Sabtu, 26 Februari 2011

SEMINAR ANTI KORUPSI

"seminar pendidikan Anti Korupsi untuk pelajar sekota Metro"


PPPK, LANTAK, LMND dan IMM Gelar Seminar Anti Korupsi
Metro,LE
Lemabaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pemberantasan Penyelewengan Pajak dan Korupsi (PPPK) dan LSM lainnya, selenggarakan seminar pendidikan anti korupsi tingkat pelajar. Seminar tersebut dibuka langsung oleh Walikota Metro Lukman Hakim Rabu (15/12).

“Lukman Hakim dalam sambutannya mengharapkan seminar anti korupsi dalam rangka memperingati Hari Korupsi Se Dunia dengan peserta pelajar SMA/SMK dan SMP se Kota Metro dapat mengantisipasi korupsi sejak dini mulai dari diri sendiri dan lingkungan, “
ungkapnya.

Seminar pendidikan anti korupsi untuk pelajar lalu itu, diigagas LSM Pemberantasan Penyelewengan Pajak dan Korupsi (PPPK) dan LSM Lampung Anti Korupsi (Lantak) kerjasama dengan organisasi mahasiswa Kota Metro Liga Mahasiswa Nasional Demokrasi (LMND) dan Ikatan Mahasiswa Muhamadiyah (IMM).

Seminar tersebut menghadirkan nara sumber dari KPK RI, Satuan Tipikor Polda Lampung serta Kejaksaan Negeri Metro, dan dibuka secara resmi oleh Walikota Metro Lukman Hakim dan di moderatori oleh Direktur Eksekutif LSM Lantak serta H Drs. Saleh Sanur.

Sekitar 200-an siswa SPM/SMA se Kota Metro beserta para guru dan kepala sekolah mereka, begitu antusias mengikuti seminar sehari tersebut. Lukman Hakim pada kesempatan itu mengatakan, dirinya menyambut baik adanya seminar pendidikan anti korupsi tersebut, agar kelak dapat diterapkan oleh pelajar sebagai generasi penerus bangsa.

“Saya selaku walikota menyambut baik akan adanya acara ini, karena selain arahan positif bagi pelajar juga dapat mengambil satu moment bagi seluruh jajaran Pemerintah bahwa Tipikor sangat merusak moral bangsa. Untuk itu saya pribadi mendukung penuh dan memberikan apresiasi yang tinggi dalam hal ini,“ungkap Lukman. Senin lalu..
Sementara Ketua pelaksana Seminar Tomy Nasution mengatakan, acara ini merupakan bagian dari kegiatan memperingati hari anti korupsi sedunia yang jatuh pada tanggal 9 Desember 2010 lalu.

Tujuannya, kata Tomi panggilan akrab aktivis LSM itu, untuk mendidik anak sedini mungkin dalam mengantisipasi tindak pidana korupsi yang saat ini sudah menjadi penyakit kronis.

“Yang pada intinya tidak hanya mengenal kan arti dari tipikor terhadap pelajar namun juga mendidik mereka (pelajar,red) untuk berani mengantisipasi ataupun turut serta dalam pemberantasan tipikor khususnya di wilayah Kota Metro terutama di lingkungan sekolah dengan mengawalinya dari diri mereka sendiri. 

launching eksekutif kota lmnd metro Lampung

LMND Serukan Persatuan Nasional Anti-Neoliberalisme
Jumat, 14 Mei 2010 | 13.32 WIB | Kabar Rakyat
Laporan: Silvia Akbar


METRO, Berdikari Online: Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Kota Metro, Lampung, menyerukan kepada seluruh tenaga-tenaga nasional dan anti-neoliberal untuk membangun persatuan nasional.
"Kita punya cita-cita yang tinggi, menghapuskan penindasan manusia atas manusia dan penindasan bangsa atas bangsa. Akan tetapi, itu tidak akan terwujud jikalau tidak ada persatuan nasional," ujar Siddiq Kurniawan dalam launching kepengurusan baru LMND Eskot Metro di Bundaran pusat kota Metro, Jumat (14/5).
Siddiq menjelaskan, beberapa persoalan di dunia pendidikan nasional saat ini, tidak dapat dilepaskan dari kehadiran penjajahan gaya baru bernama neoliberalisme. "Setiap tahunnya, Neoliberalisme menghapus kesempatan 1,5 juta remaja Indonesia untuk menikmati pendidikan, atau 3-4 orang pemuda putus sekolah dalam setiap menitnya," ujarnya.
Karena itu, lanjut Siddiq, perjuangan mahasiswa harus menjadi bagian dari sebuah perjuangan nasional seluruh kekuatan-kekuatan nasional, tidak bisa bergerak hanya dalam tuntutan sektoral belaka.
Sementara itu, ketua LMND Wilayah Lampung Lamen Hendra Saputra mengatakan, Pemda setiap daerah harus didorong untuk menerapkan pendidikan gratis di daerah masing-masing, apalagi hampir semua daerah punya potensi kekayaan alam yang melimpah.
Dalam tuntutannya, LMND Metro juga menuntut persoalan-persoalan kesejahteraan mahasiswa dan rakyat, diantaranya pendidikan gratis 12 tahun, jaminan kesehatan untuk rakyat miskin, kenaikan upah buruh dan pegawai honorer, meninjau ulang keberadaan sekolah Internasional, dan pelaksanaan pilkada secara demokratis dan partisipatoris. (Ulf)  

Seribuan Petani Demonstrasi Di Bandar Lampung

Seribuan petani dari Gerakan Petani Lampung (GPL) melancarkan aksi protes di kantor DPRD Provinsi Lampung (28/10) untuk memprotes perampasan tanah terkait pembangunan kota baru.
Proyek kota baru ini akan menjadi pusat pemerintahan pemerintah Provinsi Lampung. Namun, petani menolak rencana ini karena akan menghilangkan lahan penghidupan mereka yang sudah ditinggali sejak lama.
Disamping itu, di atas tanah seluas 1.500 hektare itu, telah tumbuh tanaman karet yang sudah berusia 3 tahun.
Sekarang ini, menurut laporan petani, dua eskavator sudah ditempatkan di lahan perkebunan para petani. Tetapi, Ali Akbar, seorang aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan Japalaya, menganggap keberadaan dua eskavator itu illegal.
“Tidak ada plang proyek yang berisikan pekerjaan. Ini ilegal,” katanya.
Menjelang siang hari, perwakilan petani diterima berdialog dengan anggota Komisi I DPRD Provinsi Lampung. Meski berlangsung selama hampir dua jam, tidak ada kesepakatan atau hasil yang memuaskan.
Namun, pihak DPRD berjanji akan berkoordinasi dengan pemerintah Provinsi untuk meninjau lokasi tersebut.
Ali Akbar berkeyakinan bahwa penggusuran paksa ini akan menghilangkan lapangan penghidupan ribuan petani.

Demo Mahasiswa

Di kotamadya metro, puluhan mahasiswa menggelar aksi untuk merespon 82 tahun Sumpah Pemuda. Aksi ini merupakan gabungan dari LMND, KAMMI, dan LDK STAIN Jurai Siwo Metro.
Aksi dipusatkan di bundaran kota Metro.
Massa mengatakan bahwa SBY-Budiono sudah gagal menjalankan mandat rakyat, sehingga perlu diganti.
Demonstran juga menyerukan agar pemuda-pemudi bersatu untuk melawan imperialisme neoliberal. (Ts)

Sabtu, 31 Juli 2010

Budaya Pembebasan di Indonesia Sejarah, metode dan bentuk

Budaya tak sekadar warisan seni dalam kertas berdebu minta dicetak ulang, batu-batu rapuh minta dipugar atau juga gagasan beku nenek-moyang minta dielus atau dikritik bahkan dihancurkan, tapi ia adalah semua dalam material dan immaterial yang cahayanya memancar tanpa diminta atau dijelaskan bahkan. Bukankah kita sering mendengar Bali, pulau dewata, Jawa: halus-lembut, eropa: liberal, soviet: revolusioner, Padang: cinanya Indonesia alias pintar dagang dan lain-lain. Semuanya itu sering disebut Ethos. Dicitrakan dalam karya-karya seni: sastra-sastranya, musik-musiknya, tari-tariannya, rumah-rumahnya, gedung-gedungnya, taman-tamannya, pesta-pestanya, jalan-jalannya, tingkah-lakunya, humor-humornya dan akhirnya kosmos keseluruhan dalam alam pikirannya untuk memahami ontologi keberadaan dirinya dan alam semesta ruang dan waktu tempat ia berdiri hidup, bernafas dan mati. Atau singkatnya Filsafat.

Dalam praktek hidup manusia yang panjang itu sampai juga pada pemahaman masyarakat berkelas: penindas dan kaum tertindas bahkan kesimpulan dari hidupnya: sejarah manusia adalah sejarah perjuangan klas yaitu perjuangan dan pemberontakan antara kaum tertindas kepada kaum penindas. Tanpa penindasan tentu tak akan ada perjuangan pembebasan. Itulah yang menggerakkan roda kemajuan zaman. Pemahaman ini dimulai oleh Hegel dan diteruskan para pengikutnya terutama yang bergerak di lingkaran Hegelian Kiri, termasuk Karl Marx.

Di sini, dimulai peletakan batu fondasi budaya pembebasan. Heine menyatakan dalam syair:

Terimakasih bagi Hegel
Yang mengajari saya
Bahwa Tuhan yang baik
Tidak bermukim di dalam surga
Seperti yang dikatakan nenek
Tapi saya sendiri
Dapat jadi Tuhan yang baik

Bangunan budaya pembebasan pun terus menemukan bentuk. Gerakan pembebasan ini berkait erat dengan perlawanan-perlawanan rakyat dalam berbagai bentuk termasuk seni yang berkehendak membebaskan diri dari sistem penindasan dan penghisapan bahkan menemukan jenis manusia yang menjadi juru-slamat seni dari penindasan Kapitalisme yakni klas pekerja.

Itulah capaian filsafat abad ke-19. Ia seperti menara tinggi yang sanggup melihat capaian kebudayaan masa lalu dan masa depan. Kebudayaan masa lalu yang bagaimana yang harus dimaknai sebagai hasil kemerdekaan manusiawi atau harus dihancurkan karena bermakna anti-manusia dan bagaimana kebudayaan masa depan harus dibangun yaitu budaya yang membebaskan manusia dari sistem penindasan dan penghisapan.

Kearifan pembebasan macam itu sampai juga pada kita yang berada di persimpangan budaya: nusantara. Sneevlit membawa api baru dalam gerakan pembebasan. Ia membangunkan organisasi yang berlawan pada tahun 1914. Membangkit orang-orang pribumi untuk menyadari sistem penindasan dan penghisapan yang berlaku atas negeri dan rakyat nusantara serta melawannya. Hasil dari olahan tangannya adalah Semaun: remaja non akademik yang berkesadaran maju, di bidang ideologi, politik dan organisasi pada usia 13 tahun. Pada usia remaja ini, Semaun telah dipercaya menjadi sekretaris SI cabang Semarang. Tentu ini suatu kemampuan yang ajaib yang tak akan ditemukan pada masa sekarang. Pada masa lalu kalau kita percaya tentu yang dapat menyaingi adalah Yesus yang sanggup berdebat dengan para rabbi Yerusalem pada usia 12 tahun. Obor pembebasan di nusantara ini terus menjalar, meretas jalan pembebasan dan berusaha memahami detail keringat untuk kerja pembebasan yang telah ditempuh para pekerja sebelumnya. Alat-alatnya telah ditaburkan ISDV minimal arah pembebasan manusia secara komprehensif.

***

Tanpa Obor: Kegelapan pun Harus dimaknai

Beberapa orang menolak ada basis budaya pembebasan di Indonesia (di Nusantara). Yang ada melulu budaya pembodohan, penindasan. Semua budaya yang membebaskan datang dari luar yang datang bersama imperialisme: Belanda menghapuskan budaya sutee dan melarang kanibalisme, Inggris menghancurkan pemilikan tanah yang feodal. Bersama mereka juga dibawa nilai-nilai baru: demokrasi, sosialisme, nasionalisme, pendidikan: zending yang kemudian ditiru Muhamaddiyah. Rapat, kongres, pertemuan, notulensi dan vergadering, termasuk teater pun dibawa oleh mereka. Pramoedya juga berada dalam posisi seperti ini. Tapi benarkah begitu? Kalau ukurannya adalah gerakan pembebasan modern dengan cara pikir yang modern: rasionalitas. Tentu pendapat ini dibenarkan. Logika modern sendiri baru dikembangkan Aristoteles pada abad 4 SM. Cara berpikir yang berangkat dari kesimpulan atas perenungan manusia sendiri baru berkembang pada beberapa abad sebelum Aristoteles. Semua itu terjadi di Asia kecil dengan Yunani sebagai bintangnya. Kebudayaan ini meluas bersamaan meluasnya kerajaan Macedonia di bawah Alexander Agung: Helenisme yang sampai juga di India. India kelak menjadi kiblat kebudayaan berabad-abad kerajaan-kerajaan nusantara. Pengaruhnya sampai kini terasa terutama dalam bahasa. Bahkan pernah menguasai bahasanya, Sangskerta dianggap menguasai bahasa dewa, kemudian bahasa yang indah dan menjadi kembangnya bahasa Jawi yang menjadi syarat bila ingin menjadi pujangga.

India memperkenalkan huruf, cara berhitung dan pengaturan masyarakat dan tentu saja cara berpikir dan kepercayaanya. Pram memaknai ini sebagai perubahan dari kondisi komunal purba ke feodalisme sebagai penindasan pertama. Semua ini dipastikan dilakukan dengan cara kekerasan. (Baca Hoa Kiau di Indonesia) Bagaimana ini berjalan belum pernah ada penelitian. Kebanyakan penulis Kebudayan Indonesia, Pengaruh India berlaku dengan perdagangan dan penyebaran agama yang selanjutnya berkembang di masyarakat karena diterima dengan damai. Perlawanan yang ada adalah perlawanan budaya dengan tetap mempertahankan ciri-ciri lokal yang dianggap dikerjakan oleh para genius lokal yang tak ingin larut dalam indianisasi. Misalnya Candi yang berundak, dengan pundennya dianggap budaya asli. Lantas: cara penguburan bujur selatan-utara, bahkan dianggap sebagai simbol perlawanan dan kehati-hatian karena dari utaralah datang kematian dan kehidupan.

Masa-masa gelap di bawah feodalisme ini berlangsung lama tanpa kepemimpinan yang jelas. Tak ada terang budaya yang membebaskan. Intrik-intrik kotor khas feodal berlangsung terus: mulai dari rebutan kerajaan sampai selir. Walau begitu kegelapan ini diterangi dengan: peribahasa, cerita dan dongeng perlawanan tanpa akhir dari para pengembara ksatria yang setia pada rakyat kecil: seperti Joko Umboro, Joko Lelono dan seringkali dengan mengangkat cerita budaya di luar mainstream Kraton: seperti Syech Siti Jenar, Arya Penangsang, Mangir, atau Centhini atau menulis satir dengan nama-nama gelap seperti yang disinyalir dikerjakan oleh Ronggo Warsito. Sampai pada Cipto, Mangir dijadikan tokoh untuk melawan feodalisme Kraton, Ronggo Warsito sampai pada lekra masih harus diteliti dan diterjemahkan syair-syair kerakyatannya. Arya Penangsang oleh Pram melalui Tirto dijadikan tokoh acuan yang memberontak terhadap Kebudayaan yang beku, pedalaman.

Beberapa peribahasa yang dianggap maju, progresif menjelaskan ketertindasan rakyat dan memberi ruang kesadaran untuk melawan misalnya:

Nek awan duweke sing nata nek wengi duweke dursila
Mutiara asli tetap berkilau, meski ditutupi lumpur kebohongan.
Becik ketitik ala ketara
Siapa menanam angin, akan menuai badai
Berakit-rakit kehulu berenang-renang ketepian – Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian
Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, ,
Ada udang dibalik batu
Sedia payung sebelum hujan

Peribahasa-peribahasa ini belum diteliti latar-belakang kemunculannya dan kapan. Cuma alat budaya yang muncul pada masa seperti ini kebanyakan berupa puisi yang kemudian disarikan dalam pepatah dan peribahasa. Atau malah sebaliknya: hanya pesan-pesan bijak.

Melawan Budaya Penjajah

Kedatangan kolonialisme Barat yang padamulanya karena rempah-rempah menimbulkan derita bagi rakyat. Tak seperti Jepang yang berusaha melawan kekuatan Barat dengan pengiriman rakyatnya yang cerdas untuk menimba ilmu di Barat atau dengan usaha menterjemahkan buku-buku barat ke bahasa Jepang secara massal, kaum feodal Indonesia justru bekerja sama dengan kolonial menindas rakyat. Rakyat tanpa kepemimpinan modern melawan dengan caranya sendiri-sendiri. Terkadang bersekutu dengan bangsawan yang kecewa karena tak dapat warisan kekuasaan seperti kaum tani yang rela menjadi prajurit Pangeran Diponegoro 1825-1830.

Perang Diponegoro yang didukung kaum tani ini membekas dalam ingatan rakyat. Terlebih penangkapan Dipo sendiri telah diabadikan dalam lukisan Raden Saleh, seorang pelukis pribumi yang sanggup menguasai teknik melukis Barat. Chairil Anwar pun membangunkan Ode buat Dipo dalam Sajak Diponegoro di tahun 1945. Berbagai perlawanan atau cerita paska perlawanan Diponegoro terus membekas dan menjadi inpirasi para pejuang. Beberapa bahkan bangga menjadi keturunan prajurit Diponegoro: lihat film Dua Ksatria. Prajurit-prajurit Dipo yang kalah perang enggan pulang dan meneruskan dengan caranya sendiri termasuk dengan bentuk-bentuk kesenian. Sebagian lagi menjadi basis bagi kemunculan semi proletar di kota-kota Jawa.

Kedatangan kolonialisme

Peranan Max Havelaar

Diskriminasi sosial yang sangat mencolok misalnya telah menyadarkan Mas Marco akan harga dirinya sebagai manusia. Perlakuan sewenang-wenang di stasiun kereta api dan penempelengan kuli-kuli telah merangsang Marco untuk bergerak. Pembacaannya tentang sejarah dunia, buku-buku Multatuli, Veth dan lain-lain telah ikut mempercepat kesadaran akan kebebasan Indonesia (Soe, dblm)

Kartini: Ibu Budaya Pembebasan
Kartini dalam berbagai surat-suratnya yang kemudian diterbitkan menjadi bacaan kaum pergerakan sekaligus bahkan memberi arah gerakan, memberi jiwa. Karenanyalah Kartini menjadi sumber inspirasi gerakan budaya pembebasan.

Djawa Dipa 1914, sebuah gerakan anti feodal Jawa yang berkembang menjadi gerakan anti kolonialisme Belanda; dilanjutkan dengan pergulatan Ki Hadjar Dewantara membangun Taman Siswa, gerakan pendidikan modern yang berbasiskan kebudayaan asli (Jawa) bagi rakyat jajahan; dan terakhir tentang pilihan "Barat" dan "Timur" dalam polemik kebudayaan tahun 1930-an. (Supartono)

Selamanja saja hidoep, selamanja
saja aan berichtiar menjerahkan djiwa
saja goena keperloean ra'jat
Boeat orang jang merasa perboetannja baik
goena sesama manoesia, boeat orang seperti
itoe, tiada ada maksoed takloek dan teroes
TETAP menerangkan ichtiarnja mentjapai
Maksoednja jaitoe
HINDIA MERDIKA DAN SLAMAT
SAMA RATA SAMA KAJA
SEMOEA RA'JAT HINDIA
(Semaoen, 24 Djoeli 1919)

Soe Hok Gie
Di Bawah Lentera Merah, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1999
Dan waktu itu juga sering terbaca betapa keadaan orang-orang buangan di Digul. Saya pernah membaca betapa kerasnya watak Mas Marco, Boedisoetjitro, Winanta dan Najoan yang menolak utusan Gubernur jenderal menemui mereka. Padahal pertemuan dengan utusan Hilman itu mungkin akan membebaskan mereka dari neraka Digul. Kadang-kadang saya membaca beberapa segi dari kehidupan tokoh-tokoh komunis ini. Misalnya, tentang kebandelan Mas Marco dan kedermawanan Najoan, kesemuanya sangat menarik hati
Itulah sebabnya maka studi mengenai pemberontakan 1926, harus dimulai dari studi terhadap awal mulanya pergerakan kaum "Marxis" Indonesia. Dan dalam hal ini kita harus mulai dengan Sarekat Islam Semarang. Permulaan abad keduapuluh merupakan salah satu periode yang paling menarik dalam sejarah Indonesia, karena sekitar tahun-tahun itulah terjadi perubahan-perubahan sosial yang besar di tanah air kita. Pesatnya perkembangan pendidikan Barat, pertumbuhan penduduk yang meningkat cepat dan mulai digunakan teknologi modern, kesemuanya menimbulkan perubahan sosial di Indonesia. Nilai-nilai tradisional yang telah mengakar di bumi Indonesia, tiba-tiba dikonfrontasikan secara intensif dengan nilai-nilai tradisional mereka dan malah ada yang sudah mulai melepaskannya, walaupun pegangan yang baru belum mereka peroleh. Ketiadaan pegangan menciptakan rangsangan untuk mendapatkan suatu pegangan. Sebagian dari mereka mencarinya di dalam pemikiran-pemikiran Islam, sedang yang lain mencari dengan menggali kembali kebudayaan lama untuk disesuaikan dengan dunia mereka yang modern. Sebagian lainnya lagi mencarinya di dalam alam pemikiran Barat.
Suatu gerakan hanya mungkin berhasil bila dasar-dasar dari gerakan tersebut mempunyai akar-akarnya di bumi tempat ia tumbuh. Ide yang jatuh dari langit tidak mungkin subur tumbuhnya. Hanya ide yang berakar ke bumi yang mungkin tumbuh dengan baik. Demikian juga halnya dengan gerakan sosialistik Sarekat Islam Semarang. Saya pikir, bukanlah hal yang kebetulan saja menghebatnya gerakan-gerakan Samin di tahun 1917, bersamaan waktunya dengan munculnya ide-ide sosialis Sarekat Islam Semarang. Bahkan Sarekat Islam merasa adanya persamaan dasar, walaupun yang satu dicetuskan dalam suasana tradisional, sedang yang lainnya dengan jubah modern. Gerakan komunis bahkan mereka terjemahkan dengan gerakan Saminis.2) Dan jika kaum Saminis menggunakan bahasa Jawa kasar untuk siapa saja, maka dalam masa yang bersamaan kita juga menemui gerakan Jawa Dwipa. Yang satu bergerak di desa, sedang yang lainnya di Surabaya.


Dalam kata pengantarnya mereka menyatakan bahwa haluan Sinar Djawa akan lebih radikal dan terhadap pemerintah mereka akan menilainya secara jujur, sedangkan terhadap kaum kapitalis dan kaum priyayi yang memeras akan mereka musuhi.2)
Tetapi ada pula kelompok yang mengajukan konsepsi Marxistis dalam membahas realitas sosial ini, dan tokoh utamanya adalah Hendricus Fransiscus Marei Sneevliet, ketua ISDV.3) Sneevliet bersama kaum ISDVnya berhasil mempengaruhi sekelompok angkatan muda dari Sl baik di Semarang (Semaoen, Darsono, dan lain-lain), Jakarta (Alimin dan Muso), Solo (H. Misbach) maupun di kota-kota lainnya.
Dari Sneevliet-lah mereka belajar menggunakan analisis Marxistis untuk memahami realitas sosial yang dialami. Mereka berpendapat bahwa sebab dari kesengsaraan rakyat Indonesia adalah akibat dari struktur kemasyarakatan yang ada, yaitu struktur masyarakat tanah jajahan yang diperas oleh kaum kapitalis.
Dengan kekuasaan keuangannya, sejumlah orang berhasil memeras kekayaaan alam Indonesia, sekaligus memeras rakyatnya. Kemiskinan yang lahir sebagai akibatnya menumbuhkan kriminalitas di kalangan rakyat Indonesia dalam bentuk perampokan dan kelaparan.4) Kesengsaraan itu menjadi semakin berat lagi oleh peperangan (Perang Dunia I). Perang ini disebabkan adanya persaingan antara kepentingan kaum kapitalis Eropa (Kapitalis Inggris melawan Jerman). Di dalam analisisnya mereka melihat perkebunan, terutama perkebunan tebu sebagai penyebab kemiskinan yang nyata. Dan cara untuk mengatasinya hanyalah dengan sosialisme, yaitu menasionalisasikan perusahaan-perusahaan yang penting bagi hajat hidup rakyat.
Pernerintah yang seyogyanya memperhatikan kepentingan rakyat terbanyak, tidak memperhatikannya dan malah memihak kepada kaum kapitalis. Menurut mereka pemerintah masa itu mewakili kaum uang.5) Karena itu ia bertentangan dengan kepentingan kaum Kromo, dengan rakyat terbanyak.6) Bahkan para anggota Tweede Kamer sendiri, berkepentingan dengan adanya pabrik-pabrik gula. Mereka mempunyai saham-sahamnya di sana.7) Pemerintah dan para pengusaha tidak memperhatikan rakyat dan bahkan karena mempunyai banyak uang mereka dapat membeli dan menyogok pegawai-pegawai pemerintah.
Tetapi ketika adanya bahaya yang mengancam dari luar. Tanpa malu-malu kaum kapitalis/pemerintah menganjurkan adanya milisi Bumiputra. Padahal milisi ini bertujuan untuk melindungi kapital mereka sendiri, dengan menjadikan orang Indonesia sebagai umpan peluru.12) Secara sarkastis Mas Macro mensajakkan:
Indie Weebaar jang dibitjarakan
Sana sini sama mengatakan
Indie Weerbaar akan memasoekkan
anak Hindia di lobang meriam.13)
Karena itu, demi kepentingan Indonesia sendiri, Indie Weerbaar harus dilawan. Dalam bidang perburuhan pun Pemerintah berpihak kepada kaum majikan. Dan tidak mau peduli pada pihak kaum buruh.
Aksi-Aksi Sarekat Islam Semarang (Mei 1917-Oktober 1918)
Goena apa menoelis soerat
Kalau masih dapat berjoempa
Goena apa dapat Volksraad
Kalau masih koerang Sempoerna
Tindakan-Tindakan Pemerintah
. Marco, musuh tradisional Belanda, hampir-hampir pula dijerat Asisten Residen karena ia menulis sebuah sajak yang dapat ditafsirkan sebagai anjuran mengusir kaum "kafir".8).l0)



Sastra Liar Yang Membebaskan

Beberapa tahun yang lalu, ketika meneliti koran-koran awal tahun tiga puluhan, saya kadang-kadang membaca berita-berita di sekitar proses pengadilan terhadap kaum komunis. Mereka ini, bukanlah tokoh-tokoh utamanya, melainkan hanya peserta biasa saja. Di dalam mengemukakan alasan mengapa mereka ikut memberontak di tahun-tahun 1926-1927, kebanyakan data menunjukkan kepada sebab-sebab kemiskinan. Biografi "rakyat kecil" ini pun sangat menarik. Terkadang, hanya karena hutang 50 sen, atau karena soal-soal kecil lainnya, mereka berani melawan Belanda. (soe)

"BACAAN LIAR": BUDAYA DAN POLITIK PADA ZAMAN PERGERAKAN
oleh Razif



Pengantar
Sementara itu para pemimpin pergerakan sendiri memandang produksi bacaan mereka sebagai bagian yang tak terpisahkan dari mesin pergerakan: untuk mengikat dan menggerakkan kaum kromo--kaum buruh dan kaum tani yang tak bertanah. Produksi bacaan dapat berbentuk surat kabar, novel, buku, syair sampai teks lagu. Bagi kaum pergerakan, bacaan merupakan alat penyampai pesan dari orang-orang atau organisasi-organisasi pergerakan kepada kaum kromo. Oleh spektrum revolusioner dan radikal dari kaum pergerakan, bacaan diisi pesan tentang jaman yang telah berubah dan penindasan kekuasaan kolonialisme. Tujuan dari pesan-pesan tersebut adalah agar dapat mengajak rakyat--kaum kromo--melawan penjajah, sebagaimana pernah dinyatakan Marco:
"...kapitalist Europa, dia orang soedah sama bersepakat dengan bangsanya kapitalis alias membikin Maatschappij jang besar-besar, dan akalnja menggaroek oeang, jaitoe menghisap darahnja kromo, soedah amat pintar sekali."
Kurun 1920-1926 merupakan masa membanjirnya "bacaan liar," saat terbukanya celah-celah yang relatif "demokratis" bagi pentas pergerakan. Misalnya, pada Kongres IV tahun 1924 di Batavia, PKI mendirikan Kommissi Batjaan Hoofdbestuur PKI. Komisi ini berhasil menerbitkan dan menyebarluaskan tulisan-tulisan serta terjemahan-terjemahan "literatuur socialisme"--istilah ini dipahami oleh orang-orang pergerakan sebagai bacaan-bacaan guna menentang terbitan dan penyebarluasan bacaan-bacaan kaoem modal. Semaoen adalah orang yang pertama kali memperkenalkan pengertian "literatuur socialistisch." Dalam artikelnya, Klub kominis!, dikatakan: "socialisme jalah ilmoe mengatoer pergaoelan idoep, soepaja dalem pergaoelan idoep itoe orang-orangnja djangan ada jang memeres satoe sama lain.1) Tujuan memilih, menerbitkan dan menyebarluaskan tulisan yang mengajarkan sosialisme adalah; Pertama, untuk menghapuskan hubungan-hubungan sosial lama--yang telah usang yang tetap dipertahankan oleh kekuasaan kolonial--seperti aturan sembah jongkok ketika bertemu dengan pejabat atau pembesar kolonial. Kedua, "literatuur socialisme" melakukan oposisi untuk melawan dominasi penerbitan barang-cetakan yang diproduksi oleh Balai Poestaka (BP).2) Dengan kata lain, di atas pentas politik pergerakan, "literatuur socialisme" merupakan "hati dan otak" dari gerakan massa. Dengan produksi bacaan tersebut, rakyat jajahan diperkenalkan dan diajak masuk ke dalam pikiran-pikiran baru yang modern, dan karena itulah "literatur socilisme" harus ditulis dengan bahasa yang dipahami oleh kaum kromo.Runtuhnya `bacaan liar' sendiri tak dapat dipisahkan dari perkembangan pentas politik pergerakan khususnya ketika terjadi pemberontakan nasional dalam tahun l926/l927. Ketika diberangusnya organisasi-organisasi radikal oleh diktaktor kolonial, terjadi pula pemberangusan produksi bacaan liar. Meskipun berbagai lembaga dihancurkan, namun praktek dan gagasan pergerakan yang telah hidup pada tahun 1920-an tetap hidup walau dengan bentuk dan isi yang berbeda. Hal ini, misalnya, dapat dilihat dari tetap hidupnya serikat buruh--sekalipun tidak dengan intensitas dan kegarangan yang sama--maupun gerakan-gerakan radikal lainnya yang tumbuh pada tahun 1930-an. Sudah tentu bentuk bacaan pun mengalami perubahan. Sebagai contoh pada tahun 1933 Sutan Sjahrir masih menulis buku Pergerakan Sekerdja. Buku Sjahrir ini dimaksudkan untuk membangkitkan kembali gerakan buruh.3) Tulisan Sjahrir ini secara jernih mengetengahkan: "Di dalam masa kemerdekaan beloem tentoe kaoem boeroeh djoega merdeka."4) Tulisan lain yang dapat ditemui adalah karya Moesso, Djalan Baroe, yang terbit tahun 1948, yang mencoba mengembalikan gerakan politik seperti tahun 1920-an--di mana aspirasinya sangat demokratis.
Berangkat dari pijakan bahwa "literatuur socialitisch" tidak terlepas dari aktivitas politik pergerakan, dalam penelitian ini pandangan akan lebih diarahkan pada para pemimpin pergerakan yang memproduksi bacaan tersebut; apa yang mereka bayangkan tentang pergerakan; apa yang mereka hadapi dalam situasi pergerakan; dan bagaimana usaha mereka memecahkan kontradiksi antara penjajah dan yang dijajah. Persoalan-persoalan di atas lalu menimbulkan berbagai pertanyaan: Bagaimana "literatuur socialitisch" pertamakali disebarluaskan? Bagaimana distribusi bacaan tersebut? Bagaimana hubungan percetakan dengan bacaan tersebut? Bagaimana pendapat kaum pergerakan baik yang terlibat langsung ataupun tidak terhadap bacaan tersebut? Seberapa jauh tindakan pemerintah kolonial dalam mengantisipasi derasnya bacaan tersebut--terutama Balai Pustaka yang men-cap-nya sebagai "bacaan liar?" Dan juga pertanyaan yang cukup penting: mengapa "bacaan liar" seringkali dihasilkan di penjara? Selanjutnya untuk memperjelas dapatkah terbitan-terbitan BP melakukan pencegahan terhadap bacaan liar, maka saya akan mengkonfrontasikan "bacaan liar" di sana-sini dengan produk-produk bacaan Balai Poestaka.
Untuk lebih memahami "bacaan liar" secara komprehensif, maka perlu diteliti karya-karya pemimpin pergerakan, seperti Raden Darsono yang melakukan perang suara (perang pena) dengan Abdoel Moeis. Serangan Darsono terhadap Abdoel Moeis berjudul "Moeis telah mendjadi Boedak Setan Oeang." Atau karya Darsono lainnya yang menentang peraturan kolonial yang berjudul "Pengadilan Panah Beratjun." Dan juga Karya Semaoen Hikayat Kadiroen--buah karya di dalam penjara. Dan juga yang menjadi pertanyaan dalam penulisan ini bagaimana makna hikayat dipahami oleh para pendukungnya?
Sementara seorang peneliti lain, Paul Tickell, melakukan sebuah studi komprehensif tentang novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo dan Hikayat Kadirun buah pena Semaoen.5)
Tickell juga berhasil menjawab bagaimana perspektif negara kolonial dalam memandang "bacaan liar." Kekuasaan kolonial memberi pandangan dan makna untuk "bacaan liar" sebagai bacaan yang mengagitasi rakyat untuk melakukan "pemberontakkan," sehingga penulisnya pun diberi "cap" pengarang liar.
Bagian kedua akan membahas bagaimana panggung pergerakan menjadi bagian dari perkembangan "bacaan liar" (literatuur socialistisch). Terutama, bagaimana surat kabar menjadi organ yang mendidik kaoem kromo--sehingga mereka dapat ikut dalam perdebatan atau perang soeara di antara kaum pergerakan sendiri maupun terhadap kebijaksanaan negara kolonial. Mulai dan masuknya gagasan sosialisme terbentuk dari sini, terutama dengan pecahnya revolusi Bolsjevik di Rusia pada tahun 1917 yang sangat mempengaruhi bentuk "bacaan liar."
Dalam bagian ketiga dari tulisan ini, saya akan membandingkan produk "bacaan liar" dengan produk Balai Poestaka (BP), baik dari segi produksi, konsumsi, distribusi maupun pertukaran. BP yang sangat erat berhubungan dengan Het Kantoor voor Inlandsze Zaken (Kantor Urusan Bumiputra) turut mewarnai surat kabar dan bacaan bumiputra dengan semangat politik etisnya. Dengan mensejajarkan BP dengan produk "bacaan liar" akan terlihat bagaimana proses tumbuh dan berkembang yang kompleks dari "bacaan liar" yang sebelumnya tidak diarahkan untuk menyerang BP. Baru pada tahun 1924 berdiri institusi Kommisi Batjaan Dari Hoofdbestuur PKI yang secara terus-terang menentang produk bacaan BP sebagai geest kapitalisme (kapitalisme jiwa). Dengan berdirinya komisi batjaan ini maka terlihat bahwa proyek negara kolonial tidak dapat melakukan hegemoni terhadap penduduk kolonial Hindia, tetapi yang dapat dilakukan hanyalah dengan dominasi--hal ini terbukti dengan dihancurkannya institusi-institusi pendukung "bacaan liar."
Bagian terakhir dari tulisan ini, saya akan menguji berbagai produk bacaan Kommisi Batjaan Dari Hoofdbestuur PKI yang peranannya tidak terbatas semata-mata untuk menyebarkan ide-ide, pendidikan politik dan merangkul sekutu-sekutu politik. Karena makna sebuah bacaan bukan sekedar sekumpulan propagandis dan agitator, akan tetapi juga sekumpulan organisatoris. Dalam pengertian ini, bagaikan meniti tangga ke sebuah bangunan, yang dapat lebih mempertajam lengkung-lengkung struktur bangunan, bacaan menjadi fasilitas komunikasi di antara kaoem kromo, mempermudah mereka membagi-bagi kerja, dan memandang hasil bersama yang mereka capai dengan tenaga kerja yang terorganisir. Namun demikian apa yang dicapai oleh PKI sebagai sebuah partai tidaklah demikian. Sehingga saya sangat berkepentingan untuk menggali apa yang sebenarnya terjadi pada tahun 1925 dan 1926?
.
Sementara itu rumah-rumah cetak Tionghoa peranakan muncul tidak berbeda jauh dari rumah-rumah percetakan kepunyaan orang-orang Eropa. Memang untuk pertamakali mereka masih mencetak di perusahaan percetakan Van Dorp, dan hanya menterjemahkan dan menerbitkan Boekoe tjerita Tjioe Koan Tek anak Tjioe Boen Giok, terkarang oleh Soeatoe Orang Tjina. Tetapi kemudian mereka, pada paruh abad ke-19 telah menerbitkan suratkabar berbahasa Melayu dengan tulisan Latin yang terbit di Jawa: Soerat Chabar Betawie terbit tahun 1858, Selompret Melajoe muncul pertamakali tahun 1860 dan Bintang Soerabaja tahun 1860.25)
ahun 1877 Tjiong Hok Long mendirikan rumah cetak Goan Hong dan Liem Kim Hok pada tahun 1885 membeli percetakan kepunyaan seorang Belanda, Van der Linden. Banjirnya rumah-rumah cetak Tionghoa peranakan dimulai pada penutup abad ke-19 seperti Goei P.H., Jo Tjiam Goan, L.S.T. & T.H.L., Oei Tjoen Bin, Thio Tjeng Teng, dan Thio Tjoe Eng, Tiong Hoa Wi Sien Po yang berdiri tahun 1906.
Sementara itu bentuk-bentuk bacaan yang diproduksi oleh penulis dan rumah cetak Tionghoa peranakan lebih beragam ketimbang produk penulis dan rumah cetak Eropa yang yang disebutkan di atas. Lebih beragamnya barang cetakan dari orang Tionghoa peranakan seperti saduran karya-karya prosa Shair Ong Tjiauw Koen Ho (1888) yang mengisahkan petualangan Putri Wang Zhaoajun; Boekoe Elmoe Peladjaran, tersalin dari Boekoe Tjina Tjoe Ke Hoen, njang amat bergoena sekalie boeat kasie mengertie pada sekalian orang (1888), cerita yang bersifat nasehat dan pendidikan; Sair dari hal datengnja Poetra Makoeta keradjaan Roes di Betawi dan pegihnja (1891), cerita-cerita mengenai kejadian semasa. Selanjutnya karya-karya yang dimaksudkan sebagai hiburan semata, seperti Rodja Melati Oleh Si Nonah Boto (1891), terjemahan novel Kisah Hanwan dan Ular Putih (1893), tulisan-tulisan keagamaan dan pendidikan Peladjaran Keloearga Guru Zhu (1897), tulisan-tulisan revolusioner "Oeroesan Tiongkok" 15 tahoen di moeka (1909).27)
Kertas untuk mencetak diimpor dari Jepang, sebab harganya sangat murah ketimbang mereka memesan dari The Big Five yang harganya jauh lebih mahal. Penterjemahan dan penyaduran karya-karya revolusioner yang diproduksi oleh Tionghoa peranakan sangat membantu dan mendorong penerbitan tulisan-tulisan "bacaan liar" pada tahun 1924-25 di bawah naungan Kommisi Batjaan Hoofdbestuur PKI. Karena itu tidak terjadi sebuah pertarungan antara penulis dan penerbit "bacaan liar" dengan penulis dan penerbit Tionghoa peranakan. Selain itu para penerbit Tionghoa peranakan turut memberikan sumbangan dana untuk pergerakan melalui pemasangan iklan. Hal ini akan saya bahas dalam akhir tulisan ini.
Babak pertama dimungkinkan karena adanya orang-orang peranakan Belanda dan Tionghoa yang memiliki rumah cetak dan surat kabar.28) Teks bacaan yang diproduksi dimulai dengan terjemahan novel-novel fiksi Eropa, seperti karya Robinson Crusoe dan Jules Vernes yang masing-masing diterjemahkan oleh F. Wigeers dan Lie Kim Hok.29) Kemudian ditambah dengan terjermahan fiksi-fiksi populer di antaranya Hikayat Sultan Ibrahim, Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Jan Pieterzooncoen. Ceritera-ceritera tradisional ini disebarluaskan melalui berbagai surat kabar. Selanjutnya bacaan-bacaan ini juga diterbitkan dalam edisi buku teks oleh sarjana-sarjana Belanda, seperti H.C. Klinkert dan A.F. von de Wall.
Tetapi terobosan penting dilakukan oleh tiga jurnalis yakni, F.H. Wiggers, H. Kommer dan F. Pangemanan. Dua orang pertama dari golongan peranakan Eropa dan yang terakhir kelahiran Menado. Ketiga orang ini yang mendorong dan mengarahkan penulisan-penulisan ceritera asli dengan latar belakang sejarah Indonesia. Mereka menulis dengan lancar dalam Melayu pasar dan karya-karya mereka dapat diterima baik di kalangan Indo maupun Tionghoa peranakan. Tetapi di antara ketiga orang tersebut yang paling produktif (menerbitkan tiga tulisan) adalah F. Wiggers; di samping itu dia juga menterjemahkan berbagai buku perundang-undangan resmi ke dalam bahasa Melayu, membantu Liem Kim Hok dalam menterjemahkan karya Michael Strogoff, Le Comte de Monte Cristo. Terjemahan paling penting yang ia buat adalah karya Melati van Java's (nama pena Nicolina Maria Christina Sloots yang hidup dari 1853-1927, seorang wanita Belanda yang banyak menulis tentang kehidupan Hindia semasa penjajahan Belanda), Van Slaaf Tot Vorst. Ceritera ini merupakan sebuah rekonstruksi imajinatif dari legenda Surapati yang dibumbui dengan mengacu pada keris suci dan _djampe-djampe_ dan alur cerita penuh dengan intrik dan romantika dalam keluarga kerajaan.30)
Sedangkan H. Kommer lebih dikenal sebagai sastrawan pada masanya dengan karya "Nji Paina" terbit di Batavia pada 1900 dan "Tjerita Njonja Kong Hong Nio" yang terbit di Betawi tahun 1900, dikeluarkan oleh penerbit terkenal pada masa itu: A. Veit & Co dan W.P. Vasques. H. Kommer dengan Nji Paina-nya, sadar atau tidak, telah melancarkan kecaman tajam terhadap kaum pemilik pabrik gula, yang saat itu merupakan tulang punggung Hindia Belanda dalam mendapatkan devisa. Sedangkan karyanya yang lain Njonja Kong Hong Nio yang baik dari bentuk maupun isi bisa disebut modern, adalah sebuah dokumen tentang kehidupan di tanah partikelir dan swasta. Karyanya ini mengisahkan tragedi kejatuhan bangsawan pribumi yang diukiskan secara dramatis, sehingga kenyataan fiksi di sini terasa lebih mencekam daripada kenyataan sosial sendiri.
F. Pangemanan berasal dari marga Minahasa yang maju pada masanya, yang banyak menghasilkan kaum terpelajar, yang pada umumnya dipersamakan (gelijkgesteld) dengan komunitas Eropa di Hindia. Karyanya adalah Tjerita Si Tjonat dan Sjair Rossina. Tjerita Si Tjonat berkisah tentang seorang bandit yang beraksi di sekitar Batavia dan melakukan serangkaian pembunuhan, penculikan dan perampokan terhadap orang-orang Eropa. Cerita ini adalah kisah pertualangan yang romantis. Si Tjonat, walaupun seorang bandit, tidak pernah melakukan pemerkosaan. Ia bahkan digambarkan oleh F. Pangemanan sebagai seorang pahlawan. Sjair Rossina melukiskan seorang budak wanita yang melarikan diri dari majikannya, tetapi jatuh ke dalam perangkap seorang perampok. Dan tulisan ini juga diramu dalam bentuk petualangan romantis.
Sebaliknya literatur golongan Tionghoa peranakan dimulai oleh Liem Kim Hok yang memulai karirnya dengan menulis Siti Akbari, yang menceritakan penyebaran agama Hindu di Hindia. Dalam sejarah pers di Hindia ia pernah menyusun aturan bahasa "Melayu Betawi" yang terbit tahun 1891. Kemudian disusul oleh Nio Joe Lan yang menyadur Hikayat Sultan Ibrahim, yang mengisahkan penyebaran agama Islam di Hindia. Karya yang lebih maju dari golongan Tionghoa peranakan ditulis oleh Liem Koen Hian dengan judul Ni Hoe Kong Kapitein Tionghoa di Betawi dalem Tahoen 1740 terbit tahun 1912. Tulisan ini menggambarkan peristiwa pembunuhan orang-orang Cina pada tahun 1740.
Tulisan-tulisan orang Indo maupun Tionghoa peranakan yang digambarkan secara singkat di atas, masih menampakkan wataknya asimilatif atau pembauran. Meskipun dalam beberapa hal mulai kritis terhadap sistem kolonial, tetapi secara keseluruhan isinya masih tetap mempertahankan segi-segi moral kolonial, terutama tulisan-tulisan yang diproduksi oleh golongan Eropa. Ini yang membuat bacaan-bacaan tersebut masih dikategorikan sebagai bacaan yang menyenangkan, untuk mengisi waktu luang para pembacanya.31)
Teknik berdagang buku semacam ini pertama-tama untuk meringankan beban beli pembaca dan sekaligus untuk merangkul lebih banyak pembeli. Teknik memecah-mecah buku cerita menjadi beberapa jilid kemudian ditiru oleh para pemimpin pergerakan, misalnya Marco yang menjual Mata Gelap (terdiri dari tiga jilid) setiap jilidnya f.0,15,- atau Kommunisme serie I dan II masing-masing perjilid f.0,25,-.
Babak kedua adalah bacaan-bacaan yang ditulis oleh orang bumiputra sendiri pada awal abad ke-20. Yang menarik dari perkembangan produksi bacaan yang dilahirkan oleh orang-orang bumiputra adalah penggunaan "Melayu pasar" yang rupanya juga mengikuti para pendahulunya, golongan Indo dan Tionghoa peranakan. Kenapa demikian? Karena "Melayu Pasar" adalah bahasa para pedagang dan kaum buruh yang tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah dengan pengajaran bahasa Melayu yang baik.35) Selain itu bacaan-bacaan yang ditulis dalam bahasa Melayu Pasar mempergunakan bahasa lisan sehari-sehari yang terasa lebih spontan dan kadang-kadang lebih hidup, lebih bebas dari ikatan tatabahasa. Perkembangan produk bacaan bumiputra sangat didukung dengan meriapnya industri pers pada awal abad ke-20.36)
Golongan bumiputra yang bisa disebut perintis fiksi modern adalah R.M. Tirtoadhisoerjo dengan karyanya Doenia Pertjintaan 101 Tjerita jang soenggoe terjadi di Tanah Priangan diterbitkan pada tahun 1906. Kemudian disusul dengan karya-karyanya yang lain: Tjerita Njai Ratna, terbit tahun 1909, Membeli Bini Orang, terbit pada tahun yang sama dan Busono terbit tahun 1912. Sedangkan tulisan-tulisan non-fiksi R.M. Tirtoadhisoerjo, atau lebih tepat tulisan politiknya adalah, Gerakan Bangsa Tjina di Soerabaja melawan Handelsvereniging Amsterdam yang dimuat dalam Soenda Berita pada tahun 1904; Bangsa Tjina di Priangan dimuat dalam media yang sama pada tahun 1904; Peladjaran Boeat Perempoean Boemipoetera yang juga dimuat dalam media yang sama dan tahun yang sama; Soeratnja Orang-Orang Bapangan, dimuat dalam Medan Prijaji (MP), tahun 1909; Persdelict: Umpatan, diumumkan dalam MP tahun 1909, Satoe Politik di Banjumas, disiarkan di MP tahun 1909; Drijfusiana di Madioen dimuat di MP tahun 1909; Kekedjaman di Banten dimuat di MP tahun 1909; Omong-Omong di Hari Lebaran, disiarkan di MP tahun 1909; Apa jang Gubermen Kata dan Apa jang Gubermen Bikin dimuat di MP tahun 1910 dan Oleh-Oleh dari Tempat Pemboeangan yang pertamakali disiarkan di harian Perniagaan, kemudian diumumkan kembali di MP tahun 1910.37)
R.M. Tirtoadhisoerjo sebagai seorang pelopor pergerakan nasional yang memproduksi bacaan-bacaan fiksi dan non-fiksi, telah mendorong beberapa tokoh pergerakan untuk melakukan hal yang sama, seperti Mas Marco Kartodikromo, Soeardi Soerjaningrat, Tjipto Mangoenkoesoemo, Semaoen, Darsono dan lainnya. Mereka semua menghasilkan bacaan-bacaan populer yang terutama ditujukan untuk mendidik bumiputra yang miskin (kromo). Bacaan-bacaan yang mereka hasilkan merupakan ajakan untuk mengobati badan bangsanya yang sakit karena kemiskinan, juga jiwanya karena kemiskinan yang lain, kemiskinan ilmu dan pengetahuan. Penyebaran gagasan dalam bentuk bacaan-bacaan politik berkenaan dengan konsep pergerakan, sebagaimana ditegaskan oleh Marco pada tahun 1918:
Soenggoehpoen amat berat orang bergerak memihak kepada orang yang lemah, lihatlah adanja pemogokan jang beroelang-oelang diwartakan dalam Sinar ini. Di sitoe soedah menoendjoekkan bilangannja berpoeloeh-poeloeh korban itoe pemogokan, inilah memang soedah seharoesnja. Sebab melawan kaoem jang mempoenjai pabrik pabrik itoe sama ertinja dengan melawan pemerentah jang tidak adil.... Lantaran hal ini, maka di sitoe timboellah peperangan soeara (soerat kabar) jaitoe fehaknja pemerentah dan fehaknja ra'jat. Apakah peperangan mentjari makan di Hindia sini achirnja djoega seperti peperangan mentjari makan di Zuid Afrika? Inilah misih djadi pertanjaan jang tidak moedah didjawab! Kami tahoe ada djoega bangsa kita anak Hindia jang lebih soeka memehak kaoem oeang dari pada memehak bangsanja jang soedah tertindas setengah mati, maar... djangan poetoes pengharapan pembatja! disini ada banjak sekali anak anak moeda jang berani membela kepada ra'jat, dan kalau perloe sampai berbatas jang penghabisan. Dari itoe kita orang tidak oesah takoet dengan bangsa kita mahloek jang lidahnja pandjang, lidah mana jang hanja, perloe diboeat mendjilat makanan jang tidak banjak, dan dia bekerdja diboeat masih melawan bangsanja sendiri jang ini waktoe masih djadi indjak-indjakan. Sekarang ada lagi pertanjaan, jaitoe tidak saban orang bisa mendjawab itoe pertanjaan: Apakah di Hindia sini ada soerat kabar jang dibantoe oleh kaoem oeang, soepaja itoe soerat kabar bisa melawan soerat kabarnja rajat? Ada! tetapi nama soerat kabar itoe pembatja bisa mentjari sendiri. Lain dari itoe, kita memberi ingat kepada saudara-saudara, djanganlah soeka membatja sembarang soerat kabar, pilihlah soerat kabar jang betoel-betoel memihak kepada kamoe orang, tetapi jang tidak memihak kepada kaoem oeang. Sebab kalau tidak begitoe, soedah boleh ditentoekan, achirnja kita orang Hindia tentoe akan terdjeroemoes di dalam lobang kesengsara'an jang amat hina sekali.
Achir kalam, kami berkata; NGANDEL, KENDEL BANDEL, itoelah gambar hatinja manoesia jang tidak memandjangkan lidahnja, tetapi menoendjoekkan giginja jang amat tadjam, dan kalau perloe...38)
Maka demi menghela rintangan-rintangan bagi pergerakan diperlukan bacaan-bacaan politik, agar "kaum kromo" mengetahui, memahami dan menyadari politik kekuasaan kolonial.
Bacaan-bacaan yang dihasilkan oleh para pemimpin pergerakan di atas dapat dikategorikan sebagai "bacaan politik". Hampir semua bacaan yang diproduksi oleh para pemimpin pergerakan apakah bentuknya novel, roman, surat perlawanan persdelicht dan cerita bersambung, isinya menampilkan kekritisan dan perlawanan terhadap tata-kuasa kolonial. Sejarah mencatat, sesungguhnya sastra Indonesia sejak mula sejarahnya merupakan sastra protes.
Pada awal abad ke-20 rumah-rumah cetak di Hindia tumbuh dengan pesat, di Semarang saja ada delapan rumah cetak, di antaranya firma Benjamin & Co, firma Bisschop & Co, firma Masman & Stroink, N.V. Dagblad "De Locomotief", de N.V. Hap Sing Kongsie, de firma Misset & Co.41)
Dan barang cetakan yang mereka keluarkan sangat beragam, misalnya firma Masman & Stroink mau menerbitkan tulisan Sneevliet yang berjudul Pertoendjoekan Kekoeasaan dan Bahaja Kelaparan. Sementara itu orang bumiputra yang mempunyai rumah cetaknya sendiri adalah R.M. Tirtoadhisoerjo, yang bekerjasama dengan Hadji Moehammad Arsjad dan Pangeran Oesman--N.V. Javaanche Boekhandel en Drukkerij en Handel in Schrijfboeten "Medan Prijaji", yang kemudian disusul dengan berdirinya rumah cetak Insulinde yang sebagian besar dananya disokong oleh H.M. Misbach. Rumah cetak Insulinde ini antara lain menerbitkan Mata-Gelap-nya Marco.
Tidak lama berselang berdiri rumah cetak VSTP yang menerbitkan suratkabar Si Tetap. Berbeda dengan rumah cetak Eropa yang selalu cari untung, rumah cetak bumiputra lebih menekankan pendidikan "ra'jat djadjahan" dan memberi harga murah agar dapat dijangkau oleh pembaca. Karena itulah proses pencetakannya dibuat lebih sederhana, misalnya Mata Gelap dibagi menjadi 3 jilid. Ada dua "keuntungan" dari teknik menerbitkan seperti ini. Pertama, harganya lebih murah yang berarti jangkauan pembacanya pun lebih luas, dan kedua ada semacam ikatan antara pembaca dan bacaan yang dibangun dalam proses itu. Sulit membayangkan bahwa orang mau membaca hanya jilid kedua atau ketiganya saja. Dengan teknik ini maka pembaca dibentuk hidup dalam satu lingkaran, yaitu lingkaran pembaca.
Satu-satunya rumah cetak milik orang Arab, yakni Hasan Ali Soerati adalah N.V. Setia Oesaha yang kemudian diambil alih oleh Tjokroaminoto untuk menerbitkan organ CSI--Oetoesan Hindia. Pada awal tahun 1920-an dengan berdirinya PPPB, mereka mempunyai rumah percetakan sendiri dengan menerbitkan organnya Doenia Merdeka pada tahun 1924 untuk menggantikan organ sebelumnya, jurnal Pemimpin yang terbit sejak tahun 1921.
Membanjirnya barang-barang cetakan ini sejak tahun 1910-an hingga 1920-an, terjadi bagaimanapun setelah dikeluarkannya undang-undang pers yang baru pada tahun 1906 yang menetapkan sensor represif sebagai pengganti sensor preventif. Tetapi undang-undang pers yang baru ini lebih jauh dapat diterjemahkan menjadi pen-sensoran diri oleh pemimpin redaksi yang khawatir bacaannya bisa dilarang atau dibredel oleh negara kolonial.
Pada zaman pergerakan, seorang revolusioner seperti Semaoen, Darsono, Marco, juga seorang jurnalis. Banyak waktu mereka digunakan untuk menulis artikel, menyunting dan mendistribusikan suratkabar-suratkabar kecil. Membaca surat kabar ini, adalah suatu langkah yang baik untuk merekonstruksi kisah perjuangan internal dan eksternal dari kaum pergerakan. Dengan suratkabar dan barang cetakan lainnya kaoem kromo dapat membentuk kesadaran kolektif untuk membayangkan masa depan yang mereka hadapi. SI Semarang menerbitkan Sinar Hindia yang peredarannya mencapai 20.000 hingga 30.000 eksemplar.44)
Dengan demikian, suratkabar bukan hanya propaganda kolektif, tetapi juga organizer kolektif. Bagaimanapun, mereka juga memerlukan pemasukan untuk mempertahankan produksi dengan menerima pemasangan reklame dari berbagai perusahaan, baik produksi yang dihasilkan di Hindia maupun produk luar negeri. Selain itu dana juga diperoleh dari para pendukungnya (pelanggan) sebesar f. 0,50,- setiap orang.
Pada saat itu juga muncul buku-buku bacaan kecil (booklets), yang biasanya dimuat di dalam suratkabar-suratkabar secara bersambung yang diproduksi oleh institusi-institusi pergerakan, mengambil contoh dari bacaan yang diproduksi oleh orang Tionghoa peranakan. Dan yang cukup penting, para pemimpin pergerakan yang sekaligus menjadi jurnalis mendirikan perhimpunan atau organisasi untuk menentang kebijaksanaan kolonial yang kebanyakan didanai oleh saudagar-saudagar batik, seperti Hadji Samanhudi yang mendanai Sarotomo atau H.M. Bakri yang mendanai Doenia Bergerak serta Hadji Misbach yang mendanai Medan Moeslimin dan Islam Bergerak.45)

***

Yang terpenting dari reaksi pemerintah kolonial ini adalah--terutama setelah Balai Poestaka direformasi pada tahun 1917--pemberian label "bacaan liar" untuk tulisan-tulisan pemimpin pergerakan. Label ini pertamakali diberikan oleh Rinkes, direktur Balai Poestaka. Image "bacaan liar" yang diproduksi oleh kaum pergerakan ini diungkapkan Rinkes karena kekhawatiran negara kolonial terhadap barang-barang cetakan seperti surat kabar, jurnal, novel dan bentuk-bentuk bacaan lainnya, sebagaimana dijelaskan olehnya pada tahun 1914:
The only publication that dominated all those, with Darma Kanda as the exception, and something more than a local newspaper with personal slanging match (met personlijke scheld partijen) was Medan Prijaji...which besides sharing the character with others showed itself as more energetic, gifted, cunning and more poisonous and which declared Java as its territory of action (terrein van actie)
In beginning it was published as a weekly an after being develop, within 2 years it had been converted into a daily, constantly loved, and according to some it has 2000 subscribes. In itself for a European newspapers in the indies that is not a bad figure, which is even more so for a Malay newspaper....
In the weekly and later daily newspaper... The goverment and goverment regulations were ridiculed and at same time those half--baked groups (de kringen van half-ontwikkelen) were captivated and influenced by [its] deception, by pushing [them] to improve their lot and the like)50)
Dengan Rinkes menyatakan surat kabar harian maupun mingguan isinya seringkali provokatif--menyerang pemerintah kolonial, mengejek aturan-aturan pemerintah dan menyerang pejabat pemerintah--maka bacaan-bacaan tersebut dianggap telah melanggar kekuasaan kolonial dan menggangu ketertiban. Lebih jauh pernyataan Rinkes ini merupakan hasil perdebatannya dengan Marco pada tahun 1914 tentang hasil-hasil kerja Mindere Welvaart Commissie, yang dianggap Marco sebagai usaha mempertahankan mitos politik etis.
Dimulai Dengan "Perang Soeara"
. Orang yang pertama kali merintis perlunya bacaan bagi rakyat Hindia yang tidak terdidik adalah Tirtoadhisoerjo. Ia memulainya dengan menerbitkan artikel "Boycott" di surat kabar Medan Priyayi. Artikel "Boycott" dijadikannya senjata bagi orang-orang lemah untuk melawan para pemilik perusahaan gula. Tindakan boikot pertamakali dilakukan oleh orang-orang Tionghoa terhadap perusahaan-perusahaan Eropa, yang menolak permintaan mereka untuk memperoleh barang. Tindakan para pengusaha Eropa ini dibalas oleh orang-orang Tionghoa dengan memboikot produk perusahaan-perusahaan Eropa, sehingga hampir sekitar 24 perusahaan Eropa di Surabaya gulung tikar.
Makna dan nilai artikel boikot ini sangat penting bagi produk penulisan bacaan yang menentang kediktaktoran kolonial51) di masa selanjutnya, sebab artikel ini merupakan pendorong bagi orang bumiputra lainnya, menyadarkan bahwa bacaan-bacaan politik sangat diperlukan untuk membuka mata dan daya kritis orang bumiputra, yang dikungkung oleh cerita-cerita kolonial yang senantiasa ingin mengawetkan tata kuasa kolonial.
Gaya penulisan bacaan politik yang dipelopori oleh Tirto kemudian diikuti oleh para pemimpin pergerakan, umpamanya Mas Marco Kartodikromo dan Tjipto Mangoenkoesoemo, yang sama-sama perintis jurnalis dan sama-sama kukuh memegang prinsip pergerakan, sekalipun keduanya berbeda dalam memandang pergerakan.52)
Marco Kartodikromo adalah orang yang paling produktif dalam menghasilkan "bacaan liar", dan akan menjadi salah satu fokus penulisan ini. Karya-karya yang dikenal adalah Mata Gelap, yang terdiri dari tiga jilid yang diterbitkan di Bandung pada tahun 1914; Student Hidjo diterbitkan tahun 1918; Matahariah diterbitkan tahun 1919; Rasa Mardika diterbitkan tahun 1918, kemudian dicetak ulang tahun 1931 di Surakarta. Marco juga menerbitkan sekumpulan syair, Sair rempah-rempah terbit di Semarang pada tahun 1918 dan Sair Sama Rasa Sama Rata terbit di suratkabar Pantjaran Warta tahun 1917. Kemudian Babad Tanah Djawi yang dimuat di jurnal Hidoep tahun 1924-1925. Dari karangan-karangannya ini, belum lagi dari karya jurnalisnya, nampak ketegangan-ketegangan dalam cara berpikirnya. Untuk mengetahui ketegangan-ketegangannya kita perlu membaca teks-teksnya secara teliti, yakni dengan menelusuri alur cerita, karakter, dan bahasa yang digunakannya. Dalam Mata Gelap ia melukiskan hal-hal modern yang terjadi di tanah Jawa (terutama Semarang dan Bandung) dengan dengan gamblang bahwa orang sudah keranjingan membaca surat-kabar, senang hidup bebas, dan berliburan. Ini semua menunjukkan bahwa masyarakat kolonial telah mempunyai kebutuhan baru. Tetapi di pihak lain Marco melukiskan bahwa kebudayaan Eropa yang bersinggungan dengan kebudayaan bumiputra menimbulkan persoalan demoralisasi dan dekadensi. Marco menggambarkan bagaimana kaum bumiputera juga telah mulai menyukai perjudian, melacurkan diri, main perempuan, minum dan sebagainya. Karya ini menjadi ajang pertempuran dan ketegangan ide Marco. Setelah terbit, Mata Gelap mendapat tanggapan dari pembacanya dan juga menjadi bahan perdebatan. Apa yang menjadi perdebatan dan bagaimana pengaruh perdebatan itu bagi para pembaca bumiputra juga akan menjadi fokus penelitian. Dalam karya lainnya, Student Hidjo, yang menceritakan perjalanan Hidjo, seorang pelajar HBS yang melanjutkan sekolah ke Negeri Belanda. Waktu di Jawa ia sudah bertunangan, tetapi setelah tinggal di Belanda ia tertarik pada gadis Belanda. Tema dalam Student Hidjo adalah tema umum pada masanya, yang ternyata masih bisa juga menjadi bahan untuk sepuluh-duapuluh tahun kemudian: orang muda (student) Indonesia, yang pergi belajar ke Belanda, sudah punya tunangan, tapi di tanah dingin sana kemudian jatuh cinta pada gadis kulit putih.53)
Sebaliknya Sair Sama Rasa dan Sama Rata, merupakan kumpulan syair yang mengkritik negara kolonial dan sekaligus menggambarkan kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat kolonial. Dari ketiga karya fiksinya ini nampak ia masih dilingkupi oleh pemikiran Multatuli, artinya semangat dan bangunan pikirannya senantiasa meledak-ledak dalam melihat ketimpangan dan ketidak-adilan kolonial. Selain itu, ia selalu memberi sub-judul "kedjadian jang benar-benar terdjadi di tanah Djawa". Ungkapan ini juga harus dilihat sebagai hasil bagaimana ia memandang struktur masyarakat kolonial. Makna ungkapan ini sangat penting, karena perkataan "kedjadian jang benar-benar terdjadi di tanah Djawa" adalah ungkapan pengalaman praktek politik penulis atau lebih luas lagi pengalamannya ketika mengamati perubahan sosial yang terjadi pada awal abad ke-20. Ini sangat berbeda dengan karya terakhirnya Babad Tanah Djawi, di mana ia melakukan penelitian terhadap karya-karya sarjana Belanda yang menelaah babad. Dalam karyanya yang terakhir ini nampak puncak ketegangan dalam pemikirannya, yaitu saat ia melakukan putus hubungan dengan cara pikir Multatulian, dan menuju ke pemikiran yang lebih radikal. Yang menjadi pertanyaan untuk penelitian ini apakah dalam Babad Tanah Djawi ia mempunyai obsesi untuk membongkar dan menjungkir balikkan cerita-cerita babad yang ditulis oleh sarjana-sarjana Belanda untuk memperkuat legitimasi kekuasaan kolonial? Dalam bagian pengantar jelas disebutkan bahwa ia ingin "mengambil kembali" masa lalu orang Jawa yang selama ini ada di tangan orang Belanda. Caranya adalah dengan menulis ulang babad-babad.
Bagaimanapun, sebagai seorang penulis dan pemimpin pergerakan, Marco tidak lepas dari proses belajar untuk memahami kekuasaan kolonial. Dalam novel Mata Gelap, Marco menunjukkan kejadian-kejadian yang melukiskan betapa kompleksnya pengaruh pemikiran Barat dalam masyarakat tanah Jawa di bawah kapitalisme pada awal abad ke-20. Mata Gelap harus dibaca dengan teliti, sembari terus mengingat tahap-tahap pemikiran Marco pada saat itu. Pembacaan atas Mata Gelap kalau tidak dilihat sebagai produk dan dilepaskan dari politik zamannya, akan tampil sebagai sebuah bacaan "picisan".54)
Untuk membaca dan memahami tulisan seseorang harus dilihat perasaan dan pikiran si penulis, nafsu-nafsunya, kecenderungannya, impiannya, ketololan dan kekurangannya, kecerdasannya, kecerdikannya, pengetahuannya dan banyak hal lain yang jalin-menjalin seperti benang-benang kaca yang jernih. Ingin saya tekankan bahwa setiap tulisan mengandung dunia kenyataan dan dunia impian. Itu tahap pertama. Tahap kedua, memperlakukan bacaan sebagai sebuah senjata, sehingga dapat menimbang dunia-dunia kecil antara impian dan kenyataan itu, ibarat membidikkan sebuah peluru ke arah tertentu. Seandainya bobot pelurunya diarahkan ke negara kolonial atau pengusaha, maka akan timbul reaksi politik.55)
Mata Gelap menceritakan skandal hubungan antara seorang nyai yang bernama Retna Permata yang sedang ditinggal oleh majikannya ke Eropa dengan Soebriga yang bekerja sebagai seorang klerk (jurutulis) di sebuah perusahaan Eropa. Setting cerita mengambil tempat di Semarang dan Surabaya, yang kala itu merupakan pusat kantor-kantor dagang dan industri beberapa negeri metropolis, dan juga di tempat peristirahatan di sekitar daerah Parahiangan. Untuk mempertajam pembacaan terhadap Mata Gelap, perlu dipertanyakan mengapa Marco memilih kota pusat perdagangan, industri dan tempat peristirahatan sebagai setting novelnya? Dan yang juga penting, kenapa Marco memberi nama Mata Gelap untul novel tersebut? Jawaban yang pertama berkaitan dengan dicanangkannya open deur politik (politik pintu terbuka) pada tahun 1904, kekuatan-kekuatan modal metropolis, terutama Inggris, Prancis, Amerika Serikat yang berhasil mencairkan politik perdagangan eksklusif pemerintah Hindia Belanda. Kekuatan modal metropolis serta perusahaan Belanda sendiri lebih menyukai menancapkan kakinya di kota-kota pelabuhan seperti Surabaya dan Semarang. Alasannya jelas karena transportasi dan sarana modern lainnya lebih memadai. Selain itu kedua kota besar inilah yang pertamakali berbenturan dengan gagasan modern yang berasal dari Eropa, baik dalam surat kabar, novel, teater dan praktek kebudayaan lainnya. Sedangkan soal yang kedua berkaitan dengan hasil praktek kebudayaan Eropa tersebut yang menguasai tata-pergaulan kaum bumiputera. Pada satu pihak, Marco menjelaskan bahwa gagasan modern yang berasal dari Eropa dan dipraktekkan di Hindia Belanda mengajarkan hal yang modern, seperti kalangan pedagang dan pegawai rendahan perusahaan swasta mulai keranjingan membaca koran, buku, mengenal waktu dan jadwal dan melakukan plesiran dan beristirahat sebagai yang dilakukan oleh pengusaha-pengusaha Eropa.56)
Tetapi di pihak lain, ia melukiskan sisi negatif dari praktek kebudayaan tersebut di Hindia, yaitu kehidupan seks yang bebas, seperti Soebriga, sebagai seorang yang bermata gelap, yang bukan hanya melakukan hubungan intim dengan nyai Retna Permata, tapi juga dengan Retna Poernama, adiknya Retna Permata.
Kembali kepada tahap kedua dalam membaca tulisan seseorang, yakni harus menimbang ke arah mana peluru Mata Gelap-nya Marco ditujukan. Karangan ini ditujukan kepada perusahaan surat kabar Tjhoen Tjhioe yang terbit di Surabaya. Akibatnya suratkabar Tjhoen Tjhioe bereaksi dan terjadi perselisihan yang hebat antara jurnal Doenia Bergerak yang di pimpin Marco dengan suratkabar Tjhoen Tjhioe.
Apa yang sebenarnya yang menyebabkan surat kabar Tjhoen Tjhioe begitu berang terhadap Mata Gelap? Hal ini dapat dibaca dalam surat kabar Tjhoen Tjhioe sebagai berikut:
Ini hati kita trima satoe boekoe tjerita, jang pake nama Mata Gelap, terkarang oleh M. Marco, Redacteur Doenia Bergerak di Solo. Sabetoelnja itoe boekoe ada begitoe renda deradjatnja, hingga bermoela kita tida ada ingetan boeat bitjaraken isinja di ini soerat kabar. Tetapi sebab di sitoe penoelisnja soeda terlaloe njataken ia poenja pembrasa'an renda pada orang Tionghoa, kita merasa terpaksa djoega toelis ini recensie, dengan perminta'an, soepaja toean Marco, kalo dibelakang hari menoelis lagi satoe boekoe, djanganlah ia bikin orang Tionghoa djadi sakit hati seperti sekarang ia soeda bikin, antara mana di dalem kalimat: "Bah! minta stroop ijs,". Ingetlah, bangsa Tionghoa ada satoe bangsa manoesia djoega, hingga tida pantes kaloe toean Marco pandang begiote renda pada marika.... Orang Tionghoa merasa dan mengakoe, di ini djadjahan ia orang ada seperti orang menoempang dan memang ingin hidoep roekoen dan demi dengan orang Boemipoetra. Tetapi orang Boemipoetera, seperti toean roema, djoega haroes oendjoek itoe kahormatan dan perendahan pada orang Tionghoa, seperti diantara orang-orang sopan, toean roema memang wadjib oendjoekkan pada tetamoenja
Isinja itoe boekoe ada begitoe tida berharga, hingga kita merasa sajang kaloe moesti boeang lebi banjak lagi dari kita poenja tempo, boeat menoelis lebi djaoeh tentang itoe. Kita hendak kirim poelang boekoe itoe pada penoelisnja, tetapi merasa sajang boeat itoe 2 1/2 cent jang kita bajar boeat porto. Djadi boeang sadja di dalem krandjang kotor. Memang di sitoe, menoeroet haroesnja, itoe boekoe mesti dapet tempat.57)
Penegasan dari pihak Tjhoen Tjhioe sebenarnya mengandung tiga hal dan keberatan mereka terhadap Mata Gelap-nya Mas Marco. Tulisan kemudian mendapat balasan yang cukup tegas pula dari Mas Marco:
Itoe perkataan tidak saja doeloe telah lazim boeat seseboetan atau memanggil bangsa Tjina, djoega sampe sekarang itoe perkataan misih kami pakai boeat memanggil bangsa Tjina yang tidak soeka kami panggil Babah atau Bah? O! tidak ada. Sebab kalau kami bertjampoer gaoel dengan orang Tjina, itoe seboetan selaloe kami goenakan, en toch tidak ada seorang yang menjangkal.
Apakakah koerang tjoekoep orang Djawa menghormati tetamoenja?! Apakah orang Djawa koerang Tjoekoep menoendjoekkan keroekoenannja kepada tetamoenja?! Apakah orang Djawa koerang rendah dan mengalah?!
Kalau kami menjeboet Babah of Bah atau menjebut orang Tjina dikata: menghina kepada itoe bangsa, sesoenggoehnja kami tida mengerti. Apakah sebabnja dikaart (Atlas) misih selaloe ditoelis: China (Tjina Mal of Jav)?
Kalau betoel-betoel toean tamoe tidak mengharap perselisihan dengan toean romah, kami harep ini perkara djangan dibikin pandjang. Ingatlah, ini waktoe, waktoe jang koerang baik diseloeroeh doenia.... Lain roepa kalau toean tamoe tjari-tjari perkara dengan toean romah, itoe lain perkara. Kalau toean tamoe tidak dapat hidoep roekoen dengan toean romah, seharoesnja kami toean romah mendjalankan bagaimana adilnja.58)
Perdebatan ini terus berkepanjangan hingga menjadi perselisihan soal kebangsaan atau nasionalisme, antara nasionalis Jawa berdasarkan versi Marco dengan nasionalisme bangsa Tionghoa. Kalau kita perhatikan konteksnya, perdebatan ini berkaitan dengan kebangkitan nasional bangsa Hindia dan kebangkitan nasionalis Tionghoa. Pada tahun 1911 banyak pelarian kaum muda nasionalis Tionghoa ke Hindia Belanda. Gelombang pelarian ini tiba di Hindia Belanda secara gelap dan mereka menyebar ke beberapa tempat, terutama Surabaya, Semarang dan Batavia. Mereka datang ke Hindia untuk mengabarkan kepada orang-orang Tionghoa lainnya bahwa sedang terjadi perubahan besar di Tiongkok. Namun aktivitas mereka mendapat rintangan yang cukup besar baik dari negara kolonial maupun golongan Tionghoa lainnya yang tidak menginginkan perubahan di Tiongkok.
Rupa-rupanya perdebatan ini tidak kunjung selesai, sebab baik dari pihak Doenia Bergerak maupun Tjhoen Tjhioe tidak dapat menerima masing-masing posisi. Marco dengan Mata Gelap-nya langsung mengarahkan serangan terhadap pengusaha-pengusaha Tionghoa yang berperan sebagai lintah darat yang terus-menerus mencekik petani bumiputra. Dan justru inilah yang merupakan hal pokok dari keberangan pihak Tjhoen Tjhioe.
Mata Gelap dijual dengan harga f.0,5 tiap jilidnya dan dicetak oleh Insulinde Drukkerij di Bandung. Pendistribusiannya melalui toko-toko buku milik beberapa perusahaan suratkabar, seperti Kaoem Moeda, Sinar Djawa, Warta Perniagaan, Taman Pewarta, Tjahja Sumatra dan Sarotomo. Mata Gelap terjual hampir mencapai 500 eksemplar.60)
Mata Gelap idenya sangat dipengaruhi gagasan Tirto dalam karyanya, "Cerita Nyai Ratna", yang merupakan karya Tirto yang diumumkan secara bersambung di Medan Prijaji pada tahun 1909. "Cerita Nyai Ratna" dilatar belakangi kehidupan kota-kota modern kolonial, seperti Bandung, Batavia dan Buitenzorg, di mana kota-kota tersebut menjadi tempat tinggal para pengusaha perkebunan gula. Nyai Ratna adalah salah satu gundik seorang pengusaha perkebunan yang pada saat itu ditinggal pergi oleh tuannya ke Eropa, sehingga ia jadi rebutan kaum muda di kota Bandung. Kalau ditilik lebih teliti cerita ini melukiskan keadaan orang untuk mendekati seorang Nyai harus mempunyai _power_, dalam pengertian ia harus mempunyai pengetahuan Eropa, seperti membaca koran, buku, dan sudah tentu harus punya uang.
Pada masa-masa awal pertumbuhannya produksi "bacaan liar" tidak mendapat rintangan yang berarti dari negara kolonial. Tapi ada perkecualian untuk tulisan Soeardi Soerjaningrat "Seandainya Saya Seorang Belanda," yang ditulisnya dalam rangka menyambut perayaan bebasnya Nederland dari kekuasaan Prancis. Dalam menulis karangan tersebut Soeardi dibantu oleh kedua sahabatnya, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Tulisan ini diumumkan dalam suratkabar Indissche Partij, De Expres, yang saat itu tirasnya mencapai 1.500.
Bacaan ini ditujukan kepada dua pihak, yakni kekuasaan kolonial dan rakyat Hindia. Gugatan di atas dianggap menghina kekuasaan kolonial, meskipun disampaikan dengan bahasa Belanda yang indah, penuh perasaan, murni dan mengharukan Nederlanders als Kolonialen. Dan gugatan yang membikin panas telinga pejabat kolonial inilah yang menggiring Soeardi, Douwes Dekker dan Tjipto ke kandang singa kolonial, De Exorbitante Rechten.63)
"Bacaan Liar" Dalam Panggung Politik Pergerakan
Pada awalnya negara kolonial tidak begitu keras menghalangi produksi bacaan liar, dalam pengertian tidak dilakukan pelarangan tehadap produksi bacaan liar. Hal ini berkaitan dengan politik etis kolonial Belanda di Hindia yang mau "membimbing" rakyat jajahan memasuki dunia modern. Negara kolonial Belanda memang tidak melarang bacaannya, tetapi menyekap para pengarangnya di penjara melalui alat-alat kolonialnya, seperti pasal 161 dan 171 bis serta pasal 153 bis dan ter. Undang-undang kolonial ini menyatakan "barang siapa dengan sengaja menyiarkan kabar bohong dan menimbulkan kabar yang meresahkan di kalangan rakyat akan dikenakan hukuman penjara maksimum 5 tahun atau denda 300 rupiah".65)
Tetapi dalam kenyataannya kebijaksanaan negara kolonial ini jarang dilakukan secara ekstrem. Marco, Semaoen, Darsono atau yang lainnya tidak pernah dihukum selama 5 tahun, tapi rata-rata hukumannya antara 1 sampai 2 tahun. Semangat politik etis maunya dijadikan simbol netralitas negara kolonial terhadap kaum pergerakan sepanjang mereka tidak menentang kekuasaan kolonial. Politik Etis juga mengemban kepentingan menjinakkan pergerakan--agar tidak cenderung mengarah pada radikalisme.
Namun demikian dalam struktur kelas masyarakat kolonial yang penuh ketimpangan. Tentu kelas yang tersubordinasi akan melakukan reaksi terhadap kekuasaan kolonial tersebut. Tapi negara kolonial dapat mengontrol atau menghambat praktek gagasan yang berasal dari luar, seperti vergadering (pertemuan), sosialisme, nasionalisme, imperialisme, demokrasi, kapitalisme, pemogokan dan seterusnya. Contoh yang paling baik adalah "Soerat Perlawanan Persdelict" yang dilancarkan oleh Marco. Di situ ia tetap memegang prinsipnya "Berani karena benar takoet karena salah", sebagaimana ia rumuskan perlawanannya sebagai berikut:
... disitoe saja hanja memoedji kebraniaan, tetapi boekan bolehnya mmelakoekan pekerdjaan yang disertai dengan keberanian (durven) itoe. Semoea orang mempoenjai keberaniaan, itoelah saja katakan mempoenjai kemanoesiaan. Djadi dengan singkat, kemanoesiaan sama dengan keberaniaan.
Sepandjang faham saja, keberanian itoe tidak djahat dan djoega tidak baik. Karena itoe kebraniaan tergantung dari pekerdjaan jang didjalankan seperti: berani mati (ada keberanian boeat mati); Brani menoeloeng orang (ada kebraniaan boeat menoeloeng orang) begitoe seteroesnja. Djadi terang sekali kebraniaan itoe tergantoeng pekerdjaan jang dilakoekan.66)


)

Tulisan-tulisan politik Darsono ini tidak hanya merupakan sebuah pengadilan terhadap politik kolonial Belanda yang dianggapnya sebagai racun bagi kaum kromo. Sikapnya lebih jauh merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebangkitan rakyat jajahan. Artinya ekses-ekses pergerakan seperti, penyelewengan, kompromi terhadap negara kolonial, pembuangan, keberanian mengambil sikap, berani dalam fikiran menentang kebijakan negara kolonial, perbedaan dengan orang-orang pergerakan, dapat diteropong dari tulisan-tulisan pemimpin pergerakan. Produk "bacaan liar" lebih diradikalkan terutama akibat pengaruh Revolusi Russia 1917, kemenangan ini diekspos oleh Sneevliet dengan karangannya yang berjudul Zegepraal (diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Semaoen). Tulisan ini bercerita tentang keberhasilan revolusi Bolshevik yang gaungnya akan membawa pengaruh besar di Hindia Belanda. Karangan Sneevliet lainnya, yang juga berpengaruh dalam menyinari kesadaran kolektif pergerakan adalah Kelaparan dan Pertoendjoekan Koeasa. Karangan ini kemudian diterjemahkan oleh Semaoen ke dalam bahasa Melayu. Akibatnya, Semaoen harus masuk penjara selama 2 bulan. Hal penting yang diajarkan oleh Sneevliet adalah sebuah sikap bahwa "soldadoe mesti brani mati, tetapi misti brani mati djoega boeat keperloeannja sendiri dan keperloeannja kaoem dan bangsanja, orang ketjil."91) Adapun maksud karangan ini adalah: pertama, untuk mengkritik perkara kelaparan, akibat kebijakan kolonial yang lebih mendahulukan kepentingan pemilik modal dan menomer duakan soal makanan bagi rakyat jajahan; kedua, mencela pengerahan balatentara untuk menanggulangi bahaya kelaparan. Untuk itu ia mengajak balatentara supaya bersatu hati dengan rakyat dan bekerjasama demi keselamatan umum; ketiga, Sneevliet meramalkan bahwa bahaya kelaparan sulit untuk dipecahkan oleh negara kolonial, yang pada kenyataannya telah menimbulkan pencurian, perampokan ataupun tindakan kriminal lainnya. Dari pemaparan di atas Sneevliet secara langsung mulai mempengaruhi bagaimana bacaan dapat menjadi instrumen politik untuk kesadaran kolektif masyarakat kolonial.

Bersamaan dengan munculnya organisasi-organisasi politik, di bidang kebudayaan pun berkembang sastra pembebasan hasil karya aktivis-aktivis pergerakan juga seperti Semaun, Mas Marco.

Resensi :.
16 September 2003 4:56
Student Hidjo, Epos : "Bacaan Liar" dan Perjuangan Mas Marco.


.
.
Peran Penerbit
Penerbitan buku-buku yang mendukung perjuangan pembebasan di Indonesia punya sejarah yang panjang. Sejak akhir abad ke-19, terutama di Jawa, tumbuh penerbit dan percetakan milik orang Tionghoa Peranakan dan Indo-Eropa yang menerbitkan sekitar 3.000 judul buku, pamflet, dan terbitan lainnya sebelum kemerdekaan. Beberapa orang bumiputra yang magang di penerbitan ini kemudian tumbuh menjadi jurnalis dan penerbit sekaligus, seperti Mas Marco Kartodikromo yang kemudian menulis Novel Student Hidjo pada awal abad ke-20 ini.
Pada 1906 pemerintah kolonial mengubah peraturan mengenai sensor. Sebelumnya, setiap penerbit diharuskan menyerahkan naskah kepada penguasa sebelum dicetak, sehingga bisa disunting, diubah atau bahkan dilarang sebelum beredar. Namun peraturan yang baru menetapkan sensor represif, yakni pembatasan terhadap barang cetakan setelah diedarkan oleh penerbitnya. Dalam waktu singkat berdiri sejumlah penerbit bumiputra, yang menerbitkan surat kabar, majalah dan buku serta pamflet. Marco Kartodikromo kemudian menjadi penulis dan redaktur surat kabar Doenia Bergerak, yang tidak segan-segan mengkritik tatanan kolonial secara terbuka. Karena tulisan-tulisan kritis dan surat pembaca yang dimuat di dalam surat kabar ini, Mas Marco pada awal tahun 1925 dituntut di pengadilan. Oleh penguasa imperialis Belanda, Marco dikenai tuduhan persdelicten. Mas Marco kemudian dipenjara.
Produksi bacaan semakin marak ketika para penerbit bersinggungan dengan dunia pergerakan yang juga sedang tumbuh. Bukan hanya organisasi pemuda seperti Boedi Oetomo yang mulai menerbitkan pikiran mereka, tapi juga serikat-serikat buruh, anak-cabang organisasi rakyat seperti Sarekat Islam, perhimpunan ulama dan kaum perempuan. Surat kabar memang bentuk yang paling populer, tapi banyak juga karya-karya sastra dalam bentuk buku dan pamflet yang diedarkan. Bentuk terakhir biasanya dipilih oleh penerbit kecil karena disamping biaya produksinya lebih murah, harga jualnya juga bisa dijangkau oleh rakyat kebanyakan yang menjadi sasaran buku-buku semacam ini.
Di dalam pergaulan antara penerbit dan pergerakan inilah muncul buku-buku yang isinya mengecam kekuasaan kolonial dan sistem kapitalisme yang menjadi landasannya. Di kalangan pergerakan sendiri tumbuh kesadaran bahwa rakyat bumiputra yang menginginkan kebebasan harus memproduksi sendiri bacaannya, karena sudah terlalu lama dijajah pikirannya oleh penguasa kolonial. Marco Kartodikromo adalah orang yang paling produktif dalam menghasilkan "bacaan liar". Karya-karya yang dikenal adalah Mata Gelap, yang terdiri dari tiga jilid yang diterbitkan di Bandung pada 1914; Student Hidjo diterbitkan tahun 1918; Matahariah diterbitkan tahun 1919; Rasa Mardika diterbitkan tahun 1918, kemudian dicetak ulang pada tahun 1931 di Surakarta. Marco juga menerbitkan sekumpulan syair, Sair Rempah-rempah terbit di Semarang pada 1918 dan Sair Sama Rasa Sama Rata terbit di surat kabar Pantjaran Warta tahun 1917. Kemudian Babad Tanah Djawi yang dimuat di jurnal Hidoep, tahun 1924-1925.
Dari karya-karyanya ini, belum lagi dari karya jurnalisnya, tampak ketegangan-ketegangan dalam cara berpikirnya. Untuk mengetahui ketegangan-ketegangannya kita perlu membaca teks-teksnya secara teliti, yakni dengan menelusuri alur cerita, karakter, dan bahasa yang digunakannya. Sebagai contoh, dalam Mata Gelap ia melukiskan hal-hal modern yang terjadi di tanah Jawa (terutama Semarang dan Bandung) dengan gamblang bahwa orang sudah keranjingan membaca surat kabar, senang hidup bebas, dan berliburan.
Ini semua menunjukkan bahwa masyarakat kolonial telah mempunyai kebutuhan baru. Tetapi di pihak lain Marco melukiskan bahwa kebudayaan Eropa yang bersinggungan dengan kebudayaan bumiputra menimbulkan persoalan demoralisasi dan dekadensi. Marco menggambarkan bagaimana kaum bumiputera juga telah mulai menyukai perjudian, melacurkan diri, main perempuan, minum dan sebagainya. Karya ini menjadi ajang pertempuran dan ketegangan ide Marco.
Mata Gelap
Mata Gelap menceritakan skandal hubungan antara seorang nyai yang bernama Retna Permata yang sedang ditinggal oleh majikannya ke Eropa dengan Soebriga yang bekerja sebagai seorang klerk (juru tulis) di sebuah perusahaan Eropa. Seting cerita mengambil tempat di Semarang dan Surabaya, yang kala itu merupakan pusat kantor-kantor dagang dan industri beberapa negeri metropolis, dan juga di tempat peristirahatan di sekitar daerah Parahiyangan.
Dalam novel itu Marco menjelaskan bahwa gagasan modern yang berasal dari Eropa dan dipraktekkan di Hindia Belanda mengajarkan hal yang modern, seperti kalangan pedagang dan pegawai rendahan perusahaan swasta mulai keranjingan membaca koran, buku, mengenal waktu dan jadwal dan melakukan plesiran dan beristirahat sebagai yang dilakukan oleh pengusaha-pengusaha Eropa. Tetapi di pihak lain, ia melukiskan sisi negatif dari praktik kebudayaan tersebut di Hindia, yaitu kehidupan seks yang bebas, seperti Soebriga, sebagai seorang yang bermata gelap, yang bukan hanya melakukan hubungan intim dengan Nyai Retna Permata, tapi juga dengan Retna Poernama, adik Retna Permata.
Sebaliknya Syair Sama Rasa dan Sama Rata, merupakan kumpulan syair yang mengkritik negara kolonial dan sekaligus menggambarkan kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat kolonial. Dari ketiga karya fiksinya ini tampak ia [masih] dilingkupi oleh pemikiran Multatuli, artinya semangat dan bangunan pikirannya senantiasa meledak-ledak dalam melihat ketimpangan dan ketidak-adilan kolonial. Selain itu, ia selalu memberi sub-judul "kedjadian jang benar-benar terdjadi di tanah Djawa". Ungkapan ini juga harus dilihat sebagai hasil bagaimana ia memandang struktur masyarakat kolonial. Makna ungkapan ini sangat penting, karena perkataan "kedjadian jang benar-benar terdjadi di tanah Djawa" adalah ungkapan pengalaman praktik politik penulis atau lebih luas lagi pengalamannya ketika mengamati perubahan sosial yang terjadi pada awal abad ke-20.
Ini sangat berbeda dengan karya terakhirnya Babad Tanah Djawi. Karya ini adalah hasil penelitian atas karya-karya sarjana Belanda, khususnya Prof Veth, yang menelaah babad. Dalam karyanya yang terakhir ini tampak puncak ketegangan dalam pemikirannya, yaitu saat ia melakukan putus hubungan dengan cara pikir Multatulian, dan menuju ke pemikiran yang lebih radikal. Yang menjadi pertanyaan untuk penelitian ini adalah apakah dalam Babad Tanah Djawi ia mempunyai obsesi untuk membongkar dan menjungkir- balikkan cerita-cerita babad yang ditulis oleh sarjana-sarjana Belanda untuk memperkuat legitimasi kekuasaan kolonial? Dalam bagian pengantar jelas disebutkan bahwa ia ingin "mengambil kembali" masa lalu orang Jawa yang selama ini ada di tangan orang Belanda. Caranya adalah dengan menulis ulang babad-babad.
Bagaimanapun, sebagai seorang penulis dan pemimpin pergerakan, Marco tidak lepas dari proses belajar untuk memahami kekuasaan kolonial. Dalam novel Mata Gelap, Marco menunjukkan kejadian-kejadian yang melukiskan betapa kompleksnya pengaruh pemikiran Barat dalam masyarakat tanah Jawa di bawah kapitalisme pada awal abad ke-20.
Untuk membaca dan memahami tulisan seseorang harus dilihat perasaan dan pikiran si penulis, nafsu-nafsunya, kecenderungannya, impiannya, ketololan dan kekurangannya, kecerdasannya, kecerdikannya, pengetahuannya dan banyak hal lain yang jalin-menjalin seperti benang-benang kaca yang jernih. Ingin ditekankan di sini bahwa setiap tulisan mengandung dunia kenyataan dan dunia impian. Proses ini adalah tahap pertama. Tahap berikutnya ialah memperlakukan bacaan sebagai sebuah senjata, sehingga dapat menimbang dunia-dunia kecil antara impian dan kenyataan itu, ibarat membidikkan sebuah peluru ke arah tertentu. Seandainya bobot pelurunya diarahkan ke negara kolonial atau pengusaha, maka akan timbul reaksi politik.
Penutup

Dari karya-karya Mas Marco tersebut sebenarnya pelajaran apa yang bisa kita petik? Hampir dalam setiap tulisannya, ia terus-menerus menaikkan derajat bangsa Jawa yang telah dirampas dan dijajah oleh kolonialis Belanda. Tampak sekali bahwa ia sedang mengobarkan nasionalisme Indonesia, dalam hal ini ia memakai Jawa sebagai titik tolak perjuangannya. Jawa sebagai politik identitas kebangsaan.
[dari berbagai Sumber]
Solusi Hukum. com


Hasil-hasil karya mereka ditolak oleh kolonialisme dan dianggap sebagai bacaan liar. Akibatnya karya-karya ini tak dikenal dalam ajaran resmi sastra Indonesia. Ia berkembang dalam lingkaran diskusi kaum pergerakan dan juga sekolah-sekolah liar yang dibangun kaum pergerakan seperti Taman Siswa dan Budi Utomo yang kurikulumnya ditentukan sendiri tanpa mengacu pada kurikulum Belanda. Murid dari sekolah liar yang kemudian berhasil menjadi Maestro pelukis Indonesia dan juga bahkan menjadi guru bagi pelukis kerakyatan misalnya S Sudjojono.

Brita mencatat peranan Sudjojono dalam perkembangan seni Indonesia modern sebagai berikut:

(judul asli buku yang diterjemahkan ini adalah EXPOSING
SOCIETY'S WOUNDS Some Aspects of Contemporary Indonesian Art Sine
1966 karya Brita L. Miklouho Maklai; Monograph No. 5 1991 -
Flinders University Asian Studies. Brita adalah maha siswa
tamatan Flinders University Australia jurusan Asian Studies.
Tahun 1990 ia mendapat penghargaan dari Asian Study Council of
Australia atas risetnya tentang perkembangan seni rupa Indonesia
di Yogyakarta.)

Seorang pemuda pelukis didikan Taman Siswa , S Sudjojono, sangat
mempengaruhi arah perkembangan kesenian Indonesia modern. Ia
adalah pendiri kelompok pelukis nasionalis pertama, kadang-
kadang disebut sebagai bapak seni modern Indonesia, …

Sekolah liar dan sastra liar inilah yang menjadi tumpuan pengembangan Ideologi kemerdekaan dan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Puncak dari semua itu adalah pembrontakan 1926 yang menandakan bahwa rakyat-rakyat di nusantara tak lagi merangkak-rangkak dan melata di atas tanah sementara tuan-tuan penjajah berdiri dengan angkuh. Perlawanan nasional modern telah tumbuh menjadi kesadaran kolektif rakyat Indonesia. Walau ditumpas, perlawanan itu tak surut. Kaum revolusioner bergerak di bawah tanah dan partai-partai dengan nafas nasionalis kerakyatan tumbu, silih berganti mengambil tempat: PNI, Partindo..gerindo…

1937, PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) didirikan . Sudjojono sebagai pelopornya menyatakan berusaha memadukan gerakan seni dan nasionalisme radikal, yang menjadi sandaran menuju sosialisme, dan pencarian identitas Indonesia. Katanya:
Seniman baru tidak hanya melukis gubuk-gubuk indah, gunung biru,
gambar-gambar yang romantis dan hal-hal yang manis, tetapi juga
pabrik gula dan petani yang kurus, motor- motor orang kaya dan
celana panjang pemuda-pemuda miskin; sandal-sandal, baju dan
jaket orang-orang di jalan...Ini adalah kenyataan kita. Tempat di
mana seniman berada...yang tak mencari keindahan pada yang kuno-
kuno -Majapahit atau Mataram- atau dalam dunia mental para
pelancong, ia akan terus hidup selama dunia ini ada. Karena
kesenian yang tinggi adalah kesenian yang bersumber pada
kehidupan sehari-hari kita yang diselami dan diubah oleh seniman
sendiri, dan kemudian mencipta seni tidak boleh mengikuti
pandangan kelompok atau menjadi tangan partai ini atau itu. Ia
harus sungguh-sungguh merdeka, yang membebaskan diri dari
belenggu atau tradisi agar subur dan hidup... 7)


Atas nama PERSAGI , Soedjojono menegur Poedjangga Baroe
yang hanya memberi sedikit perhatian kepada seni rupa dalam
wawasan kebudayaan nasional Indonesia. Ia bersikap menghargai
untuk mengadopsi nilai Barat ke dalam kesenian Indonesia kuno
dari Majapahit dan Mataram yang sudah mati. Hanya dengan belajar
teori dan praktek kesenian Barat seniman Indonesia merintis
kesenian modern, kembali ke kesenian tradisional yang terdapat di
kepulauan Indonesia. Dengan Agus dan Otto Djaya ia mempelajari
relief candi di Jawa - bukan untuk meniru motifnya tetapi untuk
menemukan kembali 'rasa keindonesiaan'. Bagi Soedjojono 'rasa'
adalah elemen hakiki dalam kesenian, lebih didahulukan daripada
teknik. Ia percaya 'rasa' ini bisa ditemukan dengan mempelajari
kesenian tradi sional di desa-desa dan pada kesenian anak-anak,
yang jiwanya tak terpengaruh oleh Belanda, ia merasa jiwa rakyat
Indonesia telah ditekuk-tekuk dan dirusak oleh pengalaman
kolonial. Dan itu merupakan tugas memurnikan kembali jiwa yang
telah terpolusi, kembali kepada kesederhanaan anak-anak atau
penduduk desa. Sementara dalam bentuk mengadopsi kesenian modern,
ia percaya lewat penemuan esensi 'rasa keindonesiaan', seniman
modern Indonesia akan bisa mengembangkan satu kesenian yang
sungguh-sungguh berwatak nasional.

Di Bawah Todongan Bayonet Jepang

Jepang datang menggantikan Belanda. Di samping penindasannya yang keji, Jepang juga memberikan pengaruh yang luas terhadap perkembangan bahasa Indonesia dan seni modern ke desa-desa. Pada masa ini berkembang bentuk-bentuk seni simbolik untuk melawan penindasan jepang. Seniman pro rakyat diawasi Kem pe tai dalam berkarya. Melalui Keimin Bunka Shideiso, Jepang mengorganisir pameran
karya seniman-seniman Indonesia, dan memberikan penghargaan,
sebagai bagian strategi mereka menumbuhkan rasa percaya diri
orang-orang Indonesia dan mereka melukis apa yang mereka
sodorkan sebagai 'kawasan kemakmuran Asia Timur Raya'. Walau begitu Pelukis nasionalis Affandi, dengan realisme yang meyakinkan
masih sanggup menggambarkan romhusa kerja paksa yang mengakibatkan rakyat
tinggal tulang berbungkus kulit itu dalam satu lukisan sebagai
tugas yang digunakan untuk propaganda. 10)
.

1945: Perombakan dan Nilai-Nilai Baru


Peranan Lekra

Pernyataan SKG sendiri pertama kali muncul dalam rubrik Cahier Seni dan Sastera yang juga bernama "Gelanggang" dari Majalah Siasat,3) edisi Oktober 1950. Redaksi ruang kebudayaan Gelanggang adalah Asrul Sani dan Rivai Apin. Sebelum diumumkan, Surat Kepercayaan ini sebelumnya pernah dibacakan dalam sebuah pertemuan budayawan dan intelektual di paviliun Hotel Indes Jakarta bulan Juni 1950.
Reaksi terhadap SKG baru muncul sekitar 13 tahun kemudian, lewat pemrasaran Pramoedya Ananta Toer di depan Seminar Fakultas Sastra Universitas Indonesia.11) Dalam makalah panjangnya (151 halaman dengan lampiran-lampiran), yang membahas tinjauan sosial Realisme Sosialis pada sastra Indonesia, Pram menganalisa perkembangan sastra Indonesia dan memasukkan di dalamnya SKG. Tanggapan Pram terhadap surat kepercayaan ini adalah hujatan. Baginya surat kepercayaan gelanggang tidak lebih dari manifestasi Humanisme Universal12) yang tidak lain merupakan kelanjutan dari politik etis kolonial. Subyektivitas dan kebebasan yang diagungkan justru membuatnya tertinggal oleh perkembangan jaman yang begitu pesat, mengurungnya dalam menara gading idealisme. Pretensi untuk selalu mencipta yang baru, avant-gardasme, menurut Pram adalah kesombongan merasa diri sebagai kelompok yang paling maju dalam masyarakat. Dalih untuk membedakan diri sejauh mungkin dari Rakyat.13)
Sekarang kita masuk pada manifesto kebudayaan kedua, Mukadimah Lekra, yang juga diluncurkan pada tahun yang sama dengan SKG. Mukadimah Lekra adalah naskah proklamasi pendirian sebuah organisasi kebudayaan, Lembaga Kebudayaan Rakