjadi perselisihan soal kebangsaan  atau nasionalisme, antara nasionalis Jawa berdasarkan versi Marco dengan  nasionalisme bangsa Tionghoa. Kalau kita perhatikan konteksnya,  perdebatan ini berkaitan dengan kebangkitan nasional bangsa Hindia dan  kebangkitan nasionalis Tionghoa. Pada tahun 1911 banyak pelarian kaum  muda nasionalis Tionghoa ke Hindia Belanda. Gelombang pelarian ini tiba  di Hindia Belanda secara gelap dan mereka menyebar ke beberapa tempat,  terutama Surabaya, Semarang dan Batavia. Mereka datang ke Hindia untuk  mengabarkan kepada orang-orang Tionghoa lainnya bahwa sedang terjadi  perubahan besar di Tiongkok. Namun aktivitas mereka mendapat rintangan  yang cukup besar baik dari negara kolonial maupun golongan Tionghoa  lainnya yang tidak menginginkan perubahan di Tiongkok. 
Rupa-rupanya  perdebatan ini tidak kunjung selesai, sebab baik dari pihak Doenia  Bergerak maupun Tjhoen Tjhioe tidak dapat menerima masing-masing posisi.  Marco dengan Mata Gelap-nya langsung mengarahkan serangan terhadap  pengusaha-pengusaha Tionghoa yang berperan sebagai lintah darat yang  terus-menerus mencekik petani bumiputra. Dan justru inilah yang  merupakan hal pokok dari keberangan pihak Tjhoen Tjhioe.
Mata Gelap  dijual dengan harga f.0,5 tiap jilidnya dan dicetak oleh Insulinde  Drukkerij di Bandung. Pendistribusiannya melalui toko-toko buku milik  beberapa perusahaan suratkabar, seperti Kaoem Moeda, Sinar Djawa, Warta  Perniagaan, Taman Pewarta, Tjahja Sumatra dan Sarotomo. Mata Gelap  terjual hampir mencapai 500 eksemplar.60)
Mata Gelap idenya sangat  dipengaruhi gagasan Tirto dalam karyanya, "Cerita Nyai Ratna", yang  merupakan karya Tirto yang diumumkan secara bersambung di Medan Prijaji  pada tahun 1909. "Cerita Nyai Ratna" dilatar belakangi kehidupan  kota-kota modern kolonial, seperti Bandung, Batavia dan Buitenzorg, di  mana kota-kota tersebut menjadi tempat tinggal para pengusaha perkebunan  gula. Nyai Ratna adalah salah satu gundik seorang pengusaha perkebunan  yang pada saat itu ditinggal pergi oleh tuannya ke Eropa, sehingga ia  jadi rebutan kaum muda di kota Bandung. Kalau ditilik lebih teliti  cerita ini melukiskan keadaan orang untuk mendekati seorang Nyai harus  mempunyai _power_, dalam pengertian ia harus mempunyai pengetahuan  Eropa, seperti membaca koran, buku, dan sudah tentu harus punya uang.
Pada  masa-masa awal pertumbuhannya produksi "bacaan liar" tidak mendapat  rintangan yang berarti dari negara kolonial. Tapi ada perkecualian untuk  tulisan Soeardi Soerjaningrat "Seandainya Saya Seorang Belanda," yang  ditulisnya dalam rangka menyambut perayaan bebasnya Nederland dari  kekuasaan Prancis. Dalam menulis karangan tersebut Soeardi dibantu oleh  kedua sahabatnya, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Tulisan ini  diumumkan dalam suratkabar Indissche Partij, De Expres, yang saat itu  tirasnya mencapai 1.500.
Bacaan ini ditujukan kepada dua pihak, yakni  kekuasaan kolonial dan rakyat Hindia. Gugatan di atas dianggap menghina  kekuasaan kolonial, meskipun disampaikan dengan bahasa Belanda yang  indah, penuh perasaan, murni dan mengharukan Nederlanders als  Kolonialen. Dan gugatan yang membikin panas telinga pejabat kolonial  inilah yang menggiring Soeardi, Douwes Dekker dan Tjipto ke kandang  singa kolonial, De Exorbitante Rechten.63)
"Bacaan Liar" Dalam Panggung Politik Pergerakan
Pada  awalnya negara kolonial tidak begitu keras menghalangi produksi bacaan  liar, dalam pengertian tidak dilakukan pelarangan tehadap produksi  bacaan liar. Hal ini berkaitan dengan politik etis kolonial Belanda di  Hindia yang mau "membimbing" rakyat jajahan memasuki dunia modern.  Negara kolonial Belanda memang tidak melarang bacaannya, tetapi menyekap  para pengarangnya di penjara melalui alat-alat kolonialnya, seperti  pasal 161 dan 171 bis serta pasal 153 bis dan ter. Undang-undang  kolonial ini menyatakan "barang siapa dengan sengaja menyiarkan kabar  bohong dan menimbulkan kabar yang meresahkan di kalangan rakyat akan  dikenakan hukuman penjara maksimum 5 tahun atau denda 300 rupiah".65) 
Tetapi  dalam kenyataannya kebijaksanaan negara kolonial ini jarang dilakukan  secara ekstrem. Marco, Semaoen, Darsono atau yang lainnya tidak pernah  dihukum selama 5 tahun, tapi rata-rata hukumannya antara 1 sampai 2  tahun. Semangat politik etis maunya dijadikan simbol netralitas negara  kolonial terhadap kaum pergerakan sepanjang mereka tidak menentang  kekuasaan kolonial. Politik Etis juga mengemban kepentingan menjinakkan  pergerakan--agar tidak cenderung mengarah pada radikalisme.
Namun  demikian dalam struktur kelas masyarakat kolonial yang penuh  ketimpangan. Tentu kelas yang tersubordinasi akan melakukan reaksi  terhadap kekuasaan kolonial tersebut. Tapi negara kolonial dapat  mengontrol atau menghambat praktek gagasan yang berasal dari luar,  seperti vergadering (pertemuan), sosialisme, nasionalisme, imperialisme,  demokrasi, kapitalisme, pemogokan dan seterusnya. Contoh yang paling  baik adalah "Soerat Perlawanan Persdelict" yang dilancarkan oleh Marco.  Di situ ia tetap memegang prinsipnya "Berani karena benar takoet karena  salah", sebagaimana ia rumuskan perlawanannya sebagai berikut:
...  disitoe saja hanja memoedji kebraniaan, tetapi boekan bolehnya  mmelakoekan pekerdjaan yang disertai dengan keberanian (durven) itoe.  Semoea orang mempoenjai keberaniaan, itoelah saja katakan mempoenjai  kemanoesiaan. Djadi dengan singkat, kemanoesiaan sama dengan  keberaniaan. 
Sepandjang faham saja, keberanian itoe tidak djahat dan  djoega tidak baik. Karena itoe kebraniaan tergantung dari pekerdjaan  jang didjalankan seperti: berani mati (ada keberanian boeat mati); Brani  menoeloeng orang (ada kebraniaan boeat menoeloeng orang) begitoe  seteroesnja. Djadi terang sekali kebraniaan itoe tergantoeng pekerdjaan  jang dilakoekan.66)
)
Tulisan-tulisan politik Darsono  ini tidak hanya merupakan sebuah pengadilan terhadap politik kolonial  Belanda yang dianggapnya sebagai racun bagi kaum kromo. Sikapnya lebih  jauh merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebangkitan rakyat  jajahan. Artinya ekses-ekses pergerakan seperti, penyelewengan, kompromi  terhadap negara kolonial, pembuangan, keberanian mengambil sikap,  berani dalam fikiran menentang kebijakan negara kolonial, perbedaan  dengan orang-orang pergerakan, dapat diteropong dari tulisan-tulisan  pemimpin pergerakan. Produk "bacaan liar" lebih diradikalkan terutama  akibat pengaruh Revolusi Russia 1917, kemenangan ini diekspos oleh  Sneevliet dengan karangannya yang berjudul Zegepraal (diterjemahkan ke  dalam bahasa Melayu oleh Semaoen). Tulisan ini bercerita tentang  keberhasilan revolusi Bolshevik yang gaungnya akan membawa pengaruh  besar di Hindia Belanda. Karangan Sneevliet lainnya, yang juga  berpengaruh dalam menyinari kesadaran kolektif pergerakan adalah  Kelaparan dan Pertoendjoekan Koeasa. Karangan ini kemudian diterjemahkan  oleh Semaoen ke dalam bahasa Melayu. Akibatnya, Semaoen harus masuk  penjara selama 2 bulan. Hal penting yang diajarkan oleh Sneevliet adalah  sebuah sikap bahwa "soldadoe mesti brani mati, tetapi misti brani mati  djoega boeat keperloeannja sendiri dan keperloeannja kaoem dan  bangsanja, orang ketjil."91) Adapun maksud karangan ini adalah: pertama,  untuk mengkritik perkara kelaparan, akibat kebijakan kolonial yang  lebih mendahulukan kepentingan pemilik modal dan menomer duakan soal  makanan bagi rakyat jajahan; kedua, mencela pengerahan balatentara untuk  menanggulangi bahaya kelaparan. Untuk itu ia mengajak balatentara  supaya bersatu hati dengan rakyat dan bekerjasama demi keselamatan umum;  ketiga, Sneevliet meramalkan bahwa bahaya kelaparan sulit untuk  dipecahkan oleh negara kolonial, yang pada kenyataannya telah  menimbulkan pencurian, perampokan ataupun tindakan kriminal lainnya.  Dari pemaparan di atas Sneevliet secara langsung mulai mempengaruhi  bagaimana bacaan dapat menjadi instrumen politik untuk kesadaran  kolektif masyarakat kolonial.
Bersamaan dengan munculnya  organisasi-organisasi politik, di bidang kebudayaan pun berkembang  sastra pembebasan hasil karya aktivis-aktivis pergerakan juga seperti  Semaun, Mas Marco.
Resensi :. 
16 September 2003 4:56
Student Hidjo, Epos : "Bacaan Liar" dan Perjuangan Mas Marco.
. 
.
Peran Penerbit
Penerbitan  buku-buku yang mendukung perjuangan pembebasan di Indonesia punya  sejarah yang panjang. Sejak akhir abad ke-19, terutama di Jawa, tumbuh  penerbit dan percetakan milik orang Tionghoa Peranakan dan Indo-Eropa  yang menerbitkan sekitar 3.000 judul buku, pamflet, dan terbitan lainnya  sebelum kemerdekaan. Beberapa orang bumiputra yang magang di penerbitan  ini kemudian tumbuh menjadi jurnalis dan penerbit sekaligus, seperti  Mas Marco Kartodikromo yang kemudian menulis Novel Student Hidjo pada  awal abad ke-20 ini. 
Pada 1906 pemerintah kolonial mengubah  peraturan mengenai sensor. Sebelumnya, setiap penerbit diharuskan  menyerahkan naskah kepada penguasa sebelum dicetak, sehingga bisa  disunting, diubah atau bahkan dilarang sebelum beredar. Namun peraturan  yang baru menetapkan sensor represif, yakni pembatasan terhadap barang  cetakan setelah diedarkan oleh penerbitnya. Dalam waktu singkat berdiri  sejumlah penerbit bumiputra, yang menerbitkan surat kabar, majalah dan  buku serta pamflet. Marco Kartodikromo kemudian menjadi penulis dan  redaktur surat kabar Doenia Bergerak, yang tidak segan-segan mengkritik  tatanan kolonial secara terbuka. Karena tulisan-tulisan kritis dan surat  pembaca yang dimuat di dalam surat kabar ini, Mas Marco pada awal tahun  1925 dituntut di pengadilan. Oleh penguasa imperialis Belanda, Marco  dikenai tuduhan persdelicten. Mas Marco kemudian dipenjara. 
Produksi  bacaan semakin marak ketika para penerbit bersinggungan dengan dunia  pergerakan yang juga sedang tumbuh. Bukan hanya organisasi pemuda  seperti Boedi Oetomo yang mulai menerbitkan pikiran mereka, tapi juga  serikat-serikat buruh, anak-cabang organisasi rakyat seperti Sarekat  Islam, perhimpunan ulama dan kaum perempuan. Surat kabar memang bentuk  yang paling populer, tapi banyak juga karya-karya sastra dalam bentuk  buku dan pamflet yang diedarkan. Bentuk terakhir biasanya dipilih oleh  penerbit kecil karena disamping biaya produksinya lebih murah, harga  jualnya juga bisa dijangkau oleh rakyat kebanyakan yang menjadi sasaran  buku-buku semacam ini. 
Di dalam pergaulan antara penerbit dan  pergerakan inilah muncul buku-buku yang isinya mengecam kekuasaan  kolonial dan sistem kapitalisme yang menjadi landasannya. Di kalangan  pergerakan sendiri tumbuh kesadaran bahwa rakyat bumiputra yang  menginginkan kebebasan harus memproduksi sendiri bacaannya, karena sudah  terlalu lama dijajah pikirannya oleh penguasa kolonial. Marco  Kartodikromo adalah orang yang paling produktif dalam menghasilkan  "bacaan liar". Karya-karya yang dikenal adalah Mata Gelap, yang terdiri  dari tiga jilid yang diterbitkan di Bandung pada 1914; Student Hidjo  diterbitkan tahun 1918; Matahariah diterbitkan tahun 1919; Rasa Mardika  diterbitkan tahun 1918, kemudian dicetak ulang pada tahun 1931 di  Surakarta. Marco juga menerbitkan sekumpulan syair, Sair Rempah-rempah  terbit di Semarang pada 1918 dan Sair Sama Rasa Sama Rata terbit di  surat kabar Pantjaran Warta tahun 1917. Kemudian Babad Tanah Djawi yang  dimuat di jurnal Hidoep, tahun 1924-1925.
Dari karya-karyanya ini,  belum lagi dari karya jurnalisnya, tampak ketegangan-ketegangan dalam  cara berpikirnya. Untuk mengetahui ketegangan-ketegangannya kita perlu  membaca teks-teksnya secara teliti, yakni dengan menelusuri alur cerita,  karakter, dan bahasa yang digunakannya. Sebagai contoh, dalam Mata  Gelap ia melukiskan hal-hal modern yang terjadi di tanah Jawa (terutama  Semarang dan Bandung) dengan gamblang bahwa orang sudah keranjingan  membaca surat kabar, senang hidup bebas, dan berliburan.
Ini semua  menunjukkan bahwa masyarakat kolonial telah mempunyai kebutuhan baru.  Tetapi di pihak lain Marco melukiskan bahwa kebudayaan Eropa yang  bersinggungan dengan kebudayaan bumiputra menimbulkan persoalan  demoralisasi dan dekadensi. Marco menggambarkan bagaimana kaum  bumiputera juga telah mulai menyukai perjudian, melacurkan diri, main  perempuan, minum dan sebagainya. Karya ini menjadi ajang pertempuran dan  ketegangan ide Marco. 
Mata Gelap
Mata Gelap menceritakan skandal  hubungan antara seorang nyai yang bernama Retna Permata yang sedang  ditinggal oleh majikannya ke Eropa dengan Soebriga yang bekerja sebagai  seorang klerk (juru tulis) di sebuah perusahaan Eropa. Seting cerita  mengambil tempat di Semarang dan Surabaya, yang kala itu merupakan pusat  kantor-kantor dagang dan industri beberapa negeri metropolis, dan juga  di tempat peristirahatan di sekitar daerah Parahiyangan.
Dalam novel  itu Marco menjelaskan bahwa gagasan modern yang berasal dari Eropa dan  dipraktekkan di Hindia Belanda mengajarkan hal yang modern, seperti  kalangan pedagang dan pegawai rendahan perusahaan swasta mulai  keranjingan membaca koran, buku, mengenal waktu dan jadwal dan melakukan  plesiran dan beristirahat sebagai yang dilakukan oleh  pengusaha-pengusaha Eropa. Tetapi di pihak lain, ia melukiskan sisi  negatif dari praktik kebudayaan tersebut di Hindia, yaitu kehidupan seks  yang bebas, seperti Soebriga, sebagai seorang yang bermata gelap, yang  bukan hanya melakukan hubungan intim dengan Nyai Retna Permata, tapi  juga dengan Retna Poernama, adik Retna Permata. 
Sebaliknya Syair  Sama Rasa dan Sama Rata, merupakan kumpulan syair yang mengkritik negara  kolonial dan sekaligus menggambarkan kontradiksi-kontradiksi dalam  masyarakat kolonial. Dari ketiga karya fiksinya ini tampak ia [masih]  dilingkupi oleh pemikiran Multatuli, artinya semangat dan bangunan  pikirannya senantiasa meledak-ledak dalam melihat ketimpangan dan  ketidak-adilan kolonial. Selain itu, ia selalu memberi sub-judul  "kedjadian jang benar-benar terdjadi di tanah Djawa". Ungkapan ini juga  harus dilihat sebagai hasil bagaimana ia memandang struktur masyarakat  kolonial. Makna ungkapan ini sangat penting, karena perkataan "kedjadian  jang benar-benar terdjadi di tanah Djawa" adalah ungkapan pengalaman  praktik politik penulis atau lebih luas lagi pengalamannya ketika  mengamati perubahan sosial yang terjadi pada awal abad ke-20. 
Ini  sangat berbeda dengan karya terakhirnya Babad Tanah Djawi. Karya ini  adalah hasil penelitian atas karya-karya sarjana Belanda, khususnya Prof  Veth, yang menelaah babad. Dalam karyanya yang terakhir ini tampak  puncak ketegangan dalam pemikirannya, yaitu saat ia melakukan putus  hubungan dengan cara pikir Multatulian, dan menuju ke pemikiran yang  lebih radikal. Yang menjadi pertanyaan untuk penelitian ini adalah  apakah dalam Babad Tanah Djawi ia mempunyai obsesi untuk membongkar dan  menjungkir- balikkan cerita-cerita babad yang ditulis oleh  sarjana-sarjana Belanda untuk memperkuat legitimasi kekuasaan kolonial?  Dalam bagian pengantar jelas disebutkan bahwa ia ingin "mengambil  kembali" masa lalu orang Jawa yang selama ini ada di tangan orang  Belanda. Caranya adalah dengan menulis ulang babad-babad.
Bagaimanapun,  sebagai seorang penulis dan pemimpin pergerakan, Marco tidak lepas dari  proses belajar untuk memahami kekuasaan kolonial. Dalam novel Mata  Gelap, Marco menunjukkan kejadian-kejadian yang melukiskan betapa  kompleksnya pengaruh pemikiran Barat dalam masyarakat tanah Jawa di  bawah kapitalisme pada awal abad ke-20.
Untuk membaca dan memahami  tulisan seseorang harus dilihat perasaan dan pikiran si penulis,  nafsu-nafsunya, kecenderungannya, impiannya, ketololan dan  kekurangannya, kecerdasannya, kecerdikannya, pengetahuannya dan banyak  hal lain yang jalin-menjalin seperti benang-benang kaca yang jernih.  Ingin ditekankan di sini bahwa setiap tulisan mengandung dunia kenyataan  dan dunia impian. Proses ini adalah tahap pertama. Tahap berikutnya  ialah memperlakukan bacaan sebagai sebuah senjata, sehingga dapat  menimbang dunia-dunia kecil antara impian dan kenyataan itu, ibarat  membidikkan sebuah peluru ke arah tertentu. Seandainya bobot pelurunya  diarahkan ke negara kolonial atau pengusaha, maka akan timbul reaksi  politik. 
Penutup
Dari karya-karya Mas Marco tersebut  sebenarnya pelajaran apa yang bisa kita petik? Hampir dalam setiap  tulisannya, ia terus-menerus menaikkan derajat bangsa Jawa yang telah  dirampas dan dijajah oleh kolonialis Belanda. Tampak sekali bahwa ia  sedang mengobarkan nasionalisme Indonesia, dalam hal ini ia memakai Jawa  sebagai titik tolak perjuangannya. Jawa sebagai politik identitas  kebangsaan.
[dari berbagai Sumber]
Solusi Hukum. com
Hasil-hasil karya mereka ditolak oleh kolonialisme dan dianggap sebagai  bacaan liar. Akibatnya karya-karya ini tak dikenal dalam ajaran resmi  sastra Indonesia. Ia berkembang dalam lingkaran diskusi kaum pergerakan  dan juga sekolah-sekolah liar yang dibangun kaum pergerakan seperti  Taman Siswa dan Budi Utomo yang kurikulumnya ditentukan sendiri tanpa  mengacu pada kurikulum Belanda. Murid dari sekolah liar yang kemudian  berhasil menjadi Maestro pelukis Indonesia dan juga bahkan menjadi guru  bagi pelukis kerakyatan misalnya S Sudjojono.
Brita mencatat peranan Sudjojono dalam perkembangan seni Indonesia modern sebagai berikut: 
(judul asli buku yang diterjemahkan ini adalah EXPOSING 
SOCIETY'S WOUNDS Some Aspects of Contemporary Indonesian Art Sine 
1966 karya Brita L. Miklouho Maklai; Monograph No. 5 1991 - 
Flinders University Asian Studies. Brita adalah maha siswa 
tamatan Flinders University Australia jurusan Asian Studies. 
Tahun 1990 ia mendapat penghargaan dari Asian Study Council of 
Australia atas risetnya tentang perkembangan seni rupa Indonesia 
di Yogyakarta.)
Seorang pemuda pelukis didikan Taman Siswa , S Sudjojono, sangat 
mempengaruhi arah perkembangan kesenian Indonesia modern. Ia 
adalah pendiri kelompok pelukis nasionalis pertama, kadang- 
kadang disebut sebagai bapak seni modern Indonesia, …
Sekolah  liar dan sastra liar inilah yang menjadi tumpuan pengembangan Ideologi  kemerdekaan dan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Puncak dari  semua itu adalah pembrontakan 1926 yang menandakan bahwa rakyat-rakyat  di nusantara tak lagi merangkak-rangkak dan melata di atas tanah  sementara tuan-tuan penjajah berdiri dengan angkuh. Perlawanan nasional  modern telah tumbuh menjadi kesadaran kolektif rakyat Indonesia. Walau  ditumpas, perlawanan itu tak surut. Kaum revolusioner bergerak di bawah  tanah dan partai-partai dengan nafas nasionalis kerakyatan tumbu, silih  berganti mengambil tempat: PNI, Partindo..gerindo…
1937, PERSAGI  (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) didirikan . Sudjojono sebagai  pelopornya menyatakan berusaha memadukan gerakan seni dan nasionalisme  radikal, yang menjadi sandaran menuju sosialisme, dan pencarian  identitas Indonesia. Katanya:
Seniman baru tidak hanya melukis gubuk-gubuk indah, gunung biru, 
gambar-gambar yang romantis dan hal-hal yang manis, tetapi juga 
pabrik gula dan petani yang kurus, motor- motor orang kaya dan 
celana panjang pemuda-pemuda miskin; sandal-sandal, baju dan 
jaket orang-orang di jalan...Ini adalah kenyataan kita. Tempat di 
mana seniman berada...yang tak mencari keindahan pada yang kuno- 
kuno -Majapahit atau Mataram- atau dalam dunia mental para 
pelancong, ia akan terus hidup selama dunia ini ada. Karena 
kesenian yang tinggi adalah kesenian yang bersumber pada 
kehidupan sehari-hari kita yang diselami dan diubah oleh seniman 
sendiri, dan kemudian mencipta seni tidak boleh mengikuti 
pandangan kelompok atau menjadi tangan partai ini atau itu. Ia 
harus sungguh-sungguh merdeka, yang membebaskan diri dari 
belenggu atau tradisi agar subur dan hidup... 7) 
Atas nama PERSAGI , Soedjojono menegur Poedjangga Baroe 
yang hanya memberi sedikit perhatian kepada seni rupa dalam 
wawasan kebudayaan nasional Indonesia. Ia bersikap menghargai 
untuk mengadopsi nilai Barat ke dalam kesenian Indonesia kuno 
dari Majapahit dan Mataram yang sudah mati. Hanya dengan belajar 
teori dan praktek kesenian Barat seniman Indonesia merintis 
kesenian modern, kembali ke kesenian tradisional yang terdapat di 
kepulauan Indonesia. Dengan Agus dan Otto Djaya ia mempelajari 
relief candi di Jawa - bukan untuk meniru motifnya tetapi untuk 
menemukan kembali 'rasa keindonesiaan'. Bagi Soedjojono 'rasa' 
adalah elemen hakiki dalam kesenian, lebih didahulukan daripada 
teknik. Ia percaya 'rasa' ini bisa ditemukan dengan mempelajari 
kesenian tradi sional di desa-desa dan pada kesenian anak-anak, 
yang jiwanya tak terpengaruh oleh Belanda, ia merasa jiwa rakyat 
Indonesia telah ditekuk-tekuk dan dirusak oleh pengalaman 
kolonial. Dan itu merupakan tugas memurnikan kembali jiwa yang 
telah terpolusi, kembali kepada kesederhanaan anak-anak atau 
penduduk desa. Sementara dalam bentuk mengadopsi kesenian modern, 
ia percaya lewat penemuan esensi 'rasa keindonesiaan', seniman 
modern Indonesia akan bisa mengembangkan satu kesenian yang 
sungguh-sungguh berwatak nasional.
Di Bawah Todongan Bayonet Jepang
Jepang  datang menggantikan Belanda. Di samping penindasannya yang keji, Jepang  juga memberikan pengaruh yang luas terhadap perkembangan bahasa  Indonesia dan seni modern ke desa-desa. Pada masa ini berkembang  bentuk-bentuk seni simbolik untuk melawan penindasan jepang. Seniman pro  rakyat diawasi Kem pe tai dalam berkarya. Melalui Keimin Bunka  Shideiso, Jepang mengorganisir pameran 
karya seniman-seniman Indonesia, dan memberikan penghargaan, 
sebagai bagian strategi mereka menumbuhkan rasa percaya diri 
orang-orang Indonesia dan mereka melukis apa yang mereka 
sodorkan sebagai 'kawasan kemakmuran Asia Timur Raya'. Walau begitu Pelukis nasionalis Affandi, dengan realisme yang meyakinkan 
masih sanggup menggambarkan romhusa kerja paksa yang mengakibatkan rakyat 
tinggal tulang berbungkus kulit itu dalam satu lukisan sebagai 
tugas yang digunakan untuk propaganda. 10)
. 
1945: Perombakan dan Nilai-Nilai Baru 
Peranan Lekra
Pernyataan  SKG sendiri pertama kali muncul dalam rubrik Cahier Seni dan Sastera  yang juga bernama "Gelanggang" dari Majalah Siasat,3) edisi Oktober  1950. Redaksi ruang kebudayaan Gelanggang adalah Asrul Sani dan Rivai  Apin. Sebelum diumumkan, Surat Kepercayaan ini sebelumnya pernah  dibacakan dalam sebuah pertemuan budayawan dan intelektual di paviliun  Hotel Indes Jakarta bulan Juni 1950.
Reaksi terhadap SKG baru muncul  sekitar 13 tahun kemudian, lewat pemrasaran Pramoedya Ananta Toer di  depan Seminar Fakultas Sastra Universitas Indonesia.11) Dalam makalah  panjangnya (151 halaman dengan lampiran-lampiran), yang membahas  tinjauan sosial Realisme Sosialis pada sastra Indonesia, Pram  menganalisa perkembangan sastra Indonesia dan memasukkan di dalamnya  SKG. Tanggapan Pram terhadap surat kepercayaan ini adalah hujatan.  Baginya surat kepercayaan gelanggang tidak lebih dari manifestasi  Humanisme Universal12) yang tidak lain merupakan kelanjutan dari politik  etis kolonial. Subyektivitas dan kebebasan yang diagungkan justru  membuatnya tertinggal oleh perkembangan jaman yang begitu pesat,  mengurungnya dalam menara gading idealisme. Pretensi untuk selalu  mencipta yang baru, avant-gardasme, menurut Pram adalah kesombongan  merasa diri sebagai kelompok yang paling maju dalam masyarakat. Dalih  untuk membedakan diri sejauh mungkin dari Rakyat.13)
Sekarang kita  masuk pada manifesto kebudayaan kedua, Mukadimah Lekra, yang juga  diluncurkan pada tahun yang sama dengan SKG. Mukadimah Lekra adalah  naskah proklamasi pendirian sebuah organisasi kebudayaan, Lembaga  Kebudayaan Rakyat, 17 Agustus 1950, tepat lima tahun setelah proklamasi  kemerdekaan Indonesia. Dari naskah inilah seluruh kerja-kerja kebudayaan  Lekra dilandaskan. Lekra didirikan oleh sekitar 15 orang yang menyebut  dirinya sebagai peminat dan pekerja kebudayaan di Jakarta. Pengurus awal  yang kemudian menjadi anggota sekretariat pusat Lekra adalah A.S.  Dharta, M.S. Ashar dan Herman Arjuna sebagai sekretaris I, II dan III.  Dengan anggota: Henk Ngantung, Njoto dan Joebaar Ajoeb.
Mukadimah ini  dibuka dengan pernyataan yang sangat keras, bahwa "Revolusi Agustus  1945 telah gagal!" Revolusi Agustus diyakini Lekra sebagai revolusi  seluruh rakyat Indonesia dalam mencapai kemerdekaan total dari  penjajahan, secara politis, ekonomi dan kultural. Dalam perjalanan lima  tahun setelah proklamasi 17 Agustus 1945, kelanjutan revolusi Indonesia  dianggap gagal. Perjuangan rakyat dalam menuntaskan revolusi, diputus  dan dihambat, diganti dengan apa yang disebut dengan "perjuangan  diplomasi", perjuangan yang dianggap meniadakan perjuangan dan  pengorbanan rakyat selama revolusi Agustus 1945. Dalam laporannya pada  kongres pertamanya di Solo, Sekretaris Umum Lekra Joebaar Ajoeb  menyatakan: 
Demikianlah, Lekra didirikan tepat 5 tahun sesudah  Revolusi Agustus pecah, di saat revolusi tertahan oleh rintangan hebat  yang berujud persetujuan KMB, jadi, di saat garis revolusi sedang  menurun. Lekra didirikan untuk turut mencegah kemerosotan lebih lanjut  garis revolusi, karena kita sadar, karena tugas ini bukan hanya tugas  politisi, tetapi juga tugas pekerja-pekerja kebudayaan. Lekra didirikan  untuk menghimpun kekuatan yang taat dan teguh mendukung revolusi. 15)
Sanggar dibentuk oleh seniman-seniman sesudah Revolusi lewat 
pengalaman langsung hidup rakyat kecil dalam aroma nasionalisme 
kerakyatan. Kesenian mereka, kata mereka, didorong oleh 
kesadaran kerakyatan. 13) Ini maknanya lukisan berkomunikasi 
dengan rakyat, ada perhatian yang langsung, seperti yang dengan 
terus terang dinyatakan oleh Soedjojono,..Mereka tidak mengerti 
kenyataan dari langit. Kenyataan mereka dari nasi. 14)
Kenyataan yang pahit diterima oleh rakyat kecil di tahun 1950, 
setelah Indonesia mencapai kemerdekaan dan satu demok rasi 
parlementer dibentuk, dengan Sukarno sebagai presiden pemersatu 
Republik. Banyak pelukis melarat. Seniman-seniman sanggar mulai 
menyusun garis politik dan diskusi politik dan strategi jadi 
bagian kegiatan mereka. Kesadaran kerakyatan ekspresi dari 
semangat Revolusi dipersatukan dalam ideologi kiri seperti pada 
kelompok Seniman Indonesia Muda dan Pelukis Rakyat 15) 
Sekitar 1950, para pelukis dan penulis kiri bertemu dengan Nyoto, 
seorang senior dari Partai Komunis Indonesia, mereka berdiskusi 
tentang peranan seni dalam perjuangan kelas. Nyoto menganjurkan 
perpaduan antara tradisi besar realisme kritis dan romantisme, 
untuk membuat kesenian yang menampilkan kenyataan sosial 
(realisme) menuju ke proses perubahan revolusioner (romantisme). 
Meskipun, definisi realisme sosial Nyoto terutama merujuk ke 
bidang sastra, menjadi semacam panduan. 16) Khusus gaya dan 
teknik sebagian besar tergantung pada masing-masing individu, 
kritik adalah faktor yang menentukan komitmen seorang seniman, 
karyanya didorong oleh kesadaran kerakyatan 17)) Selanjutnya 
setelah pembicaraan tersebut kelompok pelukis-pelukis kiri 
melihat seni adalah bagian yang sangat esensial dari perjuangan 
kelas, dan sejalan dengan garis sosialis realisme. 
Akibat luwesnya definisi sosialis realisme ini muncul lah beragam 
gaya dari Soedjojono dengan kepekaan photorealis menya, sampai 
bentuk-bentuk ekspresionis Affandi dan Hendra. Seniman lain, 
seperti Harijadi S., lebih jauh mengembangkan aspek surealis dan 
itu adalah yang pertama muncul dalam kese nian selama masa 
Revolusi. Sama-sama hidup di bawah membuat mereka peduli pada 
nasib rakyat kecil. Di Yogya, Sanggar men dorong dan memperkuat 
rasa kepercayaan diri dan tanggung jawab sosial, mengajarkan 
kesenian kepada seniman-seniman muda, dan antara 1950-an akhir 
dan awal 1960-an berperan sebagai forum politik kesenian. 
Sementara di Bandung model pengajaran kesenian sangat lain
Konstitusi Republik baru menjamin kemerdekaan artistik yang 
ilmiah. Karena itu, pada tahun 1947 didirikanlah sekolah kesenian 
yang mengambil lokasi di bekas tempat sekolah training 
ilustrator, di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB). Sekolah 
kesenian lain -ASRI (Akadamei Seni Rupa Indonesia) dibuka di 
Yogya tahun 1950. Sementara di Bandung staff penga jarnya 
beberapa di antaranya orang Belanda, yang mengembang kan satu 
kurikulum yang condong kepada modernisme dan kesenian abstrak, 
akademi yang Di Yogya terpengaruh oleh tradisi kerakyatan dan 
nasionalisme yang berlangsung di lingkaran kesenian Yogya sejak 
masa Revolusi. Para pengajar di sini mendorong inisiatif 
individual dalam gaya keseniannya. Filosofinya bisa diringkas 
dalam dua kata: cari sendiri. 18) 
Tahun 1957, kedua sekolah berada di bawah kekuasan Kementerian 
Pendidikan dan Kebudayaan. Policy pemerintah pada tahun 1950 
membantu perkembangan kreasi kesenian Indonesia dari elemen- 
elemen kesenian lokal. Subsidi diberikan kepada seniman-seniman 
terpilih untuk mendorong ekprimentasi, diberikan kesempatan 
pertukaran seniman antar negara dan untuk belajar ke luar negeri. 
Ketika seniman kembali mereka menda pat tugas memproduksi karya 
seni di badan pelayanan pemerin tahan. 19) 
Akibatnya, di antara dua sekolah kesenian yang dua basis nilainya 
berbeda, dimulailah persaingan dua nilai keindahan. Persaingan 
meningkat sampai pada garis politik, seperti pada debat 
kebudayaan tahun 1960-an terpolarisasi ke dalam ideologi yang 
bertentangan. Yogya, kubu Republik semasa Revolusi, mengambil 
spirit kebangsaan menjadi bagian tradisi ASRI, dan mendorong 
pencarian watak Indonesia, bebas dari dominasi kekuatan 
eksternal. 20) Menjelang tahun 1960an, jumlah seniman-seniman 
Yogya yang mengaku kiri semakin membesar. Banyak anggota LEKRA 
(Lembaga Kebudayaan Rakyat), oraganisasi sayap kiri di bawah 
naungan PKI, secara luas menyokong kelompok-kelompok seniman 
seperti Pelukis Rakyat dan Seniman Indonesia Muda. Kelompok- 
kelompok tersebut semakin dekat dengan LEKRA; anggota-anggotanya 
yang trekemuka Sudjojono, Hendra Joni Trisno, Batara Lubis, 
Surono dan Kusnadi. 21) 
Penghancuran Budaya Pembebasan: 1965
Alexander Supartono
Skripsi STF Driyarkara, Jakarta 2000 
Satu Mei
Ku tantang Kau
untuk berdansa
di tengah kobarnya Merah
………….
tak lama lagi
………….
maka carilah
Merah yang lebih merah dari darah
sejak sekarang
waktu langit kita
belum mulai tersipu
dan pijar yang ada
belum padam
.
ooo0ooo
Bab II: Patahan Teks dan Konteks: Empat Kertas Kebudayaan di Era Kemerdekaan 
Alexander Supartono
"LEKRA vs MANIKEBU: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965."
Skripsi STF Driyarkara, Jakarta 2000 
saya  mempunyai hipotesis bahwa perdebatan kebudayaan pada periode 1950-1965  secara esensial tidak pernah ada. Dalam masing-masing pembahasannya,  studi-studi tersebut secara secara tidak langsung menyatakan bahwa yang  terjadi adalah pertarungan politik yang terjadi di wilayah kebudayaan. 
. 
Bab II: Patahan Teks dan Konteks: Empat Kertas Kebudayaan di Era Kemerdekaan 
Alexander Supartono
"LEKRA vs MANIKEBU: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965."
Skripsi STF Driyarkara, Jakarta 2000 
Berawal dari Diskusi: Terangkatnya Isu "Perdebatan Kebudayaan 1960-an"
Pemicunya  adalah sebuah diskusi di Oncor Studio2) pada tanggal 17 Agustus 1993.  Sitor Situmorang hadir dalam diskusi tersebut sebagai pembicara utama.  Membahas esai panjang Goenawan Mohamad yang perrnah dimuat sebagai  sisipan di Majalah Tempo edisi Mei 1988, yang berjudul "Peristiwa  'Manikebu': Kesusasteraan Indonesia dan Politik Tahun 1960-an". Esai  tersebut oleh Goenawan yang hadir saat itu disebut sebagai: "semacam  cerita pengalaman sendiri, tentang sebuah kejadian dalam kesusasteraan  dan pemikiran di Indonesia pada tahun 1960-an awal." Dalam tulisan ini  Goenawan Mohamad melihat kembali peristiwa tahun 1960-an dengan kaca  mata yang sekarang, dengan konteks politik yang sama sekali berbeda,  bahkan berlawanan. Karenanya Goenawan berusaha bersikap semoderat  mungkin, mendudukkan semua permasalahan pada konteks yang  seluas-luasnya. Sehingga orang bisa memahami, kemudian menerima,  bagaimana kesusasteraan dan kebudayan secara umum pada masa itu  berhubungan. Pada intinya Goenawan menampilkan ironi bahwa apa yang  diperjuangkan mereka yang tertindas saat itu terulang lagi dengan korban  yang terbalik, setelah rezim penguasa berganti. Tentang tulisan  Goenawan ini, akan dibahas secara khusus nanti. Yang jelas sikap  tersebut mendapat tentangan kedua belah pihak yang berseberangan pada  saat itu
Sitor Situmorang, penyair dan bekas ketua LKN, sebagai  pembahas menolak sikap Goenawan yang mengambil jarak dengan politik.  Bagi Sitor berbagai peristiwa yang terjadi pada era 1960-an tidak bisa  dilepaskan dari politik dan harus dilihat sebagai peristiwa politik,  termasuk di wilayah kesusasteraan. Jadi berbagai tekanan yang dialami  para sastrawan, cendekiawan dan seniman penandatangan Manifes Kebudayaan  dan simpatisannya, bukanlah peristiwa sastra melainkan peristiwa  politik.3) Bagi Sitor tekanan itu harus dilihat sebagai sebuah  konsekwensi logis bila melibatkan diri dalam politik. Artinya pengumuman  Manifes Kebudayaan 17 Agustus 1963 sendiri adalah sebuah peristiwa  politik yang bermain di lapangan kebudayaan. Sehingga kalaupun harus  mempertanggungjawabkan perbuatannya di masa itu, Sitor ingin  mempertanggung jawabkannya sebagai aktivis politik.4)
Kalau Sitor  melihatnya dari sisi Manifes Kebudayaan, kebalikannya Taufik Ismail,  salah satu penandatangan Manifes Kebudayaan yang juga hadir, melihat  dari sisi para penentang Manikebu, dengan menuduh Sitor berusaha mencuci  tangan dari apa yang pernah dilakukannya dulu. Terhadap tulisan  Goenawan, Taufik Ismail kecewa karena banyak fakta yang tidak diungkap.  Yaitu bagaimana dahulu kalangan penentang Manikebu yang dekat dengan  kekuasaaan seperti LKN dan Lekra menganyang lawan-lawannya. Pada masa  itu yang terjadi bukan lagi sekedar perdebatan sengit, tapi sudah sampai  penghancuran satu sama lain.
).
2. Mukadimah Lekra 195014): Keberhasilan Revolusi Prasyarat Dasar Kelahiran Kebudayaan Indonesia Baru
Bagian  pertama menjelaskan tentang dasar kebudayaan, yaitu kesenian, ilmu dan  industri. Dalam masyarakat setengah jajahan, ketiga dasar tersebut masih  dikuasai oleh kalangan elit penguasa. Maka tugas dari pekerja budaya  yang bergabung dalam Lekra adalah mendemokratiskan kesenian, ilmu dan  industri, mengembalikannya kepada rakyat agar bisa merata dinikmati  bersama. 
Bagian kedua tentang demokratisasi seni, ilmu dan industri  yang hanya bisa dicapai lewat jalan revolusi demokrasi rakyat.  Demokratisasi tersebut akan membawa Rakyat Indonesia pada sebuah  Republik Demokrasi Rakyat, di mana kebebasan rakyat, secara individual  dan nasional untuk berkembang mendapatkan jaminannya.
Bagian tiga,  adalah penegasan bahwa yang dimaksud dengan rakyat adalah kelas buruh  dan tani, sebagai kekuatan utama dari perjuangan rakyat dan golongan  mayoritas dari rakyat Indonesia. Karena itu kebudayaan rakyat harus  berfungsi, lewat pendidikan massa, sebagai pendorong yang selalu  mengalirkan kesegaran jiwa dalam perjuangan menghancurkan feodalisme dan  imperialisme, yang selama ini telah menindas kelas buruh dan tani. 
Bagian  empat berisi lima faktor yang merugikan perkembangan kebudayaan rakyat,  karenanya harus ditolak: tidak adanya kesadaran kesatuan antara  perjuangan buruh-tani dan perjuangan kebudayaan, pengaruh dari  kebudayaan borjuis, sampai kurang terlibatnya golongan intelektual dan  pemuda dalam gerakan buruh dan tani.
Bagian lima dari konsepsi  kebudayaan rakyat mukadimah lekra ini cukup menarik. Karena secara  substansial menyerukan hal yang sama dengan apa yang disuarakan oleh  SKG. Sikap terhadap kebudayaan asing dan kebudayaan kuno yang harus  tetap kritis, dan "tidak akan menjiplak secara membudak", mengambil  unsur-unsur yang progresif dan meneruskan tradisi yang dapat meninggikan  tingkat kebudayan Indonesia. 
Bagian keenam adalah langkah-langkah  strategis organisasional Lekra dalam mewujudkan seluruh cita-citanya,  yaitu dengan bergabung bersama gerakan massa, memahami kultur massa dan  menjadikannya senjata untuk melawan kebudayaan imperialis. Bagian ini  ditutup dengan penegasan ulang tentang pentingnya sebuah lembaga  kebudayaan rakyat, sambil mengajak semua golongan yang progresif dan  patriotis untuk bergabung.
. 
Hal ini bisa dipahami karena  Mukadimah ini diluncurkan oleh sebuah organisasi kebudayaan. Dia  dijadikan landasan dari seluruh gerak organisasi dan menjadi inspirasi  dari setiap individu yang bergabung di dalamnya.. Karena itu di dalamnya  dipertegas pandangan tentang kondisi sosial politis dan ekonomi dari  masyarakat, bangsa dan negara di mana dia tumbuh: "Adalah kepastian  bahwa dengan gagalnya Revolusi Agustus 1945, rakyat Indonesia suatu  bahaya…" Berdasarkan pandangan tersebut ditentukan sikap sebagai pekerja  kebudayan: "maka kami yang bersedia menjadi pekerja kebudayaan rakyat  mempunyai kewajiban mutlak menghalau kebudayaan kolonial dan  mempertahankan kebudayaan rakyat." Dan akhirnya langkah-langkah  perjuangan direncanakan: "…menyelidiki masalah kultuur, serta  menguasainya selaku pekerja kebudayaan rakyat, untuk dijadikan senjata  perjuangan anti imperialisme".
Membawa topik Angkatan 45 dalam  pembahasan sejarah kebudayaan modern Indonesia, kita tidak bisa lepas  dari nama Chairil Anwar. Sosoknya melegenda menjadi tampilan (yang  semakin) sempurna mewakili seluruh keberadaan Angkatan 45. Dan memang  demikianlah yang ditumbuhkan selama ini. Chairil Anwar beserta keliaran,  internasionalisme dan individualismenya dijadikan semangat utama  Angkatan 45.
Pengkajian lebih dalam tentang konteks historis Angkatan  45, membuat segala image yang dibangun tentangnya bisa jadi  menyesatkan. Produksi kebudayaan yang dikategorikan pada angkatan ini,  dengan wakil utamanya Chairil Anwar, dan segala keterkaitannya dengan  semangat revolusi pembebasan bangsa, sebenarnya adalah peleburan seni  modernis dan kesusasteraan Eropa ke dalam budaya Indonesia.19) Lebih  tegas dikatakan bahwa Chairil Anwar dan teman-teman sejamannya  sebenarnya lebih dan telah memilih jalan Barat dan menganggap pengaruh  budaya Barat yang universal itu sebagai cita-cita kemanusiaan universal,  daripada berkutat pada pembangunan identitas nasionalisme bagi  Indonesia muda. (Sastrowardoyo 1997, 24) 
Pokok ini menjadi penting  untuk dibicarakan sedikit lebih jauh karena posisi sentral Chairil Anwar  sebagai representasi dari Angkatan 45. Kalau dua kertas kebudayaan di  atas lahir dari angkatan ini, yang (sekali lagi) direpresentasikan oleh  Chiril Anwar, maka pembahasan bagaimana sosok Chairil Anwar dipahami  dari sisi para penggagas SKG dan dari sisi para aktivis Lekra menjadi  penting. Dari pandangan mereka terhadap Chairil Anwar, sikap  masing-masing kelompok terhadap situasi jamannya bisa dilihat.  Berdasarkan sikap ini, jawaban terhadap berbagai masalah yang tengah  dihadapi saat itu dilandaskan.
Akhir dari Angkatan Pujangga Baru20)  ditandai dengan terbitan terakhir majalah kebudayaan dan kesusasteraan  dengan nama yang sama pada Januari-Februari 1942. Setelah itu,  dimulailah cara penulisan baru yang kemudian menjadi berpengaruh dalam  perkembangan kesusasteraan nasional Indonesia segera setelah perang  berakhir.21) Saat inilah sosok Chairil Anwar muncul, sebagai pelopor  kesusasteraan baru yang menjadi model dominan setelah tahun 1945.  Chairil dianggap membawa semangat modern pada kesusasteraan Indonesia  dan kebudayaan pada umumnya. Semangat yang kemudian diperkenalkan  sebagai "Humanisme Universal".. Kalau Chairil dianggap membawa semangat  ini di wilayah kebudayaan, maka penelusuran tentang konsep ini bisa  dilacak lewat apa yang disebut sebagai "lingkaran Sjahrir", ke mana  Chairil Anwar lari dari ketidakbahagiaan kehidupan pernikahan ibunya di  Medan tahun 1942.
John Legge memberikan gambaran jelas tentang watak  budaya intelektual yang tumbuh di sekitar Sjahrir sejak kepulangannya  dari pengasingan di Banda Neira. Nasionalisme yang berkembang pada  kelompok ini bersandar pada konsep sosial-demokratis, lengkap dengan  pemikiran sosial, politik dan kulturalnya. Dalam pamflet yang  ditulisnya, Sjahrir selain menegaskan sikapnya yang anti-fasis dan anti  komunis, juga menjelaskan garis sosialisme yang dianut dan  dikembangkannya di Indonesia, yakni bersandar pada penafsiran Marxisme  yang longgar terhadap hakekat logika kolonialisme dan imperialisme.22)  Dari sinilah bisa dimengerti mengapa Chairil dan kelompok senimannya mau  menerima bantuan finansial dari Belanda untuk menerbitkan majalah  budaya Gema Suasana pada awal 1948.23)
Dari salah satu surat-suratnya  dari penjara yang dikumpulkan Legge, Sjahrir menyatakan sikap yang  "penuh dengan anggapan yang meremehkan keterbelakangan masyarakat  Indonesia":
Kami, para intelektual merasa lebih dekat dengan Eropa  dan Amerika ketimbang dengan Borobudur atau Mahabharata, ataupun dengan  budaya Islam yang primitif di Jawa dan Sumatra. Mana yang menjadi  landasan kami, Barat ataukah dasar-dasar budaya feodal yang hingga kini  masih terdapat dalam masyarakat Timur kita?" 24)
Berangkat dari sikap  di atas, maka sikap kebudayaan yang muncul dalam SKG terasa lebih  berwarna internasional dengan memilih "Kami adalah ahli waris yang sah  dari kebudayaan dunia…" sebagai kalimat pembuka. Sajak-sajak Chairil,  terutama yang ditulis setelah masa perang kemerdekaan, penuh dengan  kebaruan dan semangat internasional (Eropa), baik dari segi bentuk  maupun dari semangat yang dibawa lewat isi. Kebaruan ini menurut Keith  Foulcher bisa ditelusuri sumbernya pada simbolisme Perancis. Chairillah  orang pertama yang mereproduksi gagasan Eropa tentang Modern ke dalam  sastra bahasa Indonesia. Beberapa nada meratapi diri sendiri, peote  maudit, muncul dominan dalam karya-karya Chairil. (Foulcher 1991, 16)
Sementara  itu sikap kalangan Lekra terhadap Chairil dan Angkatan 45 secara  keseluruhan lebih beragam, mulai dari AS Dharta yang menyatakan bahwa  angkatan 45 sudah mampus sampai penerimaan Chairil sebagai bagian dari  Angkatan 45, dari mana Lekra juga berasal. Pada dasarnya secara  organisasional Lekra tidak mengeluarkan sikap resminya tentang Chairil  atau Angkatan 45 secara umum. Jadi sikap yang muncul dari kalangan  mereka ini haruslah dianggap sebagai sikap orang perorangan.27) Kritik  utama mereka terhadap Chairil adalah sikap individualis dan anarkisnya.  Mereka menyayangkan vitalitas yang dibawa Chairil terlalu banyak  disalurkan untuk melulu mengeksplorasi permenungan-permenungan  individual. Mereka menyayangkan Revolusi sebagai perjuangan kolektif  tidak terdapat dalam karya-karya Chairil.
Walau demikian orang  seperti Joebaar Ajoeb, sekretaris umum Lekra, masih bisa menerima  Chairil sebagai seorang revolusioner. Dia malah menyalahkan mereka yang  melihat Chairil sebagai melulu individualis. Bagi Ajoeb puisi-puisi  Chairil tetap bersikap, memihak terhadap revolusi walau penuh dengan  pertentangan, drama dan romantisme. (Ajoeb 1990, 29) Unsur revolusi ini  juga diterima oleh Bakri Siregar, kritikus sastra terkemuka dari Lekra,  namun dia memilahnya dalam puisi-puisi tertentu seperti, "Kerawang  Bekasi", "Diponegoro", "Persetujuan dengan Bung Karno". Namun secara  keseluruhan, Bakri menolak menyebut Chairil sebgai seorang revolusioner.  Menurutnya
vitalitas yang begitu dahsyat dalam diri Chairil hanya  dicurahkan pada perjuangan individual. Bakri justru menyebutnya sebagai  kesombongan yang berlebihan. (Siregar 1965)
Terlepas dari semua di  atas, semua pihak menerima peran besar Chairil Anwar dalam revolusi  bentuk dalam kesusasteraan modern Indonesia. Dia adalah tonggak kedua  Puisi Indonesia setelah Amir Hamzah. Dalam essai yang sama dengan di  atas, Bakri malah menyebut Chairil sebagai orang yang membuat bahasa  Indonesia menjadi lebih kuat. Chairillah orang pertama yang membuka  kemungkinan-kemungkinan baru pemakaian bahasa Indonesia, sehingga  menjadi lebih kaya dan berisi. Chairil Anwar mempunyai jasa besar dalam  perkembangan bahasa Indonesia sendiri. Semua pihak mengakui kemampuan  Chairil untuk mengungkapkan metafora dan kemenduaan yang berasal dari  kejenuhan bahasa sehari-hari, lisan maupun tulisan. Dia mampu  mengkomunikasikannya dengan gaya yang ceplas-ceplos, sebagaiamana  ungkapan murni seorang perintis. Chairil ikut membentuk bahasa  Indonesia.
Dari situ, kita bisa melihat bahwa bahwa perdebatan antara  kelompok SKG dan Lekra tentang Chairil Anwar tidaklah pada tataran yang  sama. Pihak yang satu menerima Chairil sebagai pembaharu sastra  Indonesia, dengan meneruskan sifat internasionalismenya (yang kemudian  diterjemahkan sebagai universalisme) sebagai tahap lebih lanjut  pembangunan kebudayaan Indonesia setelah kemerdekaan tercapai. Sedangkan  pihak yang lain "menuntut" sikap lebih tegas dari Chairil terhadap  keadaan sosial politis saat itu. Mereka tidak bisa menerima sikap  Chairil sebagai individu yang dinilai terlalu bohemian, sebuah kemewahan  di tengah usaha menuntaskan revolusi.
Di tengah kondisi carut marut  ini, bagaimana dengan kehidupan kebudayaan? Bagaimana gagasan-gagasan  tentang kebudayaan Indonesia baru ini tumbuh? Di awal 1959, Lekra  berhasil menyelenggarakan Kongres Nasional-nya yang pertama. Salah satu  hasil terpentingnya adalah revisi terhadap Mukadimah Lekra versi tahun  1950. Revisi ini menunjukkan perkembangan gagasan yang tumbuh di dalam  Lekra, berkaitan dengan perubahan kondisi sosial politik jamannya.  Manifes Kebudayaan lahir tepat di tengah puncak memanasnya kondisi  politis tanah air. Polarisasi kekuatan-kekuatan politik semakin keras  antara Sukarno dan kekuatan Nasakom berhadapan dengan Angkatan Darat dan  kekuatan Islam modernis. 
3. Mukadimah Lekra 195930): Kebudayaan Indonesia yang Nasional dan Kerakyatan
Mukadimah  revisi ini sebenarnya sudah disusun pada Konprensi Nasional Pertama  Lekra Juli 1955, namun baru disahkan dalam Kongres Nasional pertamanya  tahun 1959 di Solo. Mukadimah 1950 dianggap tidak lagi cocok lagi dengan  kondisi sosial politik jamannya. Dia tidak bisa lagi menjawab  permasalahan-permasalah baru yang muncul seturut dengan perkembangan  masyarakat Indonesia. Selain itu, Mukadimah 1950 yang hanya menjelaskan  mengapa Lekra didirikan, dianggap tidak mencukupi lagi karena Lekra  sudah berkembang sedemikian rupa sehingga perlu merumuskan kembali  pokok-pokok utama tujuan gerak langkahnya.
Sekretaris Umum Lekra  baru, yang dipilih dalam Kofrensi Nasional 1955, Joebaar Ajoeb  menyatakan dalam laporan umumnya bahwa faktor-faktor yang menghambat  pertumbuhan kebudayaan rakyat seperti:
1. Tiadanya kesadaran, bahwa  perjuangan rakyat terutama perjuangan buruh tani tidak mungkin  dipisahkan dari perjuangan kebudayaan. 
2. Sentimen terhadap segala  seusatu yang berhubungan dengan kebudayaan sebagai akibat menyamaratakan  kultur rakyat dengan kultur borjuis. 
3. Tidak adanya dorongan dari gerakan rakyat, terutama gerakan buruh dan tani untuk memperhatikan masalah kultur. 
4.  Ketidakmampuan seniman rakyat sebagai pekerja kebudayaan rakyat untuk  menarik garis kebudayaan rakyat dengan kebudayaan borjuis, meskipun  kebudayaan rakyat sendiri memberikan bahan yang berlimpah-limpah. 
5.  Ketidakmampuan dari gerakan rakyat, terutama gerakan buruh tani dalam  usaha menarik golongan inteligensia dan pelajar pemuda yang berpikiran  maju ke dalam barisannya.31)
Berangkat dari kenyataan itu Lekra  melihat bahwa perjuang kebudayaan harus berpindah dari garda depan  penghancur faktor-faktor penghalang dan mempersiapkan kondisi yang  mendukung pertumbuhan kebudayaan rakyat, dalam rangka besar memperbaiki  kegagalan revolusi Agustus 1945. Gerakan kebudayaan harus menjadi bagian  dari kepemimpinan revolusi nasional, karena Lekra melihat bahwa  revolusi nasional haruslah juga merupakan revolusi kebudayaan. Dengan  demikian perjuangan rakyat pun menjadi berubah:
Perubahan cara  pandang dan titik berangkat ini pun segera tercermin dalam perubahan  konsep tentang "rakyat". Kalau sebelumnya rakyat didefinisikan sebagai  buruh dan tani dalam konteks perjuangan kelas, dalam Mukadimah 1959  konsep rakyat diperluas menjadi "semua golongan dalam masyarakat yang  menentang penjajahan".. Karena itu kalimat pembukaan dalam Mukadimah ini  menjadi, "Menyadari, bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta  kebudayaan ….. maka pada tanggal 17 Agustus 1950 didirikanlah Lembaga  Kebudayaan Rakyat, disingkat Lekra." Kalimat ini meyiratkan bahwa Lekra  adalah solusi dari pembangunan kebudayaan rakyat secara keseluruhan,  bukan hanya kelas buruh dan tani.
Secara umum Mukadimah 1959 ini  lebih kurang kaitannya dengan politik secara langsung, mereka tidak  secara tegas menyebut kondisi sosial politik semisal "kegagalan revolusi  Agustus akan memperbudak rakyat Indonesia di lapangan politik, ekonomi,  militer dan kebudayaan" seperti yang terdapat dalam versi sebelumnya.  Mukadimah 1959 membuka ruang interpretasi lebih luas pada para pekerja  budaya yang bergabung di dalamnya untuk diterapkan dalam pengambilan  keputusan setiap hari di tataran praktisnya. Perkembangan situasi juga  dilihat secara positif: "Revolusi Agustus adalah usaha pembebasan rakyat  Indonesia dari penjajahan, peperangan penjajahan serta penindasan  feodal. Hanya bila panggilan sejarah revolusi Agustus terlaksana….  kebudayaan rakyat bisa berkembang bebas."
Watak kerakyatan tentu saja  masih terus dibawa, dengan definisi "rakyat" yang diperluas seperti  telah disinggung di atas. Rakyat ditempatkan sebagai pusat dan tujuan  utama revolusi Agustus yang akan diteruskan: "Revolusi Agustus  membuktikan, bahwa pahlawan dalam peristiwa bersejarah ini, seperti  halnya dalam seluruh sejarah bangsa ini, tidak lain adalah rakyat"..  Kemerdekaan, perdamaian dan demokrasi kemudian ditetapkan sebagai syarat  bagi perkembangan bebas kebudayaan rakyat. Tiga prasyarat tersebut,  dengan penekanan pada demokrasi, diyakini sebagai hal yang universal.  Karena itu Lekra juga "membantu pergulatan untuk kemerdekaan tanah air  dan perdamian bangsa-bangsa" Dengan demikian Lekra memasukkan perspektif  internasionalisme dalam kesadaran kerakyatan yang dibangunnya.
Lekra  menyatakan diri terbuka terhadap perkembangan dan kemajuan jaman. Malah  memasukkan tambahan: "memberikan bantuan aktif untuk memenangkan setiap  yang baru dan maju". Warisan tradisi yang menjadi latar belakang  historis kebudayaan Indonesia, diperlakukan sama dengan hasil-hasil  ciptaaan klasik dunia: "dipelajari dengan seksama… dan dengan ini  meneruskan secara kreatif tradisi agung dari sejarah bangsa kita, menuju  penciptaan kebudayaan baru yang nasional dan ilmiah". 
Ditambahkan  pula secara khusus bahwa keragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa  Indonesia harus menjadi bahan yang tidak ada habis-habisnya dalam  penciptaan-penciptaan baru. Kemungkinan-kemungkinan inilah yang selama  ini dan terus akan digarap oleh Lekra. Dari bagian mukadimah inilah  Joebaar Ajoeb, dalam kongres nasional pertama Lekra mengusulkan asas  "Meluas dan Meninggi":
Dengan usaha yang meluas ini sebagai landasan,  Lekra mendorong serta menyelenggarakan kegiatan yang meninggi. Kegiatan  meluas sebagai landasan kegiatan yang meninggi, dan kegiatan meninggi  sebagai pengangkat kegiatan yang meluas. (Ajoeb 1959b, 17)
Kegiatan  meluas yang dimaksud adalah rekruitmen pekerja-pekerja kebudayaan baru,  mendidik dan mengembangkan bakat-bakatnya. Bersamaan dengan itu Lekra  juga mengajak intelektual dan seniman yang sudah terkemuka32) untuk  terus senantiasa mempertinggi mutu artistik, keilmuan dan idelogisnya.  Lekra sebagai sebuah organisasi kebudayaan bekerja menyediakan seluruh  kemungkinan, fasilitas-fasilitas, dan situasi yang kondusif untuk itu.  Dengan demikian kerja penyebaran gagasan-gagasan yang diperjuangkan  Lekra, yaitu kebudayaan berorientasi rakyat, nasional dan ilmiah, bisa  berbarengan dengan eksplorasi dan pemahaman lebih dalam atas  gagasan-gagasan tersebut.
Nyoto, salah satu Pimpinan Pusat Lekra,  dalam pidato sambutannya atas laporan umum Sekretaris Umum Joebaar  Ajoeb, menambahkan lebih jauh bahwa perjuangan kebudayaan juga harus  mampu langsung menyentuh massa rakyat pekerja. Karena itu para pekerja  budaya harus terjun langsung pada massa rakyat, masuk ke  perkampungan-perkampungan buruh, ke desa-desa kaum tani untuk hidup dan  bekerja bersama mereka sambil menyebarkan gagasan-gagasan kebudayaan  rakyat.33) Ide ini kemudian dikenal sebagai prinsip kerja "Turun ke  Bawah".
Selanjutnya Nyoto mengangkat permasalahan hubungan antara  perjuangan politik dan perjuangan kebudayaan. Nyoto menolak pemikiran  yang menganggap bahwa kebudayaan harus bersih dari politik, bahwa  seniman tidak boleh berpolitik karena akan menurunkan mutu artistik  karya-karyanya. Baginya politik dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan,  dan belum dibuktikan bahwa seniman yang berpolitik akan merosot mutu  "kesenimannya. Lebih tegas lagi Nyoto:
Politik tanpa kebudayaan masih  bisa jalan, tetapi kebudayaan tanpa politik tidak… Sekali lagi kawan,  politik itu penting sekali. Jika kita menghindarinya, kita akan digilas  mati olehnya. Karena itu dalam hal apa pun dan kapan sajapun, politik  harus menuntun segala kegiatan kita: Politik adalah Panglima. (Nyoto  1959, 56-57)
Usulan Nyoto dengan azas "Turun Ke Bawah", sempat  dipertanyakan kegunaannya, karena selama ini sebagian anggota Lekra  sudah berada di "bawah". Kemudian dijelaskan bahwa prinsip kerja "Turun  ke Bawah" perlu dieksplisitkan untuk menjamin seniman tetap satu dengan  rakyat, pikiran dan perasaan seniman satu dengan pikiran dan perasaan  rakyat. Nyoto menambahkan bahwa metode "Turun ke Bawah" ini akan efektif  kalau para pekerja budaya terus membekali diri dengan ketulusan dan  ilmu pengetahuan, dan tidak sekalipun menjadikan rakyat sebagai obyek.
Azas  "Politik Sebagai Panglima" yang muncul pertama kali dalam kongres,  kemudian dibicarakan secara khusus dalam Konfernas Lekra Agustus 1960.  Politik yang dimaksud adalah politik yang maju, kerakyatan dan  revolusioner, untuk membedakan dengan politik yang kolot, anti  kerakyatan dan reaksioner.34) Lebih jauh lagi prinsip ini menuntut  komitmen politik para anggota Lekra dalam setiap aktivitasnya secara  kongkrit. Dengan disampaikannya pertama kali pada kongres, maka komitmen  ini tidak hanya dituntut dari individu anggota Lekra pada setiap kerja  kreatifnya, tapi juga dituntut dari Lekra sebagai organisasi. 
Akhirnya, pada Konfernas Lekra 1962, ditetapkan perumusan pedoman gerak Lekra, yang terkenal dengan nama prinsip 1-5-1:
Dengan  Berlandaskan azas politik sebagai panglima, menjalankan 5 kombinasi,  yaitu meluas dan meninggi, tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu  arstistik, memadukan tradisi yang baik dan kekinian yang revolusioner,  memadukan kreativitet individuil dan kearifan massa, dan memadukan  Realisme Sosialis dan romantik revolusioner, melalui cara kerja turun ke  bawah.36)
Lima kombinasi di atas kemudian dikenal sebagai "azas dua  tinggi", dan merupakan pengembangan dari prinsip meluas dan meninggi.  Ketika Joebar Ajoeb melansir asas dua tinggi ini, tidak diberikan  penjelasan secara khusus. Sebagai bagian dari laporan umumnya, setelah  menyebutkan beberapa karya seniman Lekra di bidang seni lukis, film,  sastera dan puisi,37) dia memberikan penilaian dan menyimpulkan bahwa  karya-karya itu telah menempuh jalan: "mengkombinasikan isi yang baik  dengan bentuk yang indah, mengkombinasikan mutu ideologis yang tinggi  dengan mutu artistik yang tinggi, mengkombinasikan tradisi yang baik  dengan kesenian yang revolusioner dan mengkombinasikan realisme  revolusioner dengan romantik revolusioner." (Ajoeb 1960, 23)
Rupanya  dari penilaian itulah, disamping prinsip "meluas dan meninggi",  dirumuskan 2 prinsip yang lain - tinggi mutu ideologi - tinggi mutu  artistik dan memadukan tradisi yang baik dengan kekinian yang  revolusioner. Satu tambahan prinsip lagi diusulkan oleh Nyoto, yaitu:  mengkombinasikan kearifan kolektif massa dengan kearifan individual si  seniman. (Ajoeb 1960, 57) Lebih dari itu tidak ditemukan penjelasan atau  pembahasan lebih jauh tentang tambahan 4 prinsip tersebut.
Yang  menarik diperhatikan adalah masuknya dua istilah Soviet "Realisme  Sosialis dan romantisme revolusioner". Padahal dalam pembicaraan dan  diskusi yang terjadi sejak kongres pertama tahun 1959, disusul Pleno PP  Lekra tahun 1960 sampai Konfernas I tahun 1962, dua istilah itu tidak  menjadi topik pembahasan. Nyoto memang pernah menyinggung nama Chou  Yang38) dalam pidato sambutannya di Kongres I Lekra tahun 1959, namun  tidak dalam konteks pembahasan dua istilah tersebut. Nama Chou Yang di  sini menjadi penting, karena Keith Foulcher menengarai bahwa rumusan  1-5-1 ini merupakan pengaruh dari Cina. Menurutnya, kombinasi antara  Realisme Sosialis dan romantisme revolusioner pertama kali dikemukakan  oleh Mao Tse Tung, kemudian ditulis dan dipublikasikan pertama kali oleh  Chou Yang dalam Red Flag, edisi Juni 1958. (Foulcher 1986, 111)  Sedangkan saat Nyoto menyinggung nama Chou Yang, ia tidak menyebut  tentang dua istilah itu. Artinya, Realisme Sosialis tidak pernah  dibahas, apalagi diterima dan disahkan, sebagai ideologi resmi Lekra.
Kedua,  penempelan ini juga tidak memperdulikan prasyarat utama tumbuhnya  konsep ini di Indonesia, yaitu ketersediaan bahan bacaan tentangnya.  Sampai tahun 1960, baru buku Nikolai Chernyshevski, Hubungan Seni dan  Realitet, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian  menyusul buku Seni dan Kehidupan Sosial karangan Plekhanov. Buku lain  dalam naskah asli karangan estetikus Marxis seperti Bertolt Brecht,  Walter Benyamin, Georg. Lukacks, dan Ivan Gronski, hanya beredar di  kalangan sangat terbatas. Dan jika dilihat tulisan-tulisan sejaman,  sedikit sekali nampak hasil pergaulan dengan karya-karya tersebut. 41)  Karena inilah mengapa Joebaar Ajoeb menyatakan bahwa pembahasan sejarah  Realisme Sosialis di Indonesia telah dilepaskan dari konteksnya.  Menurutnya, Realisme Sosialis sebagai konsep penciptaan baru berhasil  menggugah "keingintahuan" para sastrawan Lekra di tingkat nasional,  sehingga tulisan tentangnnya masih bertaraf "orientasi" dan jauh dari  "doktrin."42) Sebagai Sekretaris Umum Lekra yang tahu betul kondisi  organisasinya, Joebar tidak bisa membayangkan bagaimana repotnya membawa  konsep ini ke kelompok-kelompok ludruk, ketoprak, lenong yang  diorganisir Lekra. 
Joebaar Ajoeb dalam refleksinya yang dibuat lebih  dari 25 tahun sesudah peristiwa G/30/ S/1965 mencoba menjelaskan  konteks permasalah mengapa Lekra sampai memilih "Politik sebagai  Panglima".. Pertama-tama Joebaar Ajoeb mengklarifikasi bawa azas politik  sebagai panglima bukanlah instruksi atau keharusan dalam sebuah kreatif  penciptaan, tradisi yang menurutnya tidak pernah dikembangkan dalam  Lekra. Kebebasan individu, walau dalam semangat dan gerak kolektif tetap  mendapat tempat yang sangat layak dalam Lekra. Seperti ditegaskan dalam  Mukadimah Lekra: "terdapat kebebasan dalam perkembangan kepribadian  berjuta-juta rakyat". 
Politik sebagai panglima disahkan dalam  konprensi dan diterima sebagai azas kerja kreatif (Ajoeb 1990, 9),  bersama tuntutan lainnya yang tergabung dalam rumusan 1-5-1. Tidak  pernah dibuatkan petunjuk resmi dan rinci mengenai hal ini. Para anggota  bebas menginterpretasikan, memakai atau tidak memakainya dalam kerja  dan karya. Latar belakang dari semboyan ini adalah agar para anggota  Lekra memiliki pengetahuan politik yang memadai. Lalu mengapa perlu  sampai dijadikan semboyan resmi? Karena pada saat itu, di tengah  tarik-menarik kekuatan politik yang semakin memanas, ada semacam  propaganda untuk menjauhkan seniman dari gelanggang politik, dalam arti  yang seluasnya dengan slogan " Politik itu kotor dan seniman itu suci".  Dan Lekra menentang propaganda ini.
Kalau dibandingkan secara literer  penjelasan Joebaar Ajoeb di atas, dengan kutipan pidato Nyoto saat  kongres nasional Lekra tahun 1959, yang mengusulkan agar politik  dijadikan panglima, maka akan tertangkap kesan penghalusan. Dari yang  gagah dan berapi-api menjadi kearifan mencari hikmat. Kunci perbedaannya  adalah konteks, suasana dan semangat jamannya. Sedangkan substansinya  tertinggal sama. Kalaupun bisa dibuktikan bahwa ada karya orang-orang  Lekra yang lebih layak disebut pamflet politik, maka ini adalah soal  interpretasi. Yang, sekali lagi, tak bisa dilepaskan dari pengaruh  atmosfir jamannya. Suatu atmosfir di mana terjadi mobilisasi politik  besar-besaran, sehingga bahasa yang diterima pun menjadi sloganistik,  bombastis dan membakar massa. Walau tidak jarang malah menunjukkan  kedangkalan pemahaman..
Dalam suasana seperti itulah, pada tanggal 17  Agustus 1963, 16 orang penulis, tiga Pelukis dan seorang komponis  menandatangani dan mengumumkan sebuah Manifesto Kebudayaan, lewat harian  Berita Republik 19 Oktober 1963 dan majalah bulanan Sastra edisi  September, halaman 27-29.
Kostradnya Kebudayaan51): Hubungan Manikebu dan Militer
Kalau  Soekarno dan PNI-nya memiliki Lembaga Kebudayaan Nasional, kemudian PKI  "memiliki" Lembaga Kebudayaan Rakyat, maka Militer memiliki kelompok  Manifes Kebudayaan. Demikianlah mungkin gambaran sederhana ranah  kebudayaan Indonesia menjelang akhir paruh pertama tahun 1960-an, dalam  konteks hubungan kebudayaan dan (kekuatan) politik (praktis).
Pada  tahun-tahun itu, tiga kekuatan politik dominan yang saling tarik menarik  adalah Soekarno dengan dukungan penuh PNI, kemudian militer dalam hal  ini Angkatan Darat, dan PKI sebagai pihak ketiga yang menunjukkan  peningkatan luar biasa setelah pemilu 1955. Dengan terbentuknya Front  Nasional, lewat Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis), Soekarno  berhasil menyatukan kekuatan-kekuatan partai-partai politik terbesar  pemenang pemilu 1955. Tentu saja selain partai Islam modernis Masyumi,  yang bersama PSI dinyatakan terlarang sejak tahun 1960 karena terlibat  dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Dengan konstelasi politik semacam  itu, maka tinggalah militer yang sendirian tanpa afiliasi dengan  kekuatan politik yang ada pada saat itu, bersama kecenderungan latennya  yang anti partai dan pemerintahan sipil.
Kecenderungan anti partai  ini sepertinya bersambut gayung dengan mereka yang kemudian bergabung  dengan kelompok Manikebu, yang digambarkan oleh Goenawan Mohamad sebagai  orang-orang yang jauh dari "orang resmi".. (Mohamad 1993, 23) Yaitu  mereka yang tidak terlibat dalam partai, tidak duduk dalam dewan  nasional dan memilih "menggelandang". Mereka ini lebih cenderung  mengambil sikap seperti HB Jassin dalam hal tidak menunjukkan bendera  partai. Goenawan kemudian menambahkan bahwa sebagian dari mereka ini  mungkin menyimpan simpati mereka pada PSI dan Masyumi yang sudah  dilarang.
Pertautan kecenderungan yang sama inilah yang membuat Iwan  Simatupang52) mengundang Goenawan Mohamad, Bur Rasuanto, A. Bastari  Asnin dan Sjahwil (semuanya kemudian menjadi penandatangan Manikebu),  datang ke rumahnya untuk dipertemukan dengan orang Soksi (serikat buruh  bentukan militer untuk menyaingi Sobsi-nya PKI), yang menurut Iwan ingin  membentuk organisasi kebudayaan. (Mohamad 1993, 26) Ketika pertemuan  ini disampaikan pada Wiratmo Soekito, dia hanya berkomentar: "Sudah  saatnya kita menjelaskan pendirian kita".. Sambil kemudian mengusulkan  agar gagasan-gagasan kebudayaan diantara mereka disusun dan  didiskusikan. Jika orang Soksi itu mau berkeja sama akan diterima dengan  senang hati, tapi apabila tidak, pendirian tentag kebudayaan ini tetap  akan diumumkan. Hubungan dengan orang Soksi ini memang tidak jelas  kelanjutannya, sampai Manikebu diumumkan 2 bulan kemudian.53) 
Keith  Foulcher pun memahami Manifes Kebudayaan sebagai sebagai kelompok  intelektual dan budayawan anti-Lekra yang menjadi bagian dari proses  polarisasi kekuatan politik. Mereka Mendapat dukungan dari militer  karena anti Lekra yang kiri, sejalan dengan militer yang berseberangan  dengan PKI. Kemunculan kelompok ini Juli 1963, dilihat Keith sebagai  "pameran kekuatan" dari suatu kelompok yang mewakili kepentingan  kebudayaan anti komunis. (Foulcher 1986, 124), yang mendapat dukungan  terselubung dari militer.
Dukungan terselubung militer ini menjadi  terbuka ketika kelompok Manikebu mengadakan Konprensi Karyawan Pengarang  Indonesia 1-7 Maret 1964. Konprensi ini diadakan terutama untuk memberi  wadah pada para pendukung Manikebu, semacam pelembagaan awal kegiatan  mereka. Diharapkan lewat forum ini , mereka bisa merapatkan barisan  menghadapi para penyerang, dengan mulai menterjemahkan gagasan menjadi  aksi. Dukungan militer dalam konprensi ini mulai dari transportasi untuk  para peserta dari luar Jakarta, penyediaan akomodasi dan tempat sampai  mengirimkan wakilnya, Birgadir Jendral Soedjono sebagai ketua Presidium  konprensi tersebut.
Sejauh sebagai sebuah acara yang mau  mengelaborasi gagasan-gagasan yang ada dalam Manikebu, konprensi ini  gagal. Dari keputusan yang dihasilkan, tidak tercermin pikiran-pikiran  manifes kebudayaan di situ. Selain pernyataan-pernyataan umum pada masa  itu, belum juga keluar dari idiom-idiom seperti "meneruskan revolusi",  "berhaluan Manipol/Usdek", bahkan secara khusus menyatakan "taat pada  garis Pemimpin Besar Revolusi. Beberapa program kerja memang berhasil  dihasilkan, tapi karena sifatnya yang sangat umum maka tidak akan  dibahas di sini. Sedangkan soal spesifik Manikebu sendiri tidak masuk  dalam agenda pembahasan konprensi. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan  Priyono dalam pembukaan malah terang-terangan menyerang Manifes  Kebudayaan. Kepala Staf Angkatan Bersenjata A.H. Nasution dalam  sambutannya lebih tegas lagi menyatakan ketidak setujuannya pada  kelompok ini atas penolakan mereka pada azas "politik sebagai panglima"  dan malah menyarankan agar menyusun sebuah :manifes" yang baru. 54)  Militer mendukung di belakang layar penyelenggaraan KKPI tersebut, tapi  di atas pentas Nasution menentang mereka. Sambutan Nasution ini semakin  menunjukkan bagaimana kelompok Manikebu ini benar dijadikan komoditi  politik militer. Kapan perlu mereka mendukung, pada saat tertentu  ditentang.
Ironis memang bahwa dugaan Manikebu memiliki hubungan  dengan militer, justru dikonfirmasi oleh pihak militer sendiri, dengan  memberikan dukungan pada KKPI tersebut. Hubungan inipun akhirnya  disahkan oleh Wiratmo Soekito pada tahun 1982. Dalam salah satu  tulisannya, Wiratmo mengaku bahwa dia "secara sukarela telah bekerja  pada dinas rahasia angkatan bersenjata."55) Goenawan menjelaskan skandal  ini sebagai: "suatu kecenderungan yang normal untuk beraliansi di  antara mereka yang dimusuhi, atau memusuhi PKI". (Mohamad 1993, 51)
Setelah  kelompok manikebu ini keluar sebagai pemenang bersama dengan kelahiran  Orde Baru, diskusi lebih jauh atas gagasan-gagasan yang dibawanya pun  tidak terjadi. Padahal ruang sudah terbuka lebar. Tulisan-tulisan dari  mereka yang lahir pasca pergantian kekuasaan 1965, tidak menunjukkan hal  itu. Kecuali tulisan-tulisan yang berusaha terus menerangkan proses  kelahiran Manikebu dan bagaimana mereka dulu diteror dan difitnah oleh  Lekra.56) Selain ini kita hanya menemukan artikel-artikel pendek Wiratmo  Soekito yang berusaha membahas gagasan-gagasan Manikebu.57) Begitu pula  dengan para pendukung mereka yang sempat diorganisir lewat KKPI. Dengan  keterbukaan yang sudah ada, pertemuan lanjutan dari konprensi itu juga  tidak pernah dilangsungkan.
Sedangkan apa yang oleh HB Jassin disebut  sebagai Angkatan 66 dalam sejarah sastra Indonesia, juga tidak  berkaitan langsung dengan gagasan-gagasan Manikebu. Produksi kebudayaan  dari angkatan ini, terutama sastra, sejauh yang dicatat hanya berkaitan  dengan perjuangan mahasiswa meruntuhkan Soekarno. Karena itu "Puisi  Demonstran"-lah yang dijadikan manifestasi. Gagasan Humanisme Universal  tidak hidup di kalangan ini. Karena itu Satyagraha Hoerip menyarankan  pada HB Jassin mamasukkan "Angkatan Manifes" atau paling tidak "Angkatan  63",58) dalam rangka mewadahi kerja-kerja kreatif yang dihasilkan  kelompok Manikebu.
Menjejerkan teks Mukadimah Lekra dan teks  Manifesto Kebudayaan, penulis tidak menemukan perbedaan mendasar. Kalau  Lekra menyatakan "bekerja untuk membantu manusia yang memiliki segala  kemampuan untuk memajukan dirinya dan perkembangan kepribadian yang  bersegi banyak dan harmonis", maka Manifesto menegaskan bahwa "bagi kami  kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup  manusia". Penolakan Manifesto Kebudayaan pada Humanisme Universal yang  membuat "orang harus toleran terhadap imperialisme dan kolonialisme",  diteruskan dengan kerja Lekra untuk merombak "sisa-sisa kebudayaan  penjajahan yang mewariskan kebodohan, rasa rendah serta watak lemah".
Jadi  pertentangannya terletak pada konteks sejarah jaman yang melingkupi  kedua kertas kebudayaan tersebut. Keduanya terseret pada gejolak dan  perseteruan politik yang terjadi pada masa itu. Dengan satu dan lain  cara, kekuatan-kekuatan politik dominan pada masa itu (Soekarno, Militer  dan PKI) telah berhasil membawa medan pertempuran mereka ke wilayah  kebudayaan, ketika menyeret dan menjadikan Lekra dan Manikebu sebagai  pemain-pemain utamanya. Dengan demikian, pelarangan Manifesto Kebudayaan  adalah tidak lebih dari hasil dari dramatisasi dan manipulasi politik.
Kesimpulan
Membaca  keempat teks kertas kebudayaan di atas, kita akan kecewa kalau  mengharapkan akan menemukan suatu "debat kebudayaan", sebagaimana selama  ini dipahami. Seperti yang diantarkan pada bagian awal bab ini, dengan  mengacu pada bab sebelumnya. Dari teks-teks itu kita tidak berhasil  menemukan apa yang digemborkan sebagai "prahara budaya", pertarungan  antara kelompok yang yakin pada kebenaran paham Humanisme Universal  dengan mereka yang memperjuangkan ideologi Realisme Sosialis dalam  kesenian dan kebudayaan pada umumnya. Padahal justru dari teks inilah  segala perdebatan, pertentangan sampai permusuhan sekalipun, seharusnya  berakar. Ternyata tidak demikian adanya.
Dua teks kertas kebudayaan  terdahulu yang kita bahas, SKG dan Mukadimah Lekra 1950, justru  menunjukkan kesesuaian di sana sini, kalau tidak mau dibilang saling  melengkapi.. Isi sama persis, tentu saja tidak, karena keduanya  mempunyai perbedaan titik tekan. Perbedaan mana yang kalau disandingkan  dalam rangka perbandingan, tidak akan saling meniadakan satu sama lain.  Walau SKG menekankan kebebasan dan integritas individu pencipta budaya,  bukan berarti bertentangan dengan Mukadimah yang menekankan pentingnya  keberhasilan revolusi bagi perkembangan kebudayaan rakyat. Begitu pula  semangat internasionalisme SKG sebagai "ahli waris kebudayaan dunia",  tidak pula menghambat perjuangan Mukadimah untuk menghancurkan  kebudayaan kolonial dan feodal dan menggantinya dengan kebudayaan rakyat  yang demokratis.
Apalagi kalau melihat bahwa SKG juga mengakui  "revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai". Pernyataan ini  seakan bersambut gayung dengan kepastian Mukadimah akan "gagalnya  Revolusi Agustus 1945".. Kebaruan adalah obsesi dari kedua kertas  kebudayaan ini. Seturut dengan kemerdekaan yang sudah diraih, harapan  tentang masa depan gemilang dan kegairahan menanti janji-janji revolusi  pun bermekaran dengan sangat emosional. Kegairahan iini menuntun mereka  untuk mengambil sikap terhadap tradisi dan masa lalu, yang kadang sangat  keras, untuk menjejak langkah ke depan. Seperti tertulis dalam SKG:
Kalau  kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada  melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan,  tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat…  Revolusi bagi kami adalah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai  usang yang harus dihancurkan.
Mukadimah Lekra secara esensial  mengambil sikap yang sama. Memang pada batas-batas tertentu Lekra  mengajak kembali pada kebudayaan nenek moyang, namun kebudayaan itu  bukanlah menjadi penghalang untuk memulai sesuatu yang baru, justru  dijadikan titik pijak dalam menapak kebaruan itu sendiri:
Demikian  pula kebudayaan Indonesia kuno tidak akan dibuang seluruhnya, tetapi  juga tidak akan ditelan mentah-mentah. Kebudayaan kuno akan diterima  dengan kritis untuk meninggikan tingkat kebudayaan Indonesia baru yaitu  Kebudayaan demokrasi Rakyat…… Untuk ini kami yang bersedia menjadi  pekerja Kebudayaan Rakyat mempersatukan diri dan menyusun kekuatan untuk  bertahan serta mengadakan perlawanan terhadap setiap usaha yang hendak  mengembalikan kebudayaan-kolonial, kebudayaan kuno, yang reaksioner itu.
Lalu  di mana letak perbedaannya, untuk menjadi bahan perdebatan. Di manakah  dapat ditemukan Humanisme Universal secara teoritis konseptual dalam  SKG, atau manifestasi ideologi Realisme Sosialis dalam Mukadimah Lekra?  Kalaupun perbedaan titik tekan yang dimaksud, pertukaran antarnya malah  akan menghasilkan sintesa yang lebih baik lagi. Sintesis yang merangkum  semangat pembaruan, revolusi, kebebasan kreatif dan demokrasi, rakyat  dan kepribadian Indonesia yang baru dalam satu gerak langkah menyusun  sejarah dan hari depan Indonesia.
Kalau soal "Angkatan 45" dianggap  sebagai titik awal perseteruan antara orang-orang SKG dan para anggota  Lekra, bukankah keduanya berasal dari sana? Bukankah keduanya sama-sama  mengemban alam pemikiran kebudayaan "Angkatan 45", sebagai penerus  pembaruan dari revolusi Agustus 1945. Apalagi kalau kita menerima  periodisasi "Angkatan 45" yang berakhir tahun 1949, kemudian SKG dan  Mukadimah Lekra diumumkan pada tahun 1950, maka cukupkah kesempatan -  paling tidak dari segi waktu - bagi keduanya untuk benar-benar berbeda  secara mendasar. 
Refleksi Joebaar Ajoeb tentang pokok diatas, yang  ditulisnya dalam Mocopat Kebudayaan Indonesia, adalah gambaran yang  paling mewakili:
Kalau Angkatan 45 bersikap intuitif terhadap  revolusi, Lekra mencoba mengembangkan sikap intuitifnya ke dalam konsep  atau wawasan yang dilembagakan. Jika SKG yang merupakan bagian dari  sikap Angkatan 45, bersikap terhadap kebudayaan dunia dan revolusi  nasional, Lekra ingin menjabarkannya secara lebih kategoris dan aktual  bagi kepentingan pembaruan kebudayaan Indonesia.
Beralih pada periode  kedua, kita menemukan situasi yang justru semakin memburuk. Hubungan  antara teks kedua kertas kebudayaan tersebut dengan konteks politis yang  melingkari semakin jauh untuk dimengerti pertautan logikanya. Buku DS  Moeljanto dan Taufik Ismail, Prahara Budaya, yang diulas dalam bab I  menjadi contoh yang terang tentang putusnya hubungan antara teks dan  konteks. Antara apa yang tertulis di atas kertas dan apa yang dijadikan  alasan untuk memulai sebuah "pertempuran".
Dengan menganalisa secara  tekstual Mukadimah Lekra dan Manifes Kebudayaan beserta penjelasannya,  maka kita segera tahu bahwa kegaduhan dunia kebudayaan Indonesia di  akhir paruh pertama 1960 tidak bersumber dari situ. Sebab Manikebu yang  kemudian resmi dinyatakan terlarang oleh pemerintah, minimal secara  formal tidak menentang cita-cita sosialisme saat itu. Kerancuan ini  semakin bertambah bila melihat bahwa Konprensi Karyawan Pengarang  Indonesia (KKPI) yang mereka organisir beberapa 2 bulan sebelumnya,  tidak dilarang. 
Humanisme universal dan Realisme Sosialis memang  semakin sering disebut. Namun bukan pemahaman dan pembelajaran  konseptual lebih jauh yang didapat, melainkan pertarungan di tataran  lain yang justru semakin sengit dengan menjadikan kedua paham itu  sebagai "judul" dari masing-masing pihak. Seperti sudah disebut di atas,  secara tekstual Mukadimah Lekra dan Manifes Kebudayaan tidak mempunyai  perbedaan yang begitu dahsyat yang bisa melahirkan pun potensi-potensi  konflik antara keduanya. Namun pertarungan hebat malah terjadi antara  keduanya. Pertarungan yang lagi-lagi tidak bisa dicari dasar argumen  konseptualnya dari kedua kertas kebudayaan tersebut. Jadi pertarungan  terjadi karena keduanya terseret pada konteks politis jamannya, yang  memang semakin memanas.
Tarik menarik berimbang antara tiga kekuatan  politik utama pada masa itu, antara Sukarno, Militer dan PKI, - segera  berubah konstelasinya setelah front nasional nasakom berhasil terbentuk,  dengan meninggalkan militer sendirian. Kesendirian ini mendorong  militer untuk bersekutu dengan kelompok seniman dan budayawan yang tidak  punya afiliasi atau bahkan kedekatan dengan kekuatan politik dominan.  Lewat Wiratmo Soekito, konseptor 95% naskah Manikebu dan yang kemudian  mengaku sendiri bahwa dirinya bekerja untuk badan intelejen militer,  maka lahirlah Manifes Kebudayaan. Menimbang fakta-fakta ini, maka  bisalah disebut bahwa Manikebu adalah provokasi politik (militer) di  wilayah kebudayaan. Provokasi yang sama terjadi pada saat pelarangannya.  Betapapun gencar serangan terhadap mereka, tidak ada satu pun  permintaan resmi organisasional dari para seteru Manikebu kepada  pemerintah untuk melarangnya.
"Ketertarikan" militer berkiprah dalam  kebudayaan dengan mendukung Manikebu ini memang agak ganjil. Sebab  kebudayaan dalam tradisinya bukanlah wilayah "kepedulian" militer. Ada  dua alasan masuknya militer dalam kebudayaan, Pertama, berimbangnya  kekuatan politik, dengan massa yang terorganisir di bawah Front Nasional  Nasakom, membuat militer kesulitan menerapkan "cara-cara militeristik"  dalam mencapai tujuan mereka. Kedua, sejak Pemilu 1955 mereka melihat  bagaimana peran kebudayaan dalam menggalang kekuatan massa. Dalam setiap  kampanye PKI yang didukung anggotanya yang kebetulan juga anggota  Lekra, kampanye tersebut selalu menjadi pesta rakyat. Dari sinilah  dilihat bahwa lembaga kebudayaan juga mempunyai kekuatan politik  (massa). Maka untuk melawan kekuatan politik lembaga kebudayaan seperti  Lekra, diperlukan pula kekuatan kebudayaan. Berdasarkan pikiran inilah  militer mendukung Manikebu.
Dan seperti tampak dalam buku DS  Moeljanto dan Taufik Ismail, Lekra dan lembaga kebudayaan lain seperti  LKN, termakan provokasi-provokasi ini. Sehingga "dialog kebudayaan" yang  terjadi semakin lama semakin terdegradasi kualitasnya. Perdebatan itu  meninggalkan argumen-argumen konseptualnya, menelantarkan kerja-kerja  kreatif dan kejujuran-kejujuran dalam penciptaan karya, untuk kemudian  ikut dalam serangan-menyerang banal yang memang menjadi atmosfer politik  saat itu. 
Sampai di sini kiranya sudah bisa diputuskan bahwa  perdebatan itu, yang tampak banal seperti dipaparkan di bab I, ternyata  tidak pernah ada. Paham Humanisme Universal dan Realisme Sosialis, yang  sering diletakkan berhadapan dan dijadikan "seolah-olah" dasar  konseptual pertentangan, ternyata tidak pernah ada, setelah diteliti  konteks historis dan kemungkinan perkembangan paham-paham tersebut pada  masanya. Lalu di manakah masalah yang sebenarnya? 
Bahwa ada sekian  kelompok kebudayaan baik formal atau non formal, dengan masing-masing  gagasannya, sudah dapat dipastikan akan terjadi dialog, komunikasi,  pertukaran atau bahkan adu argumen diantara mereka. Kalau kemudian  menjadi begitu "meriah", kita sudah menemukan jawabannya: provokasi  politik. Tapi tetap saja gagasan-gagasan itu ada tertinggal, walau tidak  sempat dieksplorasi lebih jauh. 
Tema-tema seperti kebebasan  kreatif, integritas individu pencipta budaya, peran kebudayaan dalam  menuntaskan revolusi, hubungan penciptaan karya dan perannya dalam  masyarakat, semangat internasionalisme dan pembangunan budaya yang  nasional dan kerakyatan, kepribadian kebudayaan Indonesia di tengah  bangsa-bangsa di dunia, sikap terhadap tradisi dan modernitas sampai  tuntutan seni dan para pekerjanya untuk menetapkan komitmen pada rakyat,  adalah hal yang tidak boleh dilupakan. Walau ditelantarkan karena  provokasi politik itu tadi.
Semua hal di atas bisa diletakkan dalam  satu kerangka pencarian identitas kebudayaan baru bagi bangsa yang telah  berhasil bebas dari kolonialisme. Untuk membahas tema ini lebih jauh,  kita akan mencarinya dari sejarah kebudayaan Indonesia sendiri, terutama  di masa-masa kolonialisme. Bagaimana para tokoh pergerakan dan tokoh  kebudayaan pada masa itu memikirkan dan memperbincangkan kebudayaan  macam apa yang akan dibangun bila kemerdekaan tercapai. Dan bagaimana  kebudayaan itu mengambil perannya dalam pembebasan nasional dari  kolonialisme. Untuk ini kita akan masuk pada Bab III.
Catatan:
1)  Pembagian ini bersifat fleksibel untuk memudahkan pembahasan lebih  lanjut. Lekra, pada masanya bisa dikatakan mendominasi wacana kebudayaan  Indonesia pada era ini. Wacana tandingan yang muncul tidak dilahirkan  oleh sebuah organisasi seperti Lekra, namun dari berbagai unsur yang  merasa berseberangan dengan Lekra ini, mereka yang memiliki "musuh  bersama": Lekra. Jadi pengelompokannya kemudian menjadi Lekra dan non  Lekra.
2) Naskah lengkap Surat Kepercayaan Gelanggang lihat lampiran 1.
3)  Siasat adalah majalah mingguan politik dan kebudayaan yang diasuh oleh  kalangan budayawan dan intelektual yang kemudian hari dekat dengan  Partai Sosialis Indonesia (PSI), seperti Soedjatmoko, Rosihan Anwar,  Gadis Rasjid dan Soedarpo Sastrosatomo. Terbit pertama kali Januari  1947, sedangkan ruang kebudayaan "Gelanggang"-nya baru muncul pada awal  1948 atas inisiatif sekelompok seniman (yang bukan kebeteluan juga  bernama) "Gelanggang" seperti Chairil Anwar dan Ida Nasution. Kelompok  yang bernama lengkap "Gelanggang Seniman Merdeka" inilah yang kemudian  oleh HB Jassin dikategorikan sebagai Angkatan 45 dalam sejarah sastra  Indonesia.
4) Semangat internasionalisme ini menurut beberapa  pengamat sejarah kesusateraan Indonesia modern dibawa terutama oleh  Chairil Anwar yang berangkat dari identifikasi dengan estetika modern  Eropa. Lihat misalnya Foulcher, Keith, 1994, Angkatan 45: Sastra,  Politik Kebudayan dan Revolusi Indonesia, Jakarta, Jaringan Kerja  Budaya, hlm.. 23, atau Sastrowardoyo, Subagio, 1997, Sosok Pribadi dalam  Sajak, Jakarta, Pustaka Pelajar hlm. 24.
5) Konsep Surat Kepercayaan  Gelanggang yang diusulkan (tapi tidak disahkan) sebenarnya lebih lugas  bahasanya, sederhana, mudah dimengerti dan sedikit lebih panjang. Lihat  lampiran 5. Tidak didapat penjelasan mengapa justru konsep kedua yang  disahkan.
6) Abdullah, Taufik, 1997, "Kata Pengantar" , dalam Sani, Asrul, 1997, Surat-Surat Kepercayaan, Jakarta, Pustaka Jaya, hlm. xxiv
7) Sani, Asrul, 1950, "Fragmen Keadaan I", Siasat, Minggu 22 Oktober 1950
8) Sani, Asrul, 1950, "Fragmen Keadaan II", Siasat, Minggu 29 Oktober 1950
9)  Pada perkembangannya angkatan ini melahirkan banyak perdebatan sampai  tahun 1965. Setalah tahun itu, hanya ada satu interpretasi tentang  angkatan ini, yang dikembangkan secara konsisten dalam terbitan-terbitan  Pusat Dokumentasi Sastra HB Jaasin dan tulisan-tulisan di Majalah  Kebudayaan Horison.
10) Ajip Rosidi sebagai penyunting buku Asrul  Sani 1997, Surat-Surat Kepercayaan, menyatakan bahwa konseptor Surat  Kepercayaan Gelanggang adalah Asrul Sani. Ajip menolak pandangan umum  selama ini yang menganggap Chairl Anwar-lah konseptornya. Sebab, menurut  Ajip Rosidi, ketika surat itu diumumkan, Chairil Anwar sudah setahun  meninggal (April 1949). Argumen Ajip ini sebenarnya tidak begitu kuat,  karena bisa saja konsep surat itu sudah disusun jauh hari sebelumnya  ketika Chairil Anwar masih hidup. Atau malah surat itu mereka susun  bersama. Kita tidak akan masuk dalam pembahasan ini. Disinggung sedikit  untuk sekedar menunjukkan betapa pentingnya surat kepercayaan gelanggang  ini, karena dianggap sebagai konsep pandangan dunia para seniman  Angkatan 45.
11) Perlu di catat di sini adalah dalam tenggang waktu  13 tahun telah terjadi banyak perubahan, polarisasi politik di kalangan  seniman semakin mengental.
12) Pembahasan tentang konsep Humanisme Universal akan ditempatkan di bagian bawah.
13) Toer, Pramoedya Ananta, 1963, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia: Sebuah Tinjauan Sosial, Jakarta tidak diterbitkan.
14) Naskah lengkap lihat Lampiran 2.
15)  Joebaar, Ajoeb, 1959, "Perkembangan Kebudayaan Indonesia Sejak Agustus  1945 Dan Tempat Serta Peranan Lekra Di Dalamnya" dalam Dokumen Kongres  Nasional I Lekra, Bagian Penerbitan Lekra, 1959. hlm. 15.
16) Pembahasan lebih lengkap lihat, M.R. Siregar, 1995.
17)  Istilah romantik disini mengacu pada era romantisisme yang muncul di  Eropa pada akhir abad ke 18. Sebuah gelombang reaksi dari zaman  pencerahan yang dianggap terlalu memberi tekanan pada rasio sehingga  kering, dingin dan kaku. Romantisisme berupaya mengedepankan hal-hal  yang lebih emosional, keunikan individu, hasrat akan kebebasan. Dalam  arti inilah istilah romantisisme dipakai dalam bagian ini.
18)  Tentang angkatan ini, kemudian menimbulkan banyak masalah. Mulai dari  masalah teknis periodisasi sampai perdebatan seputar ide atau semangat  apa yang dibawa oleh angkatan 45, dan tentang apa sebenarnya konsep  pandangan dunia yang dibawa oleh angkatan ini. Pada perkembangan  selanjutnya kalangan sastrawan Lekra malahan melontarkan kritik yang  sangat tajam terhadap Angkatan 45 dengan Chairil Anwarnya. Lihat  misalnya tulisan Siregar, Bakri 1965, "Catatan Menilai Chairil Anwar",  Harian Rakyat, 15-16 Mei 1965.
19) Penjelasan lebih lengkap tentang  akar historis Angkatan 45, khususnya dalam kesusasteraan bisa dilihat  dalam: Keith Foulcher, 1994.
20) Nama Pujangga Baru, selain jadi nama  majalah yang terbit sejak 1933, juga dipakai sebagai nama angkatan yang  menggambarkan gaya khas sastera yang juga merupakan ciri majalah ini.  Sering dihubungkan dengan perjuangan kaum intelektual nasionalis  Indonesia dalam usahanya menjelaskan "Indonesia" sebagai kesatuan  budaya, juga harus disebut sebagai perlawanan terhadap institusi  kebudayaan bentukan kolonial Belanda: Balai Pustaka. Penjelasan lebih  lanjut lihat dalam: Foulcher, Keith, 1991, Pujangga Baru: Kesusasteraan  dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942, Jakarta, Girimukti Pasaka.
21)  HB Jassin sebenarnya menyelipkan satu periode khusus setelah masa  Pujangga Baru dan sebelum Angkatan 45, lebih jauh lihat Jassin, HB,  1954, Kesusasteraan Indonesia di Masa Jepang, Jakarta Gunung Agung.  Namun besar kecilnya pengaruh konvensi Pujangga Baru dalam produksi  kesenian dan sastra pada masa ini, belum dibuktikan dengan penelitian  khusus. Sedangkan kakhasannya pun belum tampak secara khusus.
22) Sjahrir, Sutan, 1945, Perdjoeangan Kita, Jakarta, Pertjetakan Repoebliek Indonesia.
23)  Keputusan untuk menerima bantuan finansial dari Belanda tersebut  kemudian menjadi catatan hitam kelompok ini. Apalagi situasi secara umum  adalah seluruh potensi bangsa berkonfrontasi total dengan Belanda  setelah agresinya yang pertama tahun 1947. Memang kemudian Chairil Anwar  dan beberapa kawannya pindah ke Gelanggang, suplemen budaya dari  mingguan yang berorientasi ke Sjahrir, Siasat. Skandal ini pernah  ditulis oleh HB Jassin sendiri. Lihat: Jassin, HB, 1962, "Humanisme  Universal", dalam Kesusasteraan Indonesia dalam Kritik dan Esai II,  Jakarta, Gunung Agung hlm. 30-33. Tetapi tanpa penjelasan esai ini  menghilang dalam edisi revisi tahun 1985.
24) Legge, John, 1966,  Intellectuals and Nationalism in Indonesia: A Study of the Following  Recruited by Sutan Sjahrir in Occupation Jakarta, Ithaca: Cornell Modern  Indonesia Project hlm. 32-33.
25) Nasution, Ida, 1948, "Kesenian Angkatan Muda Indonesia" dalam Gema Suasana, No. 5, Mei 1948.
26) Mihardja, Achdiat K., [ed.], Polemik Kebudayan, Perguruan Kem. P.P. dan K., Jakarta 1954.
27)  Joebar Ajoeb merasa perlu untuk secara khusus mengungkapkan hlm. ini,  menyikapi bagaimana serangan pribadi-pribadi Lekra dahulu terhadap  Chairil Anwar dijadikan amunisi balik ketika Lekra secara politis sudah  terpojok. Lihat Ajoeb 1990, hlm. 20.
28) Bisa dicatat di sini lembaga  seperti Lesbumi (Lembaga Kebudayaan Islam) yang berafiliasi dengan  partai politik Islam Nahdatul Ulama, LKIK (Lembaga Kebudayaan Indonesia  Katolik) dengan Partai Katolik, LEKRINDO (Lembaga Kristen Indonesia)  denngan Partai Kristen Indonesia, dan LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional)  dengan Partai Nasional Indonesia. Brita Maklai mencatat kecenderungan  partai untuk memebentuk sayap kebudayaan ini ternyata bersambut gayung  dengan kecenderungan seniman untuk mencari afiliasi partai, setelah  melihat semakin banyak seniman yang bergabung dalam Lekra. Lihat,  Mildouho-Maklai, Brital., 1998, Menguak Luka Masyarakat: Beberapa Aspek  Seni Rupa Indonesia sejak 1966, Jakarta, Jaringan Kerja Budaya, FSR IKJ,  Gramedia Pustaka Utama, hlm. 22.
29) Penolakan ini bukannya tanpa  akibat. Acara "Konprensi Sastera dan Seni PKI", dimana orang-orang Lekra  yang bukan anggota PKI tidak terlibat, terang-terangan menunjukkan  bahwa Lekra dan PKI berbeda di bidang kebudayaan. Lihat Ajoeb 1990, hlm.  6 Dalam dokumen-dokumen resmi hasil kongres, konprensi dan rapat  pimpinan pusat Lekra pun tidak ditemukan pembahasan tentang topik ini.
30) Naskah lengkap lihat Lampiran 3.
31)  Ajoeb, Joebaar, 1959b, "Laporan Umum PP Lekra kepada Kongres Nasional I  Lekra", dalam Dokumen Kongres Nasional I Lekra, Jakarta, Bagian  Penerbitan Lekra, hlm. 44-45.
32) Tokoh seperti Pramoedya Ananta Toer, baru belakangan bergabung dengan Lekra.
33)  Nyoto, 1959, "Revolusi adalah Api Kembang", Sambutan atas Laporan Umum  dan Pandangan Para Utusan, dalam Dokumen Kongres Nasional I Lekra,  Jakarta, Bagian Penerbitan Lekra, hlm. 61.
34) Ajoeb, Joebaar, 1960,  "Manifesto Politik dan Kebudayaan: Laporan Umum", dalam Pleno Agustus  Pimpinan Pusat Lekra 1960, Laporan Kebudayaan Rakyat II, Jakarta, Bagian  Penerbitan Lekra, hlm. 22-24.
35) Bisa disebutkan di sini misalnya kampanye Lekra Mengganyang Malaysia sebagai wujud kekuatan imperialis Inggris.
36) "Kesimpulan atas Laporan Umum", dalam Keputusan-Keputusan Konprensi Nasional I, Bali 1962, hlm. 165.
37)  Karya-karya yang disebut antara lain pameran seni lukis "Operasi Gempa  Langit" dan "Mawar Merah" di Jakarta dan Jawa Tengah, film "Holokuba"  dan "Baja Membara", karya sastera "Sekali Peristiwa di Banten Selatan"  dan "Si Kabayan" dan puisi "Demokrasi". Ajoeb 1960, hlm. 23.
38) Dokumen Kongres Nasiinal I Lekra, Bagian Penerbitan Lekra, Jakarta, 1959 hlm. 60.
39)  Seperti dalam buku Yahaya Ismail, Pertumbuhan, Perkembangan dan  Kejatuhan Lekra di Indonesia: 1972, disebutkan bahwa Realisme yang  diadobsi Lekra adalah Realisme Sosialis seperti yang digariskan Stalin  1930-1940.
40) Pembahasan lebih jauh topik ini bisa dilihat di  Jhonson, Pauline, Marxist Aesthetics:The Foundations within Everyday  Life for an Emancipated Consciousness, London, Routledge & Kegan  Paul, tanpa tahun terbit.; Zis, Avner, 1977, Foundations of Marxist  Aesthetics, Moscow, Progres Publisher, hlm. 262-282; Karyanto, Ibe,  1997, Realisme Sosialis Georg Lukacs, Jakarta, Jaringan Kerja Budaya dan  Gramedia Pustaka Utama.
41) Hilmar Farid, "Kata Pengantar", dalam Karyanto 1997, hlm. xii.
42)  Ajoeb 1990, hlm. 35 Dalam kategori ini bisa dimasukkan misalnya  prasaran panjang Pramoedya Ananta Toer di FS UI tahun 1963 yang  berjudul: "Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia", atau tulisan Joebaar  Ajoeb sendiri, "Realisme Kita Dewasa ini, di ruang kebudayaan Harian  Rakyat, tahun 1955.
43) Naskah lengkap lihat Lampiran 4.
44)  Surat-surat dukungan ini diterbitkan dalam majalah Sastra No. 9/10, Th.  III, 1963. Juga dikumpulkan dalam lampiran no. 12-21 dalam D.S.  Moeljanto dan Taufik Ismail, ed., Prahara Budaya: Kilas Balik Offensif  Lekra/PKI I dkk, Republika dan Mizan, Bandung 1995.
45) Frans M.  Parera, 1986, "Seorang Cendekiawan sebagai Saksi Sejarah", dalam  Surat-Surat Politik Iwan Simatupang 1964-1966, Jakarta, LP3ES, hlm.  xxxv. Soal hubungan kelompok ini dengan militer akan dibahas secara  khusus di bawah.
46) Dokumen Surat Keputusan Pelarangan Manifesto Kebudayaan, Antara, 9 Mei 1964.
47)  Aidit, DN, 1964, Dengan Sastra dan Seni yang Berkepribadian Nasional  Mengabdi Buruh, Tani dan Prajurit, Jakarta, Jajasan Pembaruan, hlm. 17.
48) Hilmar Farid, dalam Karyanto 1997, hlm. xv.
49)  Pada masa ini, hampir semua media massa utama mempunyai afiliasi, atau  paling tidak kedekatan dengan kelompok politik tertentu. Sikap  independent non partisan yang dipilih kelompok manikebu, dengan  sendirinya menutup ruang publik mereka sendiri di media massa. Untuk ini  perhatikan berita-berita media massa yang dikliping oleh Taufik Ismail,  1995.
50) Untuk ini bisa dilihat pada surat-surat dan guntingan koran yang dikumpulkan dalam Taufik Ismail, 1995, hlm. 239-412.
51)  Judul ini diambil dari judul tulisan Wiratmo Soekito di Harian Merdeka  edisi 23-10-1966. Dalam tulisan ini Wiratmo mensejajarkan perjuangan  Kostrad melawan "kubu Lubang Buaya" PKI dengan perjuangan Manikebu  melawan Lekra, "kubu Lubang Buaya" di bidang kebudayaan.
52) Tokoh  yang dikenal dengan novel-novel absurditasnya Ziarah dan Merahnya Merah  ini memang cukup misterius. Sampai akhir hayatnya tinggal di Hotel Salak  Bogor dan selalu bepergian dengan mobil pribadi, tanpa bisa menjelaskan  dari mana dia mendapatkan biaya hidup mewahnya tersebut untuk masa-masa  sulit pada waktu itu. Yang pasti bukan dari hasilnya menulis. Banyak  yang menduga dia memiliki hubungan dengan militer dan menjadi salah satu  master mind Manikebu di bawah tanah (tidak ikut menandatangani  Manikebu). Perannya Melengkapi peran Wiratmo yang muncul ke permukaan.  Pikiran-pikiran Iwan lewat surat-surat yang dikirmkan pada sahabatnya St  Sularto, yang dikumpulkan Frans M. Parera, 1986, Surat-Surat Politik  Iwan Simatupang 1964-1966, Jakarta, LP3ES, menunjukkan kepercayaannya  pada militer (Angkatan Darat) sebagai penyelamat Indonesia dari  kekacauan.
53) Kejadian ini tidak muncul dalam paparan D.S.  Moeljanto, "Prolog: Dari Gelanggang, Melalui Lekra hingga Manifes  Kebudayaan yang Terlarang", dalam Ismail 1995, hlm. 31-64.
54)  Dokumen dan kliping seputar KKPI ini juga dikumpulkan dalam D.S.  Moeljanto dan Taufuk Ismail ed. Prahara Budaya, 1995, hlm. 239-269.
55) Wiratmo Soekito, "Satyagraha Hoerip atau Apologi Pro Vita Lekra", Horison no. 11 th. 1982.
56) Tulisan tentang ini seperti menjadi ritual yang mereka lakukan setiap tahun di majalah Kebudayaan Horison.
57)  Tulisan-tulisan tersebut misalnya Soekito, Wiratmo, "Kostradnya  Kebudayaan", Merdeka 23-10-1966; "Sudah Tiba Saatnya Membangkitkan Seni  Murni", Merdeka, 27-11-1966; "Politik Orang Tidak Berpolitik", Harian  Kami, 1-5-1968; "Dwifungsi Kulturil Kita", Harian Kami, 8-5-1968,  "Proses Pembebasan Manifes Kebudayaan 1964-1966", Sinar Harapan, 1970.
58) Hoerip, Satyagraha, "Angkatan 66 dalam Kesusasteraan Kita", dalam Horison, Th. I, No. 6, Des. 1966, hlm. 188-189.
ooo0ooo
Alexander Supartono
"LEKRA vs MANIKEBU: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965."
Skripsi STF Driyarkara, Jakarta 2000 
Pengantar
Seperti  diuraikan dalam bab sebelumya, provokasi politik telah menghentikan  komunikasi produktif kalangan kebudayaan Indonesia. Provokasi itu  menyeret dialog berbagai tema penting dalam rangka pembangunan  kebudayaan Indonesia baru masa depan ke kancah politik praktis, dalam  artinya yang negatif: pertarungan kekuasaan. Seruan Surat Kepercayaan  Gelanggang untuk membangun integritas individu pencipta budaya, dengan  landasan kebebasan kreatif yang demokratis, disertai wawasan  internasional, gagal berpadu dengan gagasan Lekra untuk menghancurkan  kebudayaan semi-kolonial dan semi-feodal sebagai prasyarat pertumbuhan  kebudayaan rakyat. Kegagalan yang disebabkan oleh seretan arus politik  yang semakin memanas mendekati dekade 1960-an. Semakin lama ruang-ruang  dialog itu semakin sempit, sampai akhirnya benar-benar tertutup. 
Ketertutupan  ruang dialog budaya ini menunjukkan hasil-hasilnya pada paruh pertama  tahun 1960. Komunikasi yang terjadi antar aktivis kebudayaan masa itu,  semakin lama semakin menjauhi peradaban. Dua landasan konseptual,  Mukadimah Lekra dan Manifes Kebudayaan, dari mana dialog itu seharusnya  berakar, ditinggalkan begitu saja. Memang kadang masih dikutip di  sana-sini, tapi hanya dalam kepentingan membuat pernyataan dan seruan  yang sloganistik. Dibandingkan dengan keadaan 10 tahun sebelumnya, apa  yang terjadi di tahun 1960-an adalah kemunduran yang sangat serius.  Kemunduran inilah yang memberi pijakan pada berdirinya sebuah politik  dehumanisasi kebudayaan yang dipraktekkan Orde Baru pasca 1965, selama  lebih dari 30 tahun.
Padahal ranah kebudayaan bangsa ini mempunyai  tradisi perbincangan, dialog, debat bahkan pertempuran yang panjang  dalam sejarahnya. Kita mengenal apa yang disebut gerakan kultural "Djawa  Dipa" di tahun 1917, Taman Siswa yang sekarang masih kita rasakan  kemegahannya sudah berdiri sejak tahun 1922, "Pujangga Baru" sebagai  tandingan lembaga kebudayaan kolonial "Balai Pustaka" memulai geraknya  tahun 1933, sampai dengan yang paling terkenal "Polemik Kebudayaan" di  tahun 1935. Tapi kalau melihat yang justru terjadi justru di era  kemerdekaan, sama sekali tidak menunjukkan jejak-jejak tradisi itu.  Mengapa tradisi itu putus?
Bagian di bawah ini akan memaparkan  gerakan-gerakan kebudayaan di atas, dengan memberikan perhatian utama  pada gagasan-gagasan yang dibawa. Bagaimana gagasan-gagasan itu  didialogkan dengan situasi jamannya. Bagaimana proses gagasan yang  diprakarsai pertama oleh golongan elit berpendidikan yang punya  kesempatan bersentuhan dengan ide-ide modern itu, menjadi kepunyaan  masyarakat banyak, untuk kemudian tumbuh menjadi gerakan kebudayaan  massa untuk menentang kolonialisme.
Djawa Dipa: Dari Anti Feodal Anti Kolonial1)
Gerakan  ini berangkat dari suatu pemikiran bahwa hirarki yang ada dalam bahasa  Jawa, tata krama dan unggah-ungguh-nya, yang dipraktekkan dan  dilanggengkan selama ratusan tahun, telah menyebabkan mental rakyat Jawa  menjadi penakut, merasa menjadi budak, rendah diri dan tidak pernah  berani menyuarakan hak-haknya, apalagi menyuarakan kebenaran. Hirarki  bahasa yang berakar pada feodalisme ini dianggap sudah tidak sesuai lagi  dengan gerak kemajuan jaman. Ide-ide modern2) revolusi Perancis yang  mulai masuk ke Hindia Belanda pada masa itu membawa semangat pembebasan  yang mensyaratkan persamaan dan anti- feodal. Karena itu tiga tingkatan  dalam bahasa Jawa3) harus dihapuskan, dan dipakai satu bahasa Jawa saja  yaitu: Ngoko. Bahasa yang selama ini dipakai rakyat biasa. Dengan  memakai satu bahasa ini maka persamaan itu akan dicapai dan feodalisme  bisa dilenyapkan.
Pada awalnya adalah pergaulan antara pegawai  rendahan pemerintahan kolonial Belanda dengan tokoh-tokoh pergerakan  pada masa itu. Dari sinilah ide persamaan itu ditularkan, sehingga para  pegawai rendahan ini melihat bahwa tidak ada alasan lagi untuk  mempertahankan hirarki bahasa Jawa. Membongkar dan menghancurkan seluruh  hirarki bukanlah pekerjaan yang mudah. Apalagi mereka menyadari bahwa  pemerintah kolonial Belanda mengambil keuntungan dari langgengnya  feodalisme ini. Maka, langkah yang harus dilakukan setelah menolak  penggunaan bahasa Jawa Krama dan adat-istiadat yang membedakan status  sosial dalam pekerjaan maupun kehidupan sehari-hari, adalah dengan  mengubahnya menjadi sebuah gerakan kebudayaan populer. 
Gerakan ini  pertama muncul di kota Surabaya4) tahun 1914. Mengambil nama Djawa Dipa  yang berarti "Sinar Jawa", sinar yang akan memberi pencerahan pada  rakyat Jawa. Pelopornya adalah seorang anggota redaksi suratkabar  Oetoesan Hindia, Tjokrosoedarmo dan Tjokrodanoedjo. Keduanya adalah  pimpinan Serikat Islam Surabaya. Dalam pidato pendeklarasian gerakan  ini, Tjokrosoedarmo menyatakan bahwa aturan bahasa Jawa, sekaligus tata  kramanya, yang ada sekarang hanya membuat sengsara rakyat saja, dan  menghambat kemajuan bangsa Jawa. Karena itu dia mengusulkan  aturan-aturan yang tidak patut buat manusia itu dihapuskan. Diharapkan  dengan pemakaian bahasa yang mengandung semangat kesetaraan akan tumbuh  keberanian untuk mengungkapkan ekspresi ketidak-adilan yang selama ini  mereka terima. Langkah nyata diwujudkan dengan menghapus seluruh gelar  kebangsawanan yang menandakan perbedaan kelas. Menggantinya dengan  panggilan "wiro" untuk laki-laki, "Woro" untuk perempuan yang sudah  menikah, dan "roro" untuk perempuan yang belum menikah. (Siraishi 1997,  143)
Gerakan ini dengan sendirinya mendapatkan tentangan dari  kalangan pejabat pemerintah kolonial dan priyayi tinggi. Penghapusan  bahasa 'halus' dan adat istiadat ini bukan saja dianggap sebagai  penghinaan terhadap kebudayaan Jawa yang adhiluhung, tetapi juga akan  mengganggu tatanan sosial yang telah mereka pertahankan selama ratusan  tahun. Selain itu mereka juga merasa kedudukannya sebagai patron  kebudayaan Jawa di dalam birokrasi kolonial terancam. Untuk menghadapi  ancaman ini, pada 1918 mereka selenggarakan Konggres Keboedajaan Djawa  yang menyatakan bahwa Gerakan Djawa Dipa merupakan gerakan yang tidak  nasionalis Jawa dan mengganggu hubungan kawula-gusti. 
Tentangan dari  kaum ambtenaar tidak menyurutkan gerak Jawa Dipa. Ia terus berkembang  ke seluruh pergaulan kehidupan, baik di bidang belajar-mengajar maupun  dalam hubungan kerja. Pada 1918 terjadi pemogokan para siswa Holland  Inlandsche School (HIS) di Semarang yang menuntut para gurunya untuk  tidak menggunakan bahasa Jawa rendahan, tetapi bahasa Jawa Ngoko, Melayu  atau Belanda. Pemogokan yang berlangsung dua hari itu telah membuat  para guru yang rata-rata orang Belanda untuk melaporkannya kepada pihak  Het Kantoor Voor Inlandsche Zaken (Kantor Urusan Bumiputra). Dalam  laporan tersebut dinyatakan bahwa para murid yang mayoritas keturunan  priyayi kecil dianggap telah melawan kekuasaan kolonial karena menurut  aturan seorang bumiputra yang hanya keturunan priyayi kecil, atau bahkan  tanpa mempunyai ikatan darah bangsawan samasekali, tidak mempunyai hak  untuk berbicara dalam bahasa Belanda atau Melayu; mereka harus berbicara  dalam bahasa Jawa Kromo yang berbelit-belit. 
Di bidang lain, yaitu  perburuhan, seorang tokoh pergerakan yang dikenal dengan sebutan Staking  Koning (Si Raja Mogok), Soerjopranoto, juga sangat mendukung Gerakan  Djawa Dipa. Menurutnya, dengan mengubah adat bahasa secara radikal, ada  dua hal yang hendak dicapai oleh gerakan ini, yaitu agar terjalin  persahabatan yang demokratis dan bebas diantara sesama teman  sependeritaan dan seperjuangan, dan agar ada kebersamaan yang wajar di  kalangan rakyat kecil untuk menghadapi majikan, kaum ningrat, dan  pemerintah kolonial yang memegang kekuasaan. 
Walaupun awalnya  gerakan ini berkonsentrasi melawan feodalisme Jawa, setelah melalui  perdebatan serius, ia meluas menjadi Gerakan Hindia Dipa pada 1921. Arti  Hindia Dipa adalah "cahaya yang menyinari Hindia" atau Hindia yang  telah memperoleh penerangan. Sebagaimana tercantum dalam surat kabar  gerakan ini, Hindia Dipa, 18 April 1921, "Hindia Dipa berarti Hindia  terang, setuju dengan cita-cita kita akan membersihkan kecemaran yang  ada di Hindia supaya awan yang gelap musnah, tinggal terangnya".
Perluasan  gerakan ini terutama mendapat dukungan dari Tjipto Mangoenkoesoemo5)  dan Soewardi Soerjaningrat, yang melihat bahwa ada kaitan erat antara  gerakan ini dengan hubungan-hubungan yang bersifat kolonial. Mereka  melihat bahwa memperjuangkan kemajuan rakyat merupakan perjuangan  seluruh rakyat Hindia, bukan hanya rakyat Jawa saja. Di samping itu,  mereka menganggap mempersoalkan kebudayaan Jawa tidak relevan lagi; yang  harus menjadi tumpuan gerakan ini bukanlah serangan yang diarahkan pada  para priyayi saja, tetapi juga pada penguasa kolonial yang  mempergunakan kebudayaan Jawa untuk kepentingan mereka. 
Tahun 1922  gerakan ini mengalami kemandegan. Sebab dari kemandegan ini menarik  untuk dibahas. Masalah mulai muncul justru ketika gerakan ini meluas  menjadi Hindia Dipa. Dengan demikian tidak hanya mengacu masyarakat  Jawa, tapi ke seluruh wilayah Hindia Belanda. Ide awal dari gerakan ini  untuk melawan feodalisme jawa dengan menggunakan bahasa Ngoko kemudian  menjadi tidak relevan lagi. Di sini kita melihat sebuah pergeseran  gagasan (dalam arti perluasan) dari perubahan penggunaan bahasa menjadi  pembicaraan tentang embrio bangsa (nasion). Perluasan gerakan ini  menunjukkan tumbuhnya kesadaran kebangsaan di kalangan pergerakan di  Jawa; dari semangat anti feodalisme ke anti kolonialisme. Yang  dipertahankan adalah gagasan yang lebih luas lagi, yaitu gerakan  pembebasan yang memberi dasar pada gerakan kebudayaan selanjutnya yang  tumbuh.
Taman Siswa: Pendidikan Anti Feodal dan Anti Kolonial
Gagasan  utama pembebasan Djawa Dipa menentang feodalisme dan ditambah dengan  menentang kolonial dalam Hindia Dipa melalui pendidikan secara massal  memberi inspirasi bagi Ki Hadjar Dewantara untuk mendirikan sekolah liar  (Wilde Schoolen) bagi kaum pribumi pada 1922. Melalui sekolah ini Ki  Hadjar mempertahankan sikap penolakan terhadap Nasionalisme Jawa dan  mengembangkan ide kebangsaan yang internasionalis. Menurut hematnya,  pembebasan manusia dari cengkeraman keruntuhan moral bisa terwujud hanya  kalau kebudayaan Jawa lenyap dan orang Jawa menjelma menjadi manusia  Hindia yang sanggup berinteraksi dengan masyarakat internasional. 
Sekolah  liar di atas kemudian kita kenal sebagai Taman Siswa. Menarik di sini  adalah proses bagaimana KHD berpindah haluan dari perjuangan politik dan  kembali ke basis: pendidikan. KHD awalnya dikenal sebagai pendiri  partai pertama di Hindia Belanda, Indische Partij tahun 1912 bersama dr.  Douwes Dekker dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Partai dengan anggota  terbatas ini bertujuan membentuk pemerintahan independen yang terpisah  dari pemerintahan kolonial. Menjelang peringatan 100 tahun pembebasan  Belanda dari Perancis tahun 1913, KHD (waktu itu masih bernama Soewardi  Soerjaningrat) menulis sebuah pamflet politik berjudul "Seandainya Aku  Orang Belanda". Pamflet ini mengutuk kelakuan Belanda yang tidak tahu  malu merayakan kemerdekaan mereka di tanah jajahan.6) Pamflet ini dengan  cepat membangkitkan kemarahan pemerintah kolonial, mereka bertiga  kemudian ditangkap dengan tuduhan menyebarkan kebencian pada pemerintah  dan dibuang ke Belanda.
Selama dalam pembuangan inilah KHD mulai  belajar tentang sistem pendidikan Eropa, memberikan perhatian pada  aktivitas-aktivitas kultural, sambil memikirkan kemungkinan-kemungkinan  penerapannya di Hindia Belanda. Pada masa ini pula KHD terpengaruh  ide-ide Shantiniketan, sekolah Rabindranath Tagore di India,7) yang  menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk membangkitkan kesadaran  nasional pada rakyat Hindia Belanda adalah dengan pendidikan yang  berbasis pada nilai-nilai kebudayaan asli.
Kembali ke Indonesia tahun  1919, KHD bersama dua kameradnya Dekker dan Tjipto sempat mendirikan  partai baru, National Indische Partij. Namun tekanan yang semakin keras  pada aktivitas politik dari pemerintah kolonial membuat KHD memikirkan  kembali kemungkinan pendidikan sebagai jalan pembebasan nasional. Karena  itu KHD memilih bergabung dengan Pagujuban Selasa Kliwon,8) yang  kemudian menjadi embrio Taman Siswa.
Pengalaman KHD berinteraksi dan  berkerja dengan berbagai kelompok kebudayaan dan politik di dalam dan  luar negeri, membawanya pada keyakinan bahwa sistem pendidikan kolonial  tidak hanya konservatif dan anti demokrasi, tapi juga membunuh  pertumbuhan kebudayaan asli. Sistem ini menciptakan strata kelas dalam  masyarakat, di mana masyarakat Belanda dan kalangan bangsawan yang  mendapatkan pendidikan terbaik, sedangkan sebagian besar rakyat hanya  mendapat pendidikan ala kadarnya, atau malah sama sekali tidak mendapat  pendidikan. Selain itu, sistem yang mengacu pada sejarah dan kebudayaan  Eropa ini menghasilkan intelektual lokal yang hampir buta kebudayaannya  sendiri. Proses "mengimitasi" kebudayaan Eropa ini dilihat KHD sebagai  akar dari rasa rendah diri rakyat jajahan, yang pada gilirannya  menghambat bangkitnya kesadaran nasional. Tanpa harga diri dan  kebanggaan akan sejarah dan budaya sendiri, tidak mungkin mengalahkan  superioritas kolonialis, demikian KHD menegaskan. 
Namun, Ki Hadjar  pun menyadari bahwa memusnahkan suatu kebudayaan yang berusia ratusan  tidak bisa dilakukan serta merta. Kaum intelektual yang mendapat akses  lebih luas pada ilmu pengetahuan dan bersinggungan dengan kebudayaan  lain di dunia mungkin tak menghadapi banyak kesulitan mengintegrasikan  konsep-konsep baru. Sedangkan rakyat negeri agraris yang masih  terkungkung dan tertindas oleh struktur masyarakat feodal memiliki  logika pemahaman sendiri tentang gerak pembebasan. 
Berangkat dari  pemandangan ini Ki Hadjar mencoba menerapkan sistem pendidikan yang pada  dasarnya merupakan perkawinan antara konsep pengajaran tradisional,  dalam hal ini kebudayaan Jawa, yang menekankan segi spiritual dan moral  dengan pendidikan modern yang lebih memberikan ketrampilan teknis. Usaha  Ki Hadjar ini segera mengundang kritikan dari berbagai pihak, termasuk  dari kawan seperjuangannya, Tjipto Mangoenkoesoemo. Tjipto melihat bahwa  ide Ki Hadjar memasukkan kebudayaan Jawa dalam sistem pendidikan hanya  akan melemahkan gerakan anti-kolonialisme. Jawa sebagai entitas budaya  dan politik sedang sekarat sehingga lebih baik membuangnya sama sekali  dan berkonsentrasi pada gerakan politik. Tanpa kemerdekaan di bidang  politik perjuangan di wilayah kebudayaan menjadi tak berarti. Bagi  Tjipto, yang menyatukan seluruh rakyat Hindia Belanda bukanlah kesamaan  sejarah, atau tradisi, tapi kepentingan material yang sama.9) Melainkan  kesamaan kepentingan atas sumber penghidupan, alat produksi yang  sekarang dikuasai kolonial.
Ki Hadjar berargumen bahwa ada segi-segi  kebudayaan Jawa yang tidak feodalistis yang perlu dihidupkan agar rakyat  memiliki rasa percaya diri yang lebih besar. Baginya kemerdekaan  politik tak akan bertahan apabila bangsa ini masih terjajah di bidang  kebudayaan. Lebih jauh lagi, ketika Tjipto mengatakan bahwa begitu  Hindia Belanda merdeka, perkawinan budaya Indonesia dan Eropa akan  terjadi dengan sendirinya, Ki Hadjar menihilkannya. Tak akan terjadi  suatu perkawinan budaya yang demokratis apabila kedudukan pihak-pihak  yang berasimilasi tidak setara. Yang terjadi nantinya bukanlah suatu  sintesa, tetapi penjajahan satu budaya oleh budaya lainnya.10) 
Polemik Kebudayaan: Bukan Pilihan "Barat" atau "Timur".
Perdebatan  antara Tjipto dan Ki Hadjar boleh dikatakan mengawali perdebatan  panjang dan sengit di bidang kebudayaan yang berlangsung pada  pertengahan 1930-an. Dikenal dengan nama "Polemik Kebudayaan", silang  pendapat yang terjadi di kalangan pemikir kebudayaan pada saat itu  seringkali dipahami sebagai debat antara kubu modernis dan  tradisionalis, atau kubu pro-Barat dan pro-Timur. Penyederhanaan  peristiwa ini secara langsung maupun tidak mempengaruhi cara pandang  umum tentang kebudayaan Indonesia. Pembaca sejarah dibuat memilih salah  satu dan mengabaikan yang lainnya, seakan-akan kebudayaan Indonesia  bergerak dalam bidang linear yang dibagi tegas antara sisi Timur dan  Barat, atau sisi modern dan tradisional. Padahal ketika diperhatikan  dengan baik tampak jelas bahwa semua pihak yang terlibat dalam polemik  itu boleh dibilang kaum modernis, mereka menerima ilmu pengetahuan  modern dan toleran terhadap apa yang mereka pahami sebagai 'kebudayaan  barat'. Lebih jauh lagi, mereka sama-sama menentang tradisi 'feodal'  Jawa kolonial. Tak satu pun percaya bahwa kebudayaan "Indonesia Baru"  harus sepenuhnya diambil dari kebudayaan elit tradisional, atau pun  bulat-bulat dari kebudayaan rakyat. 
Kalau kita melihat satu-satunya  buku tentang Polemik Kebudayaan tahun 1930-an yang terbit, kita akan  sangat kesulitan menangkap konteks keseluruhan masalah yang  diperdebatkan. Karena Achdiat K.. Mihardja sebagai editor buku ini tidak  lebih dari menjalankan fungsi sebagai pengumpul tulisan-tulisan dari  orang-orang yang terlibat dalam perdebatan ini. Tidak ada pengantar yang  memberikan konteks sejarah perdebatan ini pada masanya. Misalnya tidak  diterangkan mengapa sampai muncul perdebatan itu, atau bagaimana  perdebatan itu berpengaruh pada kehidupan kebudayaan pada masanya.  Apalagi menghubungkan perdebatan itu dengan gerakan nasionalisme yang  sedang gencar-gencarnya di tahun 1930-an. Sebagai satu-satunya buku yang  diacu bila orang membicarakan Polemik Kebudayaan 1930-an, buku ini  tidak memadai. Karena orang harus mencari sendiri konteks historis  perdebatan ini dengan memperhatikan bacaaan-bacaan sejaman dan  kecenderungan-kecenderungan apa saja yang dominan di kalangan aktivis  kebudayaan pada masa itu.11)
Dalam artikel bertajuk "Menudju  Masjarakat dan Kebudayaan Baru",12) Sutan Takdir Alisjahbana mengajukan  pendapat bahwa bangsa Indonesia harus berguru pada Barat. Sementara  dengan gaya lugas, dia hantamkan pendapatnya pada setiap pemikiran yang  masih terpaku pada kebudayaan masa lalu. Baginya, sejarah Indonesia  dimulai abad ke-20. Baru pada abad inilah muncul suatu generasi baru,  suatu generasi yang secara sadar berniat merambah jalan baru bagi  bangsanya. Suatu generasi yang telah menikmati pendidikan Barat. Sebelum  itu, dia anggap sebagai
zaman prae-Indonesia, zaman djahiliah  ke-Indonesiaan, jang hanja mengenal sedjarah Oost Indische Compagnie,  sedjarah Mataram, sedjarah Atjeh, sedjarah Bandjarmasin, dll.  (Alisjahbana 1935)
Dengan demikian, segala cerita besar di masa lalu,  entah itu Majapahit atau Sriwijaya, sebaiknya dibiarkan tenggelam dalam  keheningan masa lalu. Kebudayaan Indonesia tidak terikat pada masa lalu  mengingat problematika zaman kini membutuhkan "alat" atau "ramuan" baru  yang tidak terdapat di masa lalu. Setelah menerima kritik-kritik tajam  ia mengakui bahwa elemen masa lalu, termasuk kebudayaan daerah, walaupun  tidak segera menghilang namun kelak akan tersapu oleh tuntutan zaman  modern yang bersifat niscaya. 
Dalam pandangan STA, masyarakat  prae-Indonesia selama berabad-abad adalah masyarakat statisch, yang mati  dan perlu disuntik dengan nilai-nilai kebudayaan Barat yang dynamisch,  yang hidup. Karena, demikian ia memberi pembenaran, hanya suatu  masyarakat yang dinamis yang dapat bersaing dalam masyarakat  bangsa-bangsa. Dan bangsa Indonesia perlu mempelajari "alat" dari  bangsa-bangsa yang waktu itu dia nilai tinggi kebudayaannya: Eropa,  Amerika, Jepang.
Tulisan ini mendapat tanggapan dari Sanusi Pane dan  Dr. Purbatjaraka. Pada intinya, keduanya beranggapan bahwa ada perbedaan  kebudayaan dan nilai-nilai yang dianut Barat dengan Indonesia yang  Timur sehingga, idealnya, perlu dicari perpaduan dari kelebihan  masing-masing. 
Ada beberapa catatan yang bisa diberikan pada  "polemik jilid satu" ini. Pertama, tulisan-tulisan ini muncul dalam  semangat Sumpah Pemuda yang terjadi beberapa tahun sebelumnya. Peristiwa  ini menyebarkan optimisme ke pemuda-pemuda terdidik mengenai suatu  "masyarakat imajiner" yang bernama Indonesia. 
Kedua, seperti ditulis  Takdir yang bisa jadi tidak menyadari adanya ironi tersembunyi dalam  pernyataannya sendiri, bahwa ide dan pengorganisasian "nasionalisme"  tersebut dibentuk oleh hikmah belajar dari pendidikan Barat, yakni  Belanda sang kolonial. Dengan demikian, kesadaran politis mereka tentang  ke-Indonesiaan terbentuk oleh kacamata Belanda dan belum tentu diikuti  oleh "nasionalisme" budaya seperti dalam kasus STA, atau lebih lanjut  menggunakan kebudayaan sebagai strategi membangun nasionalisme seperti  yang dilakukan Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswanya. 
Ketiga,  sebenarnya STA bukan orang pertama yang mengungkapkan sikap menolak  kebudayaan sendiri dan mengutamakan kebudayaan Barat. Sejak berdirinya  Djawa Dipa 1914, Tjipto Mangunkusumo telah dengan tajam melontarkan  kritik-kritiknya terhadap kebudayaan Jawa yang feodal dan mulai membusuk  karena sudah kehilangan kedaulatannya. Menurutnya, sumber utama  kelemahan orang Jawa adalah kurang memiliki semangat perlawanan sehingga  bisa begitu lama dijajah. Dan berbeda dengan Takdir yang terlihat  memunggungi Timur dan sangat memuja Barat, Tjipto lebih melihat hambatan  bagi kemajuan bangsa Hindia adalah kolonialisme karena, menurutnya:
"[p]ertentangan  fundamental itu bukan antara Timur dan Barat atau antara orang-orang  Hindia dan non-Hindia tetapi antara dominasi dan subordinasi, apapun  bentuknya".13)
Dan obat untuk menghilangkan penyakit bangsa ini, menurut Tjipto adalah membangkitkan semangat perlawanan rakyat bumiputera. 
Keempat,  mengingat semangat yang melingkupi polemik itu adalah persiapan untuk  menyongsong masyarakat baru, Indonesia dengan rancangan kebudayaan yang  paling mendukung, maka jalan yang diambil adalah pendidikan bagi  generasi mendatang. Dengan demikian, polemik bergeser pada masalah  pendidikan.
Pada tanggal 8 -10 Juni 1935 diadakan konggres  Permusyawaratan Perguruan Indonesia yang pertama di Solo. Dalam artikel  "Sembojan jang Tegas" yang dimuat dalam majalah Pudjangga Baru, STA  memberikan kritik-kritik terhadap konggres itu yang tak lama kemudian  menyulut polemik. Seperti bisa diduga, pada kesempatan ini pun STA  menganjurkan bangsa ini mengarahkan mata ke Barat. 
Dalam  pengamatannya, para pembicara dalam konggres, antara lain Ki Hadjar  Dewantoro, dr. Sutomo, dr. Radjiman Wediodiningrat, menyodorkan  kecemasan-kecemasan yang sebenarnya tidak beralasan. Mereka mencemaskan  pendidikan yang terlalu menekankan intellectualisme, individualisme,  egoisme, dan materialisme. Padahal, demikian Takdir berpendapat,  nilai-nilai inilah yang justru kurang atau tidak ada dalam masyarakat  Indonesia sehingga perlu dihidangkan sebagai menu pendidikan dalam  jumlah yang cukup besar. Agar cepat bisa mengejar kebudayaan Barat yang  melaju di depan, bangsa Indonesia harus melahap nilai-nilai yang  dianggap Takdir nilai-nilai kunci kebudayaan Barat yang dinamis, yang  hidup. Dalam rumusannya yang berapi-api, 
Otak Indonesia harus diasah menjamai otak Barat!
Individu harus dihidupkan sehidup-hidupnya!
Keinsjafan akan kepentingan diri harus disadarkan se-sadar-sadarnja!
Bangsa Indonesia harus diandjurkan mengumpulkan harta dunia sebanjak-banjak mungkin!
Kesegala djurusan bangsa Indonesia harus berkembang !" 14)
Sebagian  pemrasaran dalam kongres pendidikan di Solo menanggapi Sembojan jang  Tegas. Dr. Sutomo, misalnya, mengakui kehebatan intelektualisme Barat  dan itu memang baik adanya untuk bahan rujukan. Namun, konggres itu  adalah konggres Pemusjawaratan Perguruan Indonesia. Dalam kesempatan  itu, mereka ingin menyusun suatu pendidikan yang sempurna bagi bangsa  Indonesia dengan belajar dari pengalaman bangsa-bangsa lain, termasuk  pendidikan Barat yang sangat kuat dalam hal asah akal (intelektualisme).  Tapi masalahnya, menurut Sutomo, para ahli-ahli pendidik Eropah pun  mulai resah karena menyadari kekurangan dan kesalahannya "kalau dengan  te(r)dasnya akal itu lain-lain alat kemanusiaan tidak bersama  dikembangkannja." Bangsa Indonesia tidak perlu mengulang kesalahan yang  sama dan menghindari ekses-ekses intelektualisme dengan mengembangkan  "alat-alat kemanusiaan" lain, yakni rasa dan karsa atau seni dan moral !  
Dari perdebatan tentang intelektualisme dan kemudian berlanjut pada  perdebatan tentang individualisme dan meterialisme, bisa diberikan  catatan di sini. Meskipun Takdir di satu pihak dan Sutomo maupun Ki  Hadjar Dewantara di pihak lain berbeda sikap terhadap intelektualisme,  individualisme, materialisme, namun mereka memiliki persamaan.  Kedua-duanya adalah hasil didikan Belanda. Kebudayaan Barat tidak  seluruhnya ditolak, bahkan oleh Sutomo dan Ki Hadjar Dewantara yang  sering dicap tradisonalis. Perbedaan terletak pada perbedaan cara  pandang mereka mengenai kedudukan nilai-nilai Barat itu sendiri dan  hubungan antara kekuasaan dan kebudayaan.
Posisi Takdir jelas.  Pemujaannya pada Barat disertai dengan keyakinan bahwa nilai-nilai itu  netral, bebas nilai. Akibatnya ia tidak bisa secara jeli melihat  kepentingan kekuasaan yang bermain dalam kebijakan pemerintah kolonial  Belanda untuk memberi sesuap pengetahuan Barat dalam wujud pendidikan  zaman Belanda, yakni menyediakan tenaga pribumi untuk melancarkan roda  pemerintah kolonial Belanda di samping menghibur hati kaum ethisi di  negeri Belanda. Tak mengherankan bila Takdir dan Pudjangga Baru-nya  tidak pernah melontarkan sikap kritis terhadap kolonialisme Belanda.  Sikap yang didasari pada keyakinan bahwa kebudayaan tiada bersangkut  paut dengan politik. Posisi yang dia yakini seumur hidup seperti  terlihat dalam Konggres Kebudayaan tahun 1951 di Solo maupun Konggres  Kebudayaan tahun 1991 di Jakarta!15) 
Posisi Ki Hadjar Dewantara  berbeda. Ia menyadari bahwa pendidikan Barat yang sering mengklaim  humanis ternyata tidak sehumanis klaimnya dalam penerapannya di Hindia  Barat. Ada keterbatasan-keterbatasan yang tidak menguntungkan kaum  pribumi. Pertama, pendidikan tersebut bersifat elitis sehingga tidak  menjangkau rakyat jelata. Kedua, pendidikan yang berorientasi ke negeri  Belanda menjauhkan elite Indonesia dari seluruh bangsanya dan  menumpulkan langkah pembentukan kesadaran kolektif sebagai suatu bangsa.  Ketiga, sebagai akibat logisnya, elite terdidik Indonesia yang sudah  ke-Belanda-belandaan dalam artian berpenampilan, berbahasa sehari-hari  Belanda, lebih suka menjadi Belanda berkulit sawo matang. Tanpa  kebanggaan dan terutama pengetahuan yang cukup pada masa lalu dan  kebudayaan sendiri, apa yang bisa diharap selain ketundukan dan  kekaguman berlebihan pada kebudayaan yang lebih berkuasa, kebudayaan  sang penjajah?
Menyadari kedudukan strategis kebudayaan, Ki Hadjar  Dewantara terdorong untuk mengurangi aktivitas politik praktisnya dan  mendirikan pendidikan Taman Siswa. Ia belajar banyak dari model  pendidikan Tagore di India. Dalam perguruannya kemampuan estetis dan  etika diberi porsi besar dengan harapan terbentuk manusia-manusia  Indonesia yang cerdas sekaligus berbudi luhur dari manusia-manusia baru  inilah disandarkan harapan terbangunnya kemerdekaan budaya, di samping  kemerdekaan politis bangsa Indonesia. 
Seperti tampak di atas,  perbedaan mendasar justru muncul ketika konsep-konsep yang beradu ini  dikaitkan dengan gerakan pembebasan nasional melawan kekuasaan negara  kolonial, seperti pernah dinyatakan Tjipto Mangoenkoesoemo di atas.  Diwakili oleh pandangan Sutan Takdir Alisjahbana dan Ki Hadjar  Dewantara, posisi berseberangan ini kelak menentukan arah perkembangan  kebudayaan nasional Indonesia dan masalah yang dihadapinya. 
Jelas  bahwa yang jadi keprihatinan utama dalam perdebatan di masa 1930an ini  sebenarnya adalah persoalan demokrasi. Apakah tradisi tertentu perlu  dibawa serta atau dibuang dalam perkembangan suatu bangsa, erat  hubungannya dengan bagaimana para pemikir kebudayaan membayangkan  kehidupan yang lebih demokratis dan bagaimana mereka rumuskan visi  politik dan moral bangsa yang diharapkan akan lahir. Sejarah menunjukkan  bahwa upaya perumusan konsep kebudayaan nasional senantiasa 'terganggu'  oleh pergolakan politik di jamannya: pendudukan Jepang, diikuti dengan  pertempuran paska-kemerdekaan, dan pertarungan ideologis yang berakhir  dengan tragedi berdarah 1965.
Catatan:
1) Untuk bagian ini,  sebagain besar acuan diambil dari Thamrin, Muhammad Husni, 1992, Sama  Rata, Sama Rasa, Sama Bahasa: Tentang Gerakan Djawa Dipa 1917-1922,  Jakarta, Skripsi S1, Jurusan Sejarah FS UI. Sejauh diketahui penulis,  baru skripsi ini yang secara khusus membahas Djawa Dipa. Selebihnya  sedikit disinggung dalam Siraishi, Takashi, 1997, Zaman Bergerak:  Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti  hlm. 143-149. Atau pada tulisan Anderson, Ben., 1983, "Sembah Sumpah:  Politik Bahasa dan Kebudayaan Jawa", dalam Prisma No. 11 November 1983,  hlm. 67-97
2) Tentang proses masuknya ide-ide modern ini lihat  misalnya, McVey, Ruth, 1990, "Teaching Modernitiy: The PKI as An  Educational Institution", dalam Indonesia, Anniversary Edition, No. 50  Oktober 1990. Atau dalam Razif 1994, "'Bacaan Liar': Budaya dan Politik  Pada Zaman Pergerakan," Jakarta, Manuskrip Penelitian
3) Dalam bahasa  Jawa dikenal tiga tingkatan, dari yang kasar ke yang hlm.us: Ngoko,  Madya, Krama. Dipakai seturut kelas sosialnya, dengan aturan: "semakin  ke atas semakin halus, semakin ke bawah semakin kasar".. Artinya orang  lebih rendah kelas sosialnya harus memakai bahasa yang lebih hlm.us  kalau bicara pada orang yang lebih tinggi kelasnya. Sebaliknya kelas  sosial yang lebih tinggi memakai bahasa yang lebih kasar ke kelas yang  lebih rendah.
4) Kota Surabaya memang punya karekter tersendiri.  Dalam sejarahnya, kabupaten inilah yang ditaklukkan Mataram paling  terakhir. Jadi pengaruh budaya Mataram paling terlambat datang ke kota  ini, dibanding kota-kota lain di Jawa. Orang sering menyebut dialek  bahasa Jawa orang Surabaya, dan wilayah Jawa Timur pada umumnya, adalah  yang paling kasar.
5) Pada awalnya Tjiptomanoenkoesoemo tidak begitu  antusias dengan gerakan ini. Karena seranganya pada kaum priyayi dan  bangsawan dianggap bisa melemahkan persatuan kaum gerakan. Lihat,  Muhammad Husni Thamrin, "Sama Rata, Sama Rasa, Sama Bahasa: Tentang  Gerakan Djawa Dipa 1917-1922" 1992, hlm 51. Kemudian Tjipto mendukung  gerakan ini setelah melihat gerakan ini pelan-pelan meluas, dan  memahaminya sebagai ekspresi khas orang Jawa tentang demokrasi. Lihat  Siraishi 1997, hlm. 143
6) Naskah lengkap pamflet ini, dalam versi  Indonesia dan Belanda, bisa dilihat di Dewantara, Ki Hadjar, 1952,  Dewantara, Dari Kebangunan Nasional sampai Proklamasi Kemerdekaan,  Jakarta, N.V. Pustaka dan Penerbit Endang, hlm. 250-262.
7) Ratih, I  Gusti Agung Ayu, 1997, Reconsidering the "Great Debate": the Formation  of Indonesian National Culture, Kertas Kerja, hlm. 10
8) Sebuah  kelompok studi religius yang mau mensintesakan paham Jawa akan  kebahagiaan dan kebijaksanaan dengan paham modern: demokrasi.
9)  Pembahasan lebih jauh tentang posisi dan pemikiran Tjipto, lihat Balfas,  M., 1957, Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Demokrat Sedjati, Jakarta,  Penerbit Djembatan, terutama pada bab 5 dan 6.
10) Lebih jauh tentang  kritik KHD terhadap Tjipto ini lihat, Dewantara, Ki Hadjar, Dewantara,  1967, "Bagaimana Kedudukan Bahasa-Bahasa Pribumi (djuga bahas Tionghoa  dan Arab) Di Satu Pihak dan Bahasa Belanda Di Lain Pihak, Dalam  Pengadjaran?", dalam Karja Ki Hadjar Dewantara, Bagian II A: Kebudajaan,  Yogyakarta, Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Kertas kerja ini  pertama kali dipresentasikan dalam Kongres Pendidikan Kolonial di Hague,  28 Agustus 1916.
11) Mihardja 1954, untuk pembahasan yang meletakkan  polemik ini pada konteks historisnya, dengan memberi latar belakang  tentang Taman Siswa dan Pujangga Baru, lihat Ratih 1997
12) Alisjahbana, Sutan Takdir, 1955, "Menuju Masyarakat dan Kebudajaan Baru", dalam Pudjangga Baru, Th. III No 2, Agustus 1935
13) Seperti dikutip dalam Takashi Siraishi, Zaman Bergerak, 1997, hlm. 164
14)  Alisjahbana, Sutan Takdir, "Semboyan Yang Tegas: Kitik Terhadap  Beberapa Pare Advis Kongres Permusjawaratan Perguruan Indonesia", dalam  Mihardja 1954, hlm. 42
15) Lihat Alisjahbana, Sutan Takdir, "Sejarah  Kebudayaan Indonesia Masuk Globalisasi Umat Manusia", Prasaran dalam  Kongres Kebudayaan 29 Oktober 1991.
Alexander Supartono
"LEKRA vs MANIKEBU: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965."
Skripsi STF Driyarkara, Jakarta 2000 
Pengantar
Membaca  runut paparan dari bab I sampai bab III, dalam kepentingan menarik  sebuah benang merah pengisi bab terakhir ini, kita akan menemui sebuah  kegagalan. Pokok yang dipaparkan di bab I, terbantah oleh pokok yang  dipaparkan di bab II, dan semakin jauh sambungannya dengan paparan pada  bab III. Dan kalau ketiga bab tersebut dihubungkan dengan tema utama  seluruh tulisan ini, maka hasilnya adalah sebuah sangkalan: bahwa  "perdebatan kebudayaan pada tahun 1960-an, tidak pernah terjadi".
Dari  bab III, kita melihat tradisi perdebatan kebudayaan dalam sejarah  Indonesia modern sudah dimulai sejak awal abad 20 lalu, ketika  ke-Indonesia-an mulai dipikirkan dan dipraktekkan dalam pemerintahan  kolonial Hindia Belanda. Pertukaran gagasan atau perdebatan yang terjadi  memang selalu diawali oleh para elit intelektual, yaitu mereka yang  sudah tersentuh ide-ide modern dan berpendidikan Barat. Namun ketika  gagasan ini mulai disebarkan dan menjadi milik banyak orang, dia menjadi  gerakan, sebuah gerakan kebudayaan. 
Djawa Dipa yang awalnya adalah  gerakan budaya melawan feodalisme Jawa, meluas menjadi Hindia Dipa,  gerakan melawan kolonialisme. Perubahan terjadi setelah disadari bahwa  ketertindasan tidaklah cukup hanya diselesaikan dengan kesetaraan  budaya, tapi juga harus juga ada kesetaraan ekonomi. Gerakan Djawa Dipa  yang anti feodal Jawa dengan berusaha menghilangkan hirarki bahasa dan  tata krama Jawa kemudian berubah menjadi gerakan kesetaraan penguasaan  alat-alat produksi yang dimonopoli oleh kolonialisme. Dengan demikian  perlawanan harus meluas dari wilayah budaya Jawa ke seluruh wilayah  Hindia Belanda, dari Djawa Dipa ke Hindia Dipa. Proses perubahan  tersebut adalah sebuah dinamika gagasan, sebuah perdebatan kebudayaan.  Keraguan dr. Tjipto Mangooenkoesoemo terhadap gerakan ini, karena bisa  memecah kaum pergerakan dan karena yang harus dilawan terutama adalah  kolonialisme Belanda dan bukan feodalisme Jawa, dijawab sendiri oleh  perkembangan gagasan itu dalam masyarakatnya. Ketika gagasan kesetaraan  diajukan dalam sebuah masyarakat feodal yang sekaligus masyarakat  jajahan dan berhadapan dengan kenyataan yang lebih luas gagasan tersebut  berkembang.
Taman Siswa adalah sebuah sintesa yang memadukan gagasan  modern pendidikan dengan budaya lokal (Jawa) dalam perlawanan terhadap  kolonialisme. Ki Hadjar Dewantara melihat bahwa kemerdekaan mensyaratkan  kebanggaan akan identitas bangsa sendiri. Dalam sistem pendidikan  kolonial identitas itu dihilangkan. Priyayi dan bangsawan pribumi yang  terdidik dalam sistem pendidikan ini hanya mengimitasi budaya kolonial  Barat. Mereka mengalami keterbelahan identitas kultural, karena mereka  tidak pernah tahu akar budayanya sendiri, tempat di mana mereka hidup.  Perdebatan terjadi ketika Ki Hadjar tetap memasukkan budaya Jawa dalam  sistem pendidikan yang dibangunnya. Mereka yang tidak setuju menganggap  Jawa sebagai entitas budaya sudah tidak signifikan, karena feodal dan  anti demokrasi. Namun tujuan Ki Hadjar bukanlah konservasi budaya Jawa,  tapi menumbuhkan kebanggaan atasnya sebagai identitas, sehingga  kesetaraan (dengan budaya Barat) bisa tercapai. Dengan kesetaraan ini  sintesa dengan gagasan modern Barat bisa terjadi dengan demokratis, dan  tidak akan terjadi penjajahan budaya pada saat kemerdekaan nanti. 
Soal  kesetaraan inilah yang tidak diperhatikan oleh Sutan Takdir Alisjahbana  dengan sikap ekstremnya untuk "menoleh ke Barat" dalam polemik  kebudayaan 1930-an. Mereka yang menentang Sutan Takdir tidak mengingkari  pencapaian-pencapaian kebudayaan Barat. Merekapun hasil dari pendidikan  modern Barat. Yang mereka permasalahkan adalah landasan kebudayaan  Indonesia sendiri yang harus kokoh, sehingga siap berdialog dengan  budaya Barat. Sebab kalau tidak, "tolehan ke Barat" dari Sutan Takdir  akan menjadi sebuah pengabdian. 
Masuk pada bab II, tradisi  perdebatan ini sempat berlanjut di awal 1950-an. Kelompok Surat  Kepercayaan Gelanggang berusaha memperluas wawasan dengan orientasi  internasionalnya sebagai "ahli waris kebudayaan dunia".. Sedangkan Lekra  dalam Mukadimahnya mengajukan kebudayaan semi feodal-kolonial sebagai  masalah pertama yang harus diselesaikan lewat penuntasan Revolusi  Agustus 1945. Pertukaran gagasan ini tidak sempat berkembang jauh.  Ketegangan politik tingkat tinggi, baik di level nasional dan perang  dingin di level internasional, membawa bentuk dan isi "perbincangan  budaya" ini ke arah yang sama sekali lain. Yang terjadi bukan dialog  hubungan kebudayan dan politik, tapi intervensi politik dalam  kebudayaan. Hasilnya adalah proses degradasi yang memuncak pada patahnya  sebuah tradisi yang sudah dibangun sejak awal abad lalu.
Dalam  konteks ini, bab I menjadi paparan dari kegagalan gerakan kebudayaan  membuat politik menjadi lebih demokratis dan manusiawi. Buku Prahara  Budaya yang dibahas dalam bab ini kemudian menjadi bantahan atas adanya  perdebatan kebudayaan di tahun 1960-an. Karena Manifes Kebudayaan yang  menawarkan gagasan baru di tengah dominasi wacana oleh Lekra tidak  melahirkan sebuah dialog kebudayaan. Serangan terhadapnya dan juga  balasan dari Manikebu sendiri sampai dengan pelarangannya melulu  bersifat politis. Sayangnya perseteruan ini kemudian secara salah  dilihat sebagai sebuah perdebatan kebudayaan. Sedangkan yang terjadi  adalah tidak lebih dari sebuah pertarungan politik, dalam arti sempit  perebutan kekuasaan, yang dibawa ke wilayah kebudayaan. Lebih parah lagi  adalah pemahaman bahwa seluruh dinamika kebudayaan yang terjadi pada  tahun-tahun itu menjadi sekedar perdebatan kebudayaan antara Lekra dan  Manikebu. "Perdebatan" ini seolah-olah meneruskan proses pencarian yang  sudah berlangsung sejak Djawa Dipa di tahun 1914. Padahal "perdebatan  kebudayaan" itu tidak lebih dari mitos belaka. Sebuah mitos pemenggal  sejarah.
Distribusi Gagasan dalam Perdebatan Kebudayaan yang Elitis
Sejak  Djawa Dipa tahun 1914 sampai dengan gejolak kebudayaan yang terjadi di  era 1960-an, ada satu hal yang tetap: Perdebatan itu diawali dan  dilakukan oleh kalangan intelektual, mereka yang dekat dengan dunia  "tulis menulis".. Di masa penjajahan, intelektual selalu datang dari  kalangan priyayi dan bangsawan, karena merekalah yang mendapat  kesempatan sekolah. 
Djawa Dipa digerakkan pertama kali oleh  Tjokrodanoejo dan Tjokrosoedarmo, keduanya pimpinan organisasi modern  Serikat Islam dan anggota redaksi koran Sinar Hindia.. Taman Siswa  dibangun oleh Ki Hadjar Dewantara, yang bernama asli Raden Mas Soewardi  Soerjaningrat, seorang bangsawan Jawa yang berpendidikan Barat. Begitu  pula mereka yang terlibat dalam Polemik Kebudayaan 1930-an seperti Sutan  Takdir Alisjahbana, dr. Soetomo, Ki Hadjar Dewantara, Dr.  Poerbatjaraka. Mereka semua berpendidikan modern Barat. Tokoh-tokoh  kelompok Surat Kepercayaan Gelanggang, Lekra dan Manikebu, seperti Asrul  Sani, Bakri Siregar, Wiratmo Soekito juga berasal dari kalangan  intelektual. 
Kaum intelektual adalah lapisan dari masyarakat yang  paling terbuka terhadap pengaruh budaya lain dan gagasan-gagasan baru.  Mereka menjadi muara pertemuan dua atau lebih kebudayaan sekaligus.  Hasilnya tergantung pada daya cerna masing-masing dan terutama adalah  bagaimana mereka mengembangkan gagasan tersebut, secara individual atau  didialogkan dengan basis masyarakat pendukungnya (komunitasnya). Dalam  konteks Indonesia, hal ini mempunyai beberapa konsekwensi:
Pertama,  perdebatan itu bersifat elitis. Perdebatan atau polemik kebudayaan  muncul dalam forum kaum elit, yakni di media massa. Rakyat kebanyakan  tinggal menjadi penonton. Tanpa pendidikan yang memadai, mereka tidak  memiliki suara dalam merumuskan masalah atau, apalagi, menawarkan jalan  bagi kebuntuan budaya yang sedang terjadi. Kaum intelektual Indonesia  mengerjakan tugas tersebut: merumuskan masalah dan menggagas kebudayaan  terbaik untuk bangsa ini, untuk rakyat dan bukan bersama-sama rakyat. Di  sini masalahnya adalah bagaiamana kaum intelektual melihat posisinya  dalam masyarakat. Sebagai kelompok elit yang mengontrol perkembangan  masyarakat, atau sebagai barisan pelopor pembawa gagasan baru yang  progresif dalam masyarakat, untuk kemudian menyerahkan perkembangan  gagasan itu pada kecerdasan massa 
Kedua, sifat elitis ini dengan  sendirinya tampak pada perlakuan mereka terhadap faktor rakyat yang  sudah hidup dan menghidupi kebudayaannya sendiri. Ada dua sikap terhadap  hal ini: Sikap pertama yakni meninjau ulang kebudayaan sendiri dengan  menyempurnakannya dengan unsur-unsur kebudayaan sang pemenang. Sikap  kedua adalah dengan menafikan sama sekali pertanyaan mengenai faktor  rakyat dan kebudayaannya, dengan bergabung pada kebudayaan yang lebih  unggul, entah itu kebudayaan Eropa atau kebudayaan dunia. 
Pada  pilihan pertama, yang nampak menonjol adalah pengakuan mengenai hubungan  erat antara kekuasaan dan kebudayaan dan adanya komitmen kuat pada  rakyat yang sedang tertindas. Komitmen itu kita lihat pada bagaimana  Djawa Dipa menolak feodalisme Jawa yang menindas dan kemudian  dilestarikan oleh kolonial Belanda dengan menjadikan elit feodal Jawa  sebagai kaki tangan penindasannya. Posisi ini juga diambil Ki Hadjar  Dewantara sejak mendirikan Taman Siswa sampai saat Polemik Kebudayaan  tahun 1930'an, yaitu menjadikan budaya Jawa yang tidak feodalistik  sebagai landasan identitas budaya untuk berkenalan dengan  gagasan-gagasan baru yang progresif dalam sebuah pendidikan modern yang  dibangunnya untuk rakyat jajahan. Posisi yang sama juga diambil oleh  Lekra dengan "memadukan tradisi yang baik dan kekinian yang  revolusioner". 
Dalam pilihan kedua, Sutan Takdir dengan keras  menolak tradisi dan menyatakan bahwa "zaman pra-Indonesia, zaman  djahiliah ke-Indonesiaan" harus ditolak dengan mengasah "otak Indonesia  manjamai otak Barat" dengan syarat "Individu harus hidup  sehidup-hidupnya". Sutan Takdir tidak memperdulikan kenyataan bahwa  sebagian besar rakyat hidup dalam kebudayan yang disebutnya "jahiliah"  itu. Pernyataan yang kurang lebih sama kita temui dalam Surat  Kepercayaan Gelanggang ketika berseru: "kami tidak ingat kepada  melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat", karena sebagai "ahli  waris kebudayaan dunia" mereka ingin "kebudayaan kami teruskan dengan  cara kami sendiri".. Pada pilihan ini, selain acuh pada realitas rakyat  kebanyakan, terlihat kecenderungan untuk menolak hubungan antara  kebudayaan dengan kekuasaan. Kebisuan Takdir mengenai kolonialisme  Belanda maupun posisi Manifes Kebudayaan yang terang-terang menyebutkan  bahwa seni dan sastra memiliki roh sendiri yang harus dilepaskan dari  kepentingan politik tertentu merupakan contoh-contoh terang dari sikap  ini. 
Selain itu, kedua sikap di atas juga berpengaruh pada penekanan  masing-masing pada bentuk dan isi kebudayaan. Pembobotan yang berat  sebelah dari masing-masing posisi bisa kita lihat dari ekspresi kultural  dan produksi kebudayaan mereka. Titik tekan dari posisi pertama yang  diambil Ki Hadjar dan Lekra adalah lahan penggarapan budaya lokal dari  rakyat bawah atau yang sedang tertindas. Bahaya dari posisi ini adalah  terlalu menekankan isi, terutama pada komitmen sosialnya, sehingga pada  praktek bisa terjerumus pada pengorbanan mutu estetika dan melahirkan  slogan-slogan verbal belaka. Djawa Dipa sampai Ki Hadjar dengan Taman  Siswanya belum menghadapi masalah ini, karena berhasil mencapai sintesa  seimbang antara tradisi dan gagasan-gagasan modern. Pada Djawa Dipa  sintesa ini mengubahnya menjadi Hindia Dipa. Sedangkan pada Lekra, walau  salah satu semboyannya "tinggi mutu estetis dan tinggi mutu ideologis",  dalam banyak hal jatuh juga dalam bahaya di atas. Karya-karya Lekra  yang dikumpulkan Taufik Ismail dan DS Moeljanto dalam Prahara Budaya  serta yang dikumpulkan Keith Foulcher dalam Social Committment, bisa  dijadikan contoh. Terutama produksi karya Lekra periode 1960-1965,  ketika mereka semakin membesar dan semakin dekat dengan kekuasaan. Hal  yang sama terjadi ketika beberapa tokoh Lekra menolak Chairil Anwar dan  menyatakan Angkatan 45 "sudah mampus", karena komitmen sosial Chairil  Anwar dan Angkatan 45 yang mereka anggap kosong.
Pada posisi kedua,  posisi yang diambil oleh Sutan Takdir kemudian oleh Surat Kepercayaan  Gelanggang, lalu dengan malu-malu diteruskan Manifes Kebudayaan, cirinya  terletak pada penolakan pada tradisi dan akar budaya sendiri.  Kebudayaan lokal dianggap tidak lagi relevan dalam pembangunan masa  depan, karena mereka mengandaikan ada nilai-nilai kemanusian universal.  Bahaya pada titik ekstrim ini adalah keasyikan pada kecanggihan bentuk,  sehingga tema dan produk kebudayaan terasa jauh terpisah dari  problematika hidup konkret masyarakat sehari-hari. Dalam konteks inilah  bisa dipahami mengapa mereka begitu mengagungkan Chairil Anwar sebagai  tonggak revolusi bentuk kesusasteraan modern Indonesia, tanpa  memusingkan komitmen sosialnya. 
Ketiga, seperti kita lihat dalam  rangkuman ketiga bab di atas, mulai dari Djawa Dipa sampai paruh pertama  1960-an, tampak bahwa kebudayaan di Indonesia mengalami pendangkalan  dan penyempitan arti. Perjuangan anti feodal meluas menjadi perjuangan  melawan kolonialisme, dilanjutkan dengan perpaduan tradisi dengan sistem  pendidikan modern. Sampai Polemik kebudayaa 1930-an, yang selama ini  disalahartikan sebagai pilihan "Barat" dan "Timur", sebenarnya adalah  persoalan demokrasi, apakah tradisi tertentu perlu dibawa atau dibuang  dalam pembangunan Indonesia masa depan. Hal ini berkait erat dengan  bagaimana para pemikir kebudayaan membayangkan kehidupan yang lebih  demokratis dalam Indonesia merdeka. 
Sampai tahap ini, kebudayaan  masih dipahami dalam artinya yang luas sebagai dunia makna yang mencakup  keseluruhan bidang kehidupan manusia. Dalam tahun 1960-an kebudayaan  dimengerti dalam artian yang sempit, yakni bidang seni dan sastra,  sehingga polemik atau perdebatan kebudayaan pada periode sejarah ini,  yang hanya sedikit tergambar pada awal 1950-an, harus dipandang sebagai  polemik seni dan sastra belaka. Tahap yang paling memilukan adalah  periode akhir paruh pertama 1960-an, di mana kebudayaan, yang sudah  mengalami penyempitan arti tersebut, menjadi padang Kurusetra  pertarungan politik dalam artinya yang sempit pula: perebutan kekuasaan.  Tradisi demokratis pertukaran gagasan, polemik dan perdebatan  kebudayaan Indonesia sebelum kemerdekaan, justru ternistakan ketika  kemerdekaan itu sudah berada dalam genggaman.
Matinya Tradisi yang Demokratis: Lahirnya Rezim Fasis
Matinya  tradisi yang demokratis itulah yang menjadi landasan kelanggengan  politik dehumanisasi Orde Baru. Dari sekian perdebatan yang terjadi,  kenyataan pahit harus dihadapi, bahwa tak satupun yang terlibat dalam  perdebatan itu menjadi pemenang. Karena yang berjaya kemudian adalah  kebudayaan militer: baju seragam mulai dari murid Taman Kanak-Kanak  sampai pakaian menteri, upacara bendera dan baris berbaris menjadi  fenomena nasional, pebredelan pertunjukan teater oleh seorang kopral  Angkatan Darat, kurikulum pendidikan yang mempersiapkan murid untuk jadi  skrup-skrup mesin besar kapitalisme, sampai monointerpretasi tentang  apa yang dimaksud dengan "kebudayaan nasional".. Dan kalau ditambah  dengan tragedi berdarah 1965 yang membuat kita kehilangan  pekerja-pekerja terbaik kebudayaan di masanya, matinya tradisi yang  demokratis itu telah menjadi landasan bagi lahirnya sebuah kebudayaan  fasis primitif yang militeristik.
Perubahan politik di akhir abad  lalu, yang banyak memangkas dominasi militer, ternyata tidak banyak  membawa perubahan berarti di bidang kebudayaan, kegiatan kebudayaan  terlihat hanya mengekor ke mana politik berbicara. Karena perubahan yang  terjadi tidak menyentuh hal yang paling fundamnetal: basis ekonomi.  Indonesia pasca Suharto meninggalkan beban krisis yang bukan kepalang.  Di tengah krisis ekonomi kapitalisme lanjut ini, demikian tulis Trotsky  70 tahun lalu, menjadi lahan paling subur dari lahirnya rezim fasis  dengan basis sosial borjuis kecil dan kelas menengah. Karena krisis ini  telah merugikan kekuatan modal internasional, maka untuk membayar  kerugian plus bunganya, satu-satunya pilihan adalah meningkatkan  eksploitasi dan menghancurkan kekuatan kelas pekerja serta  kekuatan-kekuatan demokratik lainnya. Semua itu tidak mungkin terlaksana  dalam sebuh rejim yang demokratis. Inilah ancaman di depan mata kita  sekarang.
Apa yang dilakukan pemerintahan kita yang populer sekarang,  sudah menunjukkan gejala di atas. Penyelesaian krisis ekonomi ini masih  diserahkan pada kekuatan modal, dengan tetap bernaung ada lembaga  seperti IMF dan Bank Dunia. Kebijakan ini, seperti yang sudah  dicontohkan negara-negara Amerika Latin di tahun 1980-an, hanya menunda  krisis lebih lanjut. Kekuatan pemilik modal dengan segera akan  meniadakan arti penting kemajuan budaya; memperkokoh warisan budaya  kolonial dan feodal; memanipulasi demokrasi menjadi bentuk demokrasi  formal kotak suara; dan menyingkirkan partisipasi kebudayaan yang lebih  luas dan egaliter. Monopoli kapital akan melemahkan rakyat menyelesaikan  masalahnya sendiri dan bergantung pada kekuatan modal. Contoh kongkrit  telah diberikan: terbentuknya Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Di  sini kebudayaan dimengerti semata-mata sebagai barang unik dan antik  yang bisa diperjualbelikan layaknya komoditi lainnya. Jadi, bukan  kebudayaan yang berjiwa, melainkan komoditi kultural untuk dijual.  Dengan demikian kita masih menghadapi masalah yang sama: fasisme yang  lebih canggih dengan dukungan penuh kekuatan modal internasional.
Tentukan Langkah Menuju Kebudayaan yang Demokratis, Ilmiah, dan Kerakyatan
Akhirnya,  kebudayaan progresif macam apa yang seharusnya lahir dan berkembang  untuk menjawab masalah tersebut di atas? Kebudayaan macam apa yang bisa  mendorong lahirnya sebuah masyarakat yang demokratis, sebagai prasyarat  dasar dari seluruh proses penyelesaian setiap masalah? Pada sejarah juga  kita belajar.
Proses kematian tradisi perdebatan yang demokratis  dalam kebudayaan Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak masa-masa  revolusi dan awal-awal kemerdekaan. Di masa-masa transisi inilah arah  perkembangan bisa bergerak ke mana saja, tergantung pada kekuatan mana  yang menjadi pemenang sebagai pengontrol transisi tersebut. Seperti  tampak pada bab I dan bab II, kontrol itu perlahan pindah ke tangan  kekuatan-kekuatan politik praktis, dan ketika polarisasi kekuatan  politik memuncak dan macet, pemegang senjatalah yang mengambil alih.
Kesalahan  sejarah tersebut terjadi karena pada masa transisi dari masyarakat  jajahan yang masih feodal menuju masyarakat egaliter yang demokratis  tersebut tidak tuntas, walau kemerdekaan secara politis sudah dicapai.  Kebudayaan yang nasional dan kerakyatan yang ditawarkan Lekra untuk  menghancurkan kebudayaan semi kolonial dan semi feodal dalam masyarakat,  sebenarnya sempat berkembang dalam bentuk pengorganisiran  kelompok-kelompok kesenian tradisional, dengan hasil terangkatnya  kebudayaan daerah. Namun semua terhenti pada tragedi berdarah 1965.
Dengan  mengangkat kebudayaan daerah, yang dihidupi sebagian besar masyarakat,  berarti juga terangkatnya kesenian rakyat. Perdebatan memang terjadi di  tubuh Lekra, ketika sebagian tokohnya yang berlatar pendidikan modern  menganggap kesenian rakyat tidak serta merta bisa dianggap sebagai  kesenian yang bermutu. Dari perdebatan inilah orientasi kebudayaan  dipertajam, antara peningkatan mutu kesenian menjadi semakin realis,  atau lebih pada eksplorasi potensi luar biasa kesenian rakyat sebagai  media pembebasan. Dengan mengorganisir kelompok-kelompok kesenian  tradisional seperti ketoprak, wayang dan ludruk, yang masih banyak  mengandung mistisisme, Lekra menjatuhkan pilihan pada kebudayaan yang  dihidupi sebagian besar rakyat. Alasan yang sama mengapa Ki Hadjar tetap  memasukkan kebudayaan Jawa yang tidak feodalistis pada sistem  pendidikan modern yang dibangunnya dalam Taman Siswa. Garis kerakyatan  dengan demikian dipraktekkan.
Sejak Djawa Dipa, Hindia Dipa, Taman  Siswa dan Polemik Kebudayaan sampai kemerdekaan, sejarah gerakan  kebudayaan Indonesia sudah menetapkan langkahnya untuk melawan  kolonialisme dan feodalisme. Kolonialisme sebagai bentuk primitif  imperialisme kekuatan modal sudah hilang saat kemerdekaan berhasil  direbut. Namun setelah kemerdekaan, dia tetap menjadi ancaman. Di sini  kebudayaan pun mengambil posisi melawan setiap model baru imperialisme.  Karena itu kebudayaan pertama-tama juga harus bersifat nasional. Dengan  identitas nasional inilah dialog yang setara dengan  kebudayaan-kebudayaan yang ada di dunia bisa terjadi. Garis perlawanan  terhadap feodalisme ditetapkan karena tidak lagi alasan untuk  mempertahankannya, baik secara teoritis maupun prakteknya sehari-hari.  Feodalisme mempersempit perkembangan gagasan-gagasan baru kebudayaan dan  ilmu pengatahuan, karena menjadikannya milik segelintir elit feodal  saja. Padahal kebudayaan harus juga bisa memberi ruang pada pencarian  kebenaran obyektif, untuk kemudian mendukungnya dalam penyatuan teori  dan praktek. Dengan demikian kebudayaan bisa dipertangungjawabkan oleh  siapa saja. Karena itu kebudayaan harus bersifat ilmiah. Sifat ilmiah  inilah yang ditinggalkan oleh para tokoh kebudayaan pada era 1960-an.  Mereka malah masuk pada provokasi politik yang dangkal dan sesaat.  Mereka mengingkari barisan pemikir kebudayaan yang berusaha  mengembangkan intelektualisme sejak awal abad lalu.
Di bawah semua  itu dasar utamanya adalah kebudayaan bersifat demokratis karena ia  tercipta dan tumbuh secara alamiah sesuai dengan kehendak dan kemampuan  rakyat negeri ini. Ia tidak dipaksakan ada hanya karena ia menjadi  komoditi penting sebagai ornamen wisata yang menghasilkan devisa. Sifat  demokratis yang melekat dalam kebudayaan nasional kita meluas bobotnya  ketika ia mengajak dan memungkinkan semua orang berdialog bersama. Sifat  dialog ini pula mengantarkan kita pada bentuk kebudayaan baru yang  bukan sekedar angan-angan dan imajinasi tanpa sebab-akibat dari  penciptanya. Dalam ruang-ruang yang demokratis inilah gagasan-gagasan  pembebasan bisa lahir dan berkembang.
Alexander Supartono
"LEKRA vs MANIKEBU: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965."
Skripsi STF Driyarkara, Jakarta 2000 
Lampiran 1
Surat Kepercayaan Gelanggang
Kami  adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini  kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang  banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari  mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
Ke-Indonesia-an  kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami  yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih  banyak oleh apa yang diutarakan oleh ujud pernyataan hati dan pikiran  kami. 
Kami tidak akan memberikan suatu kata ikatan untuk kebudayaan  Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak  ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk  dibanggakan, tetapi kami memikirka suatu penghidupan kebudayaan baru  yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai  rangsang suara yang disebabkan suara-suara yang dilontarkan dari segala  sudut dunia dan yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara  sendiri. Kami akan menentang segala usaha-usaha yang mempersempit dan  menghalangi tidak betulnya ukuran pemeriksaan nilai.
Revolusi bagi  kami adalah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang  harus dihancurkan. Demikian kami berpendapat bahwa revolusi di tanah air  kami sendiri belum selesai.
Dalam pememuan kami, kami mungkin tidak  selalu asli, yang pokok ditemui itu ialah manusia. Dalam cara kami  mencari, membahas dan menelaah kami membawa sifat sendiri.
Penghargaan  kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan  orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan  seniman.
Jakarta, 18 Februari 1950
Lampiran 2
Mukadimah LEKRA 1950
Adalah  suatu kepastian, bahwa dengan gagalnya Revolusi Agustus 1945, Rakyat  Indonesia sekali lagi terancam suatu bahaya, yang bukan saja akan  memperbudak kembali Rakyat Indonesia di lapangan politik, ekonomi dan  militer, tetapi juga di lapangan kebudayaan.
Gagalnya Revolusi  Agustus 1945 berarti juga gagalnya perjuangan pekerja kebudayaan untuk  menghancurkan kebudayaan kolonial dan menggantinya dengan kebudayaan  yang demokratis, dengan kebudayaan Rakyat.
Gagalnya Revolusi Agustus  1945 berarti memberi kesempatan kepada kebudayaan-feodal dan imperialis  untuk melanjutkan usahanya, meracuni dan merusak-binasakan budi-pekerti  dan jiwa Rakyat Indonesia. Pengalaman menunjukkan, bahwa  kebudayaan-feodal dan imperialis telah membikin Rakyat Indonesia bodoh,  menanamkan jiwa-pengecut dan penakut, menyebarkan watak lemah dan rasa  hina-rendah tiada kemampuan untuk berbuat dan bertindak.
Pendeknya:  kebudayaan-feodal dan imperialis membikin rusak binasa batin rakyat  Indonesia, membikin Rakyat Indonesia berjiwa dan bersemangat budak.
Masyarakat  setengah-jajahan sebagaimana kita alami sekarang ini, masyarakat yang  dilahirkan oleh sesuatu politik kompromi dengan imperialisme sudah  dengan sendirinya tidak bisa lain dari dengan membuka pintu bagi  kelangsungan kebudayaan-kolonial, sebagai persenyawaan antara  kebudayaan-feodal dan kebudayaan imperialis.
Masyarakat setengah  jajahan memerlukan kebudayaan kolonial sebagai salah satu senjata klas  berkuasa untuk menindas klas yang diperintah; kebudayaan kolonial adalah  senjata dari klas "elite" yang telah merasakan kenikmatan dan kemewahan  yang dihasilkan oleh keringat dan darah Rakyat banyak.
Maka dengan  demikian proses perkembangan kebudayaan Rakyat yaitu kebudayaan dari  Rakyat banyak yang merupakan lebih dari 90% dari jumlah seluruh nasion  (nation) Indonesia, akan tertindas dan tertekan kemajuannya. Tetapi  sebaliknya kebudayan anti-Rakyat kebudayaan-feodal dan imperialis akan  kembali merajalela lagi.
Kedudukan setengah jajahan dari tanah-air  Indonesia berarti pula bahwa Indonesia terseret ke dalam arus peperangan  yang sedang disiapkan oleh negeri-negeri imperialis. Peperangan  imperialis adalah rintangan yang sebesar-besarnya bagi perkembangan  kebudayaan Rakyat.
Maka kami yang bersedia menjadi pekerja  Kebudayaan-Rakyat, mempunyai kewajiban mutlak menghalau  kebudayaan-kolonial dan mempertahankan Kebudayaan Rakyat.
Untuk ini  kami yang bersedia mennjadi pekerja Kebudayaan Rakyat mempersatukan diri  dan menyusun kekuatan untuk bertahan serta mengadakan perlawanan  terhadap setiap usaha yang hendak mengembalikan kebudayaan-kolonial,  kebudayaan kuno, yang reaksioner itu.
Kami pekerja-Kebudayaan-Rakyat  akan mempertahankan dan memperkuat benteng Kebudayaan-Rakyat (Kultur  Rakyat). Untuk maksud-tujuan ini, maka kami menyusun diri dalam lembaga  KEBUDAYAAN RAKYAT berdasarkan konsepsi Kebudayan Rakyat.
Konsepsi Kebudayaan Rakyat
I
Kesenian,  ilmu dan industri adalah dasar-dasar dari kebudayaan. Apabila kita  sungguh-sungguh mau menjadikan kebudayaan kita indah, gembira dan  bahagia, maka kita harus menguasai dan mencurahkan perhatian kita  terhadap kesenian, ilmu dan industri.
Kesenian, ilmu dan industri  baru bisa menjadikan kehidupan Rakyat indah, gembira dan bahagia apabila  semuanya ini sudah menjadi kepunyaan Rakyat. Kenyataan sekarang  menunjukkan, bahwa ini belum menjadi kepunyaan Rakyat, tetapi masih  menjadi kepunyaan lapisan atas, klas "elite" yang jumlahnya sangat  sedikit dari pada jumlah nation.
Maka adalah tugas daripada Rakyat  Indonesia untuk membuka segala kemungkinan supaya bisa mengecap  kesenian, ilmu dan industri. Maka adalah kewakiban Rakyat Indonesia  untuk memperjuangkan agara kesenian, ilmu dan Industri tidak dimonopoli  oleh segolongan kecil lapisan atas dan dipergunkan untuk kepentingan dan  kenikmatan golongan kecil itu. Rakyat Indonesia harus berjuang untuk  menguasai dan memilik kesenian, ilmu dan industri..
II
Tujuan  Rakyat Indonesia adalah mendirikan Republik Demokrasi Rakyat, di mana  terdapat kebebasan bagi perkembangan ekonomi Rakyat, di mana terdapat  kebebasan bagi perkembangan ilmu dan kesenian Rakyat. Pendeknya di mana  terdapat perkembangan Kebudayaan Rakyat yang bersifat nasional dan  berdasarkan ilmu, di mana terdapat kebebasan perkembangan pribadi  (individuality) berjuta-juta Rakyat. Dengan singkat: tujuan Rakyat  Indonesia ialah Revolusi Demokrasi Rakyat. Rakyat adalah satu-satunya  sumber kekuasaan dalam Republik Rakyat. Sonder melalui Revolusi ini,  maka untuk menguasai kesenian, ilmu dan industri, adalah impian belaka.  Selanjutnya seluruh Rakyat Indonesia harus menentang tiap-tiap usaha  perang yang disiapkan oleh negara-negara imperialis.
III
Perjuangan  Kebudayaan Rakyat adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari  perjuangan Rakyat umum. Ia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan  terutama dari perjuangan klas Buruh dan Tani, yaitu klas yang menjadi  pemimpin dan tenaga terpenting dan pokok dalam perjuangan Rakyat.
Fungsi  daripada Kebudayaan Rakyat (kultur Rakyat) sekarang ialah: menjadi  senjata perjuangan untuk menghancurkan imperialisme dan feodalisme. Ia  harus menjadi stimulator (Pendorong) dari Massa, menjadi sumber yang  senantiasa mengalirkan begeestering (kesegaran jiwa) dan api revolusi  yang tak kunjung padam. Ia harus menyanyikan, memuja, mencatat  perjuangan kerakyatan, dan menghantam, membongkar, menggulingkan dan  mengalahkan imperialisme dan feodalisme. Kebudayaan Rakyat berkewajiban  mengajar dan mendidik Rakyat untuk menjadi pahlawan dalam perjuangannya.
IV
Kolonialisme  di masa lampau dan setengah-kolonialisme dewasa ini menimbulkan  faktor-faktor di kalangan pergerakan Rakyat umumnya dan pergerakan Buruh  dan Tani khususnya, yang merugikan perkembangan Kebudayaan Rakyat.  Faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Tiadanya kesedaran, bahwa perjuangan Rakyat terutama Perjuangan Buruh dan Tani tak mungkin dipisahkan dengan kebudayaan.
2.  Sentimen (perasaan) yang picik yang berwujud dalam prasangka  (prejudice) antipatik (tidak suka, benci) terhadap segala sesuatu yang  berbau dan atau yang ada dengan kebudayaan, sebagai akibat pandangan  yang menyamaratakan Kultur Rakyat dengan Kultur degenerasi-burjuis.
3.  Tidak adanya dorongan dari Gerakan Rakyat, terutama gerakan Buruh dan  Tani sendiri, kepada barisan kadernya untuk juga memperhatikan masalah  Kultur (Kebudayaan).
4. Ketidak mampuan (impotensi) dari kawan-kawan  seniman Rakyat sebagai pekerja Kebudayaan Rakyat, untuk menarik garis  Kultur Rakyat dengan Kultur-degenerasi-borjuis, meskipun pergerakan  Rakyat sendiri memberikan bahan-bahan yang melimpah-limpah.
5.  Impotensi dari gerakan Rakyat, terutama dari gerakan Buruh dan Tani  dalam menarik golongan intelgensia dan pemuda-pelajar yang berpikiran  maju ke dalam barisannya.
V
Sikap kebudayaan Rakyat terhadap  kebudayaan asing atau luar Negeri sama sekali tidak bersikap bermusuhan.  Kebudayaan Asing yang progressif akan diambil sarinya  sebanyak-banyaknya untuk kemajuan perkembangan gerakan kebudayaan rakyat  Indonesia. Tetapi dalam hal mengambil sari ini, kita tidak akan  menjiplak secara membudak.
Kebudayaan asing akan diambil sarinya  dengan cara kritis atas dasar kepentingan praktis dari Rakyat Indonesia.  Demikian pula kebudayaan Indonesia kuno tidak akan dibuang seluruhnya,  tetapi juga tidak akan ditelan mentah-mentah. Kebudayaan kuno akan  diterima dengan kritis untuk meninggikan tingkat kebudayaan Indonesia  baru yaitu Kebudayaan demokrasi Rakyat.
VI
Untuk mempertahankan  dan mengembangkan kebudayaan Rakyat, untuk membangun barisan kebudayaan,  supaya menjadi kekuatan dalam rtevolusi demokrasi Rakyat, didirikan  "LEMBAGA KEBUDAYAAN RAKYAT", yang menuju kultur Rakyat atau Kultur  Demokrasi Rakyat. Di samping bekerja untuk gerakan massa sehari-hari,  bagaimanapun harus diusahakan oleh barisan kader Massa untuk  memperhatikan, menyelidiki masalah Kultuur, serta menguasainya selaku  pekerja Kebudayaan Rakyat, untuk dijadikan senjata perjuangan  anti-imperialisme.
Hal demikian kita harus lakukan, justru karena  imperialisme berhasil mengadakan infiltrase di kalangan klas borjuis  Nasional yang tidak setia pada Revolusi Agustus 1945.
Kami mengajak  kepada barisan kader gerakan Rakyat, terutama kader Buruh dan Tani, kami  mengajak kepada kaum Intelegensia dan Pemuda Pelajar yang Progresif dan  Patriotis, untuk mendisiplin dirinya menaruh perhatian terhadap masalah  Kultur Rakyat. Kami berseru supaya untuk maksud ini menggunkan  sebaik-baiknya organisasi LEMBAGA KEBUDAYAAN RAKYAT.
Lampiran 3
Mukadimah LEKRA 1959
Menyadari  bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan, dan bahwa  pembangunan kebudayaan Indonesia-baru hanya dapat dilakukan oleh rakyat,  maka pada hari 17 Agustus 1950 didirikanlah Lembaga Kebudayaan Rakyat,  disingkat Lekra. Pendirian ini terjadi di tengah-tengah proses  perkembangan kebudayaan, yang, sebagai hasil keseluruhan dayaupaya  manusia secara sedar memenuhi, setinggi-tigginya kebutuhan hidup lahir  dan batin, senantiasa maju dan tiada putus-putusnya.
Revolusi Agustus  1945 membuktikan, bahwa pahlawan di dalam peristiwa bersejarah ini,  seperti halnya di dalam seluruh sejarah bangsa kita, tiada lain adalah  rakyat. Rakyat Indonesia dewasa ini adalah semua golongan di dalam  masyarakat yang menentang penjajahan. Revoluis Agustus adalah usaha  pembebasan diri rakyat Indonesia dari penjajahan dan peperangan  penjajahan serta penindasan feodal. Hanya jika panggilan sejarah  Revolusi Agustus terlaksana, jika tercipta kemerdekaan dan perdamaian  serta demokrasi, kebudayaan rakyat bisa berkembang bebas. Keyakinan  tentang kebenaran ini menyebabkan Lekra bekerja membantu pergulatan  untuk kemerdekaan tanah air dan untuk perdamaian di antara  bangsa-bangsa, di mana terdapat kebebasan bagi perkembangan kepribadian  berjuta rakyat.
Lekra bekerja khusus di lapangan kebudayaan, dan  untuk masa ini terutama di lapangan kesenian dan ilmu. Lekra menghimpun  tenaga dan kegiatan seniman-seniman, sarjana-sarjana dan pekerja  kebudayaan lainnya. Lekra membantah pendapat bahwa kesenian dan ilmu  bisa terlepas dari masyarakat. Lekra mengjak pekerja-pekerja kebudayaan  untuk dengan sedar mengabdikan dayacipta, bakat serta keahlian merreka  guna kemajuan Indonesia, kemerdekaan Indonesia, pembaruan Indonesia.
Zaman  kita dilahirkan oleh sejarah yang besar, dan sejarah bangsa kita telah  melahirkan puter-putera yang baik, di lapangan kesusasteraan,  senibentuk, musik maupun di lapangan-lapangan kesenian dan ilmu. Kita  wajib banggga bahwa bahwa bangsa kita terdiri dari suku-suku yang  masing-masingnya mempunyai kebudayaan yang bernilai. Keragaman bangsa  kita ini menyediakan kemungkinan yang tiada terbatas untuk penciptaan  yang sekaya-kayanya serta seindah-indahnya.
Lekra tidak hanya  menyambut sesuatu yang baru; Lekra memberikan bantuan yang aktif untuk  memenangkan setiap yang baru dan maju. Lekra membantu aktif perombakan  sisa-sisa "kebudayan" penjajahan yang mewariskan kebodohan, rasa rendah  serta watak lemah pada sebagian bangsa kita. Lekra menerrima dengan  kritis peninggalan-peninggalan nenek moyang kita, mempelajri dengan  seksama segala segi peninggalan-peninggalan itu, seperti halnya  mempelajari dengan seksama pula hasil-hasil penciptaan klasik maupun  baru dari bangsa lain yang mana pun, dan dengan ini berusaha meneruskan  secara kreatif tradisi yang agung dari sejarah bangsa kita, menuju  penciptaan kebudayaan baru yang nasional dan ilmiah. Lekra menganjurkan  pada anggota-anggotanya, tetapi juga pada seniman-seniaman,  sarjana-sarjana dan pekerja-pekerja kebudayaan lainnya di luar Lekra,  untuk secara dalam mempelajari kenyataan, mempelajari kebenaran yang  hakiki dari kehidupan, dan untuk bersikap setia kepada kenyataan dan  kebenaran.
Lekra menganjurkan untuk mempelajari dan memahami  pertentangan-pertentangan yang berlaku di dalam masyarakat maupun di  dalam hati manusia, mempelajari dan memahami gerak perkembangannya serta  hari depannya. Lekra menganjurkan pemahaman yang tepat atas  kenyataan-kenyataan di dalam perkembangannya yang maju, dan menganjurkan  hak ini, baik untuk cara kerrja di lapangan ilmu, maupun untuk  penciptaan di lapangan kesenian. Di lapangan kesenian Lekra mendorong  inisiatif yang kreatif, mendorong keberanian kreatif, dan Lekra  menyetujui setiap bentuk, gaya, dsb., selama ia setia pada kebenaran dan  selama ia mengusahakan keindahan artistik yang setinggi-tingginya.
Singkatnya,  dengan menolak sifat anti-kemanusiaan dan anti-sosial dari kebudayaan  bukan-rakyat, dan menolak perkosaan terhadap kebenaran dan terhadap  nilai-nilai keindahan, Lekra bekerja untuk membantu manusia yang  memiliki segala kemampuan untuk memajukan dirinya dalam perkembangan  kepribadian yang bersegi banyak dan harmonis.
Di dalam kegiatannya  Lekra menggunakan cara saling-bantu, saling-kritik dan diskusi-diskusi  persaudaran di dalam masalah-masalah penciptaan. Lekra berpendapat,  bahwa secara tegara berpihal pada rakyat dan mengabdi kepada rakyat,  adalah satu-satunya jalan bagi seniman-seniman, sarjana-sarjana maupun  pekerja-pekerja kebudayaan lainnya untuk mencapai hasil tahanuji dan  tahan waktu. Lekra mengulurkan tangan kepada organisasi-organisasi  kebudayaan yang lain dari aliran atau keyakinan apa pun, untuk bekerja  sama dalam pengabdian ini.
Lampiran 4
Manifes Kebudayaan
Kami  para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah  Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik  Kebudayaan Nasional kami.
Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan  untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan  salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap  sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan  kodratnya.
Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional, kami berusaha  menciptakan dengan kesungguhan dan sejujur-jujurnya sebagai perjuangan  untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai Bangsa  Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa.
Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Jakarta, 17 Agustus 1963
Drs.  H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut,  Goenawan Mohamad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin, D.S.  Moeljanto, Ras Siregar, Hartojo Andangdjaja, Sjahwil, Djufri Tanissan,  Binsar Sitompul, Drs. Taufiq A.G. Ismail, Gerson Pyok, M. Saribi Afn.,  Pernawan Tjondronagaro, Drs. Boen S. Oemarjati.
Penjelasan Manifes Kebudayan
I. Pancasila sebagai Falsafah Kebudayaan
Dalam  pengertian kami yang bersumber dalam hikmah Pancasila, kebudayaan  bukanlah kondisi obyektif, apalagi hasil sebagian barang mati.
Dalam  pengertian kami kebudayaan adalah perjuangan manusia sebagai totalitas  dalam menyempurnakan kondisi-kondisi hidupnya. Kebudayaan nasional  bukanlah semata-mata ditandai oleh "watak nasional", melainkan merupakan  perjuangan Nasional dari suatu bangsa sebagai totalitas dalam  menyempurnakan kondisi-kondisi hidup nasionalnya. Predikat kebudayaan  adalah perjuangan dengan membawa konsekwensi-konsekwensi yang mutlak  dari sektor-sektornya.
Sepenuhnya pengertian kami tentang kebudayaan  sirama dengan Pancasila karena Pancasila adalah sumbernya, sebagaimana  Bung Karno mengatakan:
"Maka dari itu jikalau bangsa Indonesia ingin  supaya Pancasila yang saya usulkan itu menjadi suatu realiteit, yakni  jika kami ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nasionaliteit yang  merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar  permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan spciale rechtvaardigheit,  ingin hidup sejahtera dan aman, denan ketuhanan yang luas dan sempurna,  janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan,  perjuangan dan sekali lagi perjuangan".
Maka pengertian Kebudayaan  Nasional adalah perjuangan untuk memperkembangkan dan mempertahankan  martabat martabat kami sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat  bangsa-bangsa. Jika kepribadian Nasional yang merupakan implikasi dari  Kebudayan Nasional kita adalah apa yang oleh Presiden Sukarno dirumuskan  sebagai "freedom to be free", maka Kebudayaan Nasional kita digerakkan  oleh suatu Kepribadian Nasional yang membebaskan diri dari penguasaan  (campur tangan) asing, tetapi bukan untuk mengasingkan diri dari  masyarakat bangsa-bangsa, melainkan justru untuk menyatakan diri dengan  masyarakat bangsa-bangsa itu secara bebas dan dinamis sebagai  persyaratan yang tidak ditawar bagi perkembangan yang pesat dari  Kepribadian dan Kebudayaan Nasional kita yang pandangan dunianya  bersumber pada Pancasila.
Kami ingin membuktikan, bahwa falsafah  demokrasi Pancasila menolak semboyan "The End justifies the Means"  (Tujuan menghalalkan cara), sehingga sebagai falsafah demokrasi  Pancasila adalah humanisme kultural yang pengejawantahannya harus kami  perjuangkan dalam setiap sektor kehidupan manusia. Semboyan akultural  "The End justifies the Means" tersebut yang tidak mengakui perbedaan  antara tujuan denan cara, mengakibatkan orang menuju tujuan dengan  menyisihkan pentingnya cara mencapai tujuan itu.
Demikian umpamanya  di bidang penciptaan karya-karya kesenian di mana orang lebih  mementingkan aspek propagandanya daripada aspek keseniannya adalah  contoh dari pelaksanaan semboyan "The End justifies the Means" sebagai  semboyan yang bertentangan dengan Pancasila. "The End justifies the  Means" - apabila orang mengemukakan apa yang bukan kesusasteraan sebagai  kesusasteraan, apa yang bukan kesenian sebagai kesenian, apa yang bukan  ilmu pengetahuan sebagai ilmu pengetahuan, dan sebagainya. 
Perkosaan  seperti bukanlah cara insaniah, melainkan cara alamiah. Perkosaan  adalah mentah, sedang penciptaan karya mengalahkan kementahan dengan  cara manusia untuk menciptakan dunia yang damai. Kesenian sebagai  penciptaan karya manusia akan abadi hanya apabila bukan saja tujuannya  adalah kemanusiaan, tetapi juga caranya kemanusiaan dan itulah implikasi  yang paling hakiki dari Pancasila sebagai falsafah demokrasi yang kami  perjuangkan secara prinsipal.
Adapun bahaya bagi kebudayaan yang  paling mengancam datangnya dari wilayahnya sendiri, tetapi yang terang  ialah bahwa sumber pokok dari bahaya tersebut terletak dalam  kecenderungan-kecenderungan fetisy sebagai kecenderungan nonkreatif.  Adapun kecenderungan tersebut manifestasinya tidak hanya dalam  pendewaan, melainkan terdapat juga dalam persetanan sebagai umpamanya  kami kenal dalam wilayah kesenian. Sebagaimana fetisy-fetisy itu  bermacam-macam, demikian pulalah kesenian fetisy. Sebagaimana terdapat  fetisyisme dari juwa pelindung di samping fetisyisme dari jiwa  pendendam, demikianlah terdapat kesenian yang mengabdi kepada jiwa  pelindung dengan memberikan sanjungan-sanjungan secara berlebih-lebihan  pula. Tidak jarang terjadi bahwa kedua macam kesenian fetisy itu  mempunyai pretensi "kesenian revolusioner", tetapi dalam hal demikian,  maka kesenian fetsy itu kita namakan kesenian dengan pengabdian palsu.
Kesenian  kreatif, berlawanan dengan kesenian fetisy, tidak mencari sumbernya  dalam fetisy, melainkan dalam dirinya sendiri, sehingga dengan ini kami  menolak fatalisme dalam segala bentuk dan manifestasinya. Kesenian  kreatif yang kami perjuangkan dengan menyokong Revolusi tidaklah  bersumber dalam fetisyisme dari jiwa pelindung, sebaliknya mengkritik  penyelewengan-penyelwengan dari Revolusi tidaklah pula bersumber dalam  fetisyisme jiwa pendendam. Kami tidak memperdewakan Revolusi, karena  kami tidak mempunyai pengabdian palsu, sebaliknya kami pun tidak  mempersetankan Revolusi, karena kami tidak pula mempunyai pengabdian  palsu. Tetapi kami adalah revolusioner.
Kami tidak lebih daripada  manusia lainnya, direncanakan namun merencanakan, diciptakan namun  menciptakan. Itu saja dan tidak mempunyai pretensi apa-apa.Kami pun  tidak akan merasa takut kepada kegagaln-kegagalan kami sendiri, karena  kegagalan-kegagalan itu bukanlah akhir perjuangan hidup kami.
II Kepribadian dan kebudayaan Nasional
Dalam dunia kesenian Indodesia dikenal ";;humanisme universal". Tafsiran kami tentang istilah tersebut adalah sebagai berikut:
Apabila  dengan "humanisme universal"dimaksudkan pengaburan kontradiksi  antagonis, kontradiksi antara kawan dengan lawan, maka kami akan menolak  "humanisme universal" itu. Misalnya sebagaiamana yang dilakukan oleh  NICA dahulu, di mana diulurkan kerjasama kebudayaan di satu pihak,  tetapi dilakukan aksi militer di lain pihak.
Sebaliknya kami menerima  "humanisme universal" apabila dimaksudkan, bahwa kebudayaan dan  kesenian itu bukanlah semata-mata nasional, tetapi juga menghayati  nilai-nilai universal, bukan semata-mata temporal, tetapi juga  menghayati nilai-nilai eternal.
Apabila dengan kebudayaan universal  itu dimaksudkan bukan kondisi obyektif, melainkan perjuangan manusia  sebagai manusia sebagai totalitasdalam usahanya mengakhiri pertentangan  antara manusia dan kemanusiaan, maka kami menyertujui ajakan untuk  meneruskan kebudayaan universal itu, karena dengan demikian kebudayaan  universal itu merupakan "kekuatan yang menggerakkan sejarah", dan itu  sepenuh-penuhnya sama dengan pikiran kami, bahwaw kebudayaan uniersal  itu adalah perjuanan dari budi nurani universal dalam memerdekaan setiap  manusia dari rantai-rantai belenggunya, perjuangannya yang  memperjuangkan tuntutan-tuntutan Rakyat Indonesia, karena rakyat di  mana-mana di bawah kolong langit itu tidak mau ditindas oleh  bangsa-bangsa lain. Tidak mau dieksploitasi oleh golongan-golongan apa  pun, meskipun golongan itu adlaah bangsanya sendiri. Mereka menuntut  kebebasan dari kemiskinan dan kebebasan dari rasa takut, baik yang  karena ancaman di dalam negeri, maupun yang karena ancaman dari luar  negeri. Mereka menuntut kebebasan untuk menggerakkan secara konstruktif  aktivitas sosialnya, untuk mempertinggi kebahagiaan individu dan  kebahagiaan masyarakat. Mereka menuntut kebebasan untuk mengeluarkan  pendapat, yaitu menuntut hak-hak yang lazimnya dinamakan demokrasi.
Jadi  "humanisme universal" janganlah menyebabkan orang bersikap indefferent  (acuh tak acuh) terhadap semua aliran (politik), sehingga dengan  "humanisme universal" orang harus toleran pada imperialisme dan  kolonialisme. Kami tetap mencari garis pemisah secara tegas antara  musuh-musuh dan sekutu-sekutu Revolusi, musuh-musuh dan sekutu-sekutu  Kebudayaan, tetapi ini tidak berarti bahwa kami mempunyai sifat sektaris  dan chauvinis, karena sikap yang demikian ituadalah justru mengaburkan  garis pemisah tersebut.
Musuh kami bukanlah manusia, karena kami  adalah ank manusia. Masuh kami adalah unsur-unsur yang membelenggu  manusia, dan karenanya kami ingin membebaskan manusia itu dari  rantai-rantai belenggunya. Dalam perlawan kami terhadap musuh-musuh kami  itu kami tetap berpegang teguh pada pendirian dan pengertian, bahwa  sejahat-jahatnya manusia namun ia masih tetap memancarkan sinar cahaya  Ilahi, sehingga konsekuensi kami ialah, bahwa kami harus menyelamatkan  sinar cahaya Ilahi tersebut.
Maka kepercayaan yang kami kumandangkan  ialah, bahwa manusia adalah makhluk yang baik, dan karena itulah maka  kami bercita-cita membangun suatu masyarakat manusia yang baik itu,  sesuai dengan garis-garis sosialisme Indonesia.
Dengan begitu  teranglah sudah posisi terhadap masalah "humanisme universal". Kami  menampilkan aspirasi-aspirasi nasional, yaitu pengarahan-pengarahan  kepada pembedaan diri di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa, bagi  merealisasikan kehormatan, martabat (dignitas), prestise dan pengaruh,  tetapi kami ingin menjaga agar pengarahan-pengarahan tersebut tidak  menuju ke arah kesombongan nasional dan chauvinisme dalam segala bentuk  dan manifestasinya.
Adapun implikasi dari aspirasi-aspirasi nasional  ini ialah, bahwa bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa mempunyai  kebebasan untuk mengembangkan kepribadiannya, artinya bangsa Indonesia  dapat terus menerus menyusuaikan diri dengan perkembanan sekitarnya,  tetapi caranya adalah unik dan dinamis. Untuk dapat mempunyai sifat  dinamis inilah, maka bangsa Indonesia harus mempunyai kesenian sebagai  sektor kehidupan kebudayaan, yaitu kesenian yang sepenuhnya merupakan  pancaran kebebasan, kesungguh-sungguhan yang sejujur-jujurnya.
III Politisi dan Estetisi
Dalam  dunia kesenian Indonesia juga dikenal istilah "realisme sosialis".  Menurut sejarahnya, penafsiran realisme sosialis itu ada dua macam:
Yang  pertama: Realisme sosialis langsung merupakan kelanjutan dari konsepsi  kultural Josef Stalin. Dalam tahun-tahun 30-an dengan berkembangnya  fetisy, barang pujaan yang seakan-akan mengundang suatu kekuatan gaib,  maka kebudayaan Rusia terancam dengan amat mengerikan. Dengan Stalin  maka metode kritik seni adalah deduktif, artinya konsepsinya telah  ditetapkan lebih dahulu untuk "menertibakan" kehidupan kesenian dan  kebudayaan. Ciri pokok dari kesenian yang telah "ditertibkan" itu ialah  adanya konsepsi yang sama dan sektaris tentang kritik seni. Itulah  sebabnya, maka jiwa obyektif yang berpangkal pada budi nurani universal  tidak selaras dengan realisme sosialis, sehingga kami menolak realisme  sosialis dalam perngartian itu, dimana dasarnya ialah paham politik di  atas estetik. 
Yang kedua: Realisme sosialis menurut kesimpulan kami  dari jalan pikiran Maxim Gorki, yang dipandang sebagai otak dari  realisme sosialis itu, yakni bahwa sejarah yang sesungguhnya dari rakyat  pekerja tak dipelajari tanpa suatu pengetahuan tentang dongengan  kerakyatan yang secara terus menerus danpasti menciptakan karya sastra  yang bermutu tinggi seperti Faust, Petualangan Baron von Munchaussen,  Gargantua dan Pantagruel, Thyl Eulensiegel-nya Coster, dan Prometheus  Disiksa karya Shelley, karena dongengan kerakyatan kuno purbakala itu  menyertai sejarah dengan tak lapuk-lapuknya dan dengan cara yang khas.
Di  situ sebenarnya Gorki telah menggariskan politik sastra yang berbeda  dengan realisme sosialis ala Stalin, karena pada hakikatnya Gorki telah  menempuh politik sastra universal. Sesungguhnya politik sastranya itu  bersumber dalam kebudayaan tidak sebagai suatu sektor politik yang  searah dengan garis Manifes ini.
Berdasarkan fenomena-fenomena  sejarah, maka seorang ahli sejarah mengatakan, bahwa kebudayaan dari  suatu periode senantiasa kebudayaan dari kelas yang berkuasa. Akan  tetapi sejarah juga mengatakan, bahwa justru karena tidak termasuk dalam  kelas yang berkuasa, maka orang berhasil membentuk keuatan baru yang  terbentuk di tengah-tengah penindasan kekuatan lama, merupakan faktor  positif yang menentukan perkembangan kebudayaan dan kesenian.
Sebagaimana  terjadi di Perancis, sejarah mengajarkan, bahwa kekuatan yang dibentuk  oleh borjuasi revolusioner, adalah keuatan yang menentukan dalam melawan  penindasan monarki mutlak. Tetapi sayang, bahwa elan kreativitas yang  menyala-nyala bersama-sama kekuatan baru itu menjadi padam setelah  kekuatan borjuasi revolusioner itu menjadi sempurna. Bahkan kekuatan  politik yang sempurna itu merintangi kebudayaan dan kesenian. Penindasan  baru yang dilakukan oleh kelas baru itu di bidang kesenian dan  kesusasteraan khususnya telah menyebabkan timbulnya suatu kekuatan baru  dengan lahirnya Angkatan 1830 ayng mula-mula dipelopori oleh Victor Hugo  dan kemudian dilanjutkan oleh Theophile Gautier.
Maka dapatlah kami  mengambil kesimpulan, bahwa paham politik di atas estetik yang  merumuskan politik adalah primer dan estetik adalah sekunder, dilihat  dari sudut kebudayaan dan kesenian adalah suatu utopia. Sebab paham itu  jikalau dilaksanakan dengan jujur hanya akan memupuk dan menghasilkan  perasaan-perasaan kekecewaan, dan jikalau dilaksanakan dengan tidak  jujur akan dapat merupakan tipu muslihat kaum politisi yang ambisius.
Sebagai  realis kami tidak mungkin menerima setiap bentuk utopia karena  menyadari, bahwa dunia ini bukan surga. Karena berpikir secara  dialektik, maka kami mengakui kenyataan-kenyataan lingkungan sosial kami  senantiasa mengandung masalah-masalah, dan setiap rintangan yang kami  jawab akan menimbulkan tantangan-tantangan baru. Oleh karena itu kami  tidak pernah berpikir tentang suatu zaman, di mana tak ada masalah lagi  karena setiap pikiran yang demikian itu adalah terlalu "idelais" dan  karenanya tidak ilmiah.
Pekerjaan seorang seniman senantiasa harus  dilakukan di tengah-tengah dunia yang penuh dengan masalah-masalah,  analaog dengan pekerjaan seorang dokter yang senantiasa harus dilakukan  di tengah-tengah dunia yang penuh dengan penyakit-penyakit. Apabila  dunia ini sudah sempurna, tidak perlu lagi adanya seniman. Oleh karena  itu paham yang sudah dirumuskan, bahwa politik adalah primer dan estetik  adalah sekunder tidak memahami realisme, karena apabila kekuatan  politik telah menjadi sempurna, maka tidak perlu lagi kesusasteraan dan  kesenian, tidak perlu lagi estetika. Seandainya pada suatu ketika  kekuatan politik yang dibentuk itu telah menjadi sempurna, maka masalah  apakah yang akan dibahas oleh kesenian revolusioner yang sebagai estetik  murni baru mulai sesudah itu? Tidak lebih dan tidak kurang dari masalah  ayng dibahas oleh kaum estet, yatu mereka yang mempunyai paham estetik  di atas politik, sehingga bersifat borjuis.
Tidaklah berlebih-lebihan  kiranya apabila kami mengambil kesimpulan, bahwa paham politik di atas  estetik itu tidak memberikan tempat kepada estetik sebelum pembentukan  kekuatan politik menjadi sempurna, sehingga selama jangka waktu  pembentukan kekuatan politik itu tidak ada persoalan tentang estetik,  sedangkan paham estetik di atas politik hanya dapat dilaksanakan apabila  mendapat sandaran kekuatan politik yang sempurna pula.
Maka kami  dapat menarik kesimpulan selanjutnya, bahwa kedua paham kesenian  tersebut mengandung kontradiksi-kontradiksi. Berbeda dengan itu adalah  paham kami, yaitu paham yang tidak emngorbankan politik bagi estetik,  tetapi sebaliknya, tidak pula mengorbankan estetik bagi politik. Karena  pengorbanan tersebut tidak menunjukkan adanya dinamika, dan di dalam hal  tidak adanya dinamika, maka fusngsi estetik murni adalah suatu  imperialisme estetika. Dalam kondisi ini, maka transformasi revolusioner  dari negara kapitalisme ke arah negara sosialis tidak akan mengubah  secara revolusioner kondisi-kondisi kulturalnya. Berlawanan dengagn itu  kami menghendaki perubahan kondisi-kondisi kultural itu secara  revolusioner menuju ke arah masyarakat sosialis-Pancasilais.
Menurut  keyakinan kami, maka masyarakat sosialis-Pancasilais yang kami  perjuangkan secara kultural-revolusioner itu adalah suatu keharusan  sejarah yang tidak dapat dihindarkan oleh siapapun, tetapi terutama oleh  kami sendiri.
Demikianlah Penjelasan Manifes ini diumumkan.
Jakarta, 17 Agustus 1963
Literatur Pancasila
terdiri dari
BungKarno: "Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme"
Bung Karno: Pidato "Lahirnya Pancasila"
Dr. H. Roelan Abdulgani: "Manipol-Usdek, Pidato Radio".
Wiratmo Soekito: "Peranan Institusi-institusi dalam Memperkembangkan SosialismeKreatif".
Harian Semesta: "Rivalitas Kelas Persoalan Sosial".
ooo0ooo
 
kajiannya mantap... boleh kapan2 sharing tentag kebudayaan dan gerakan...
BalasHapus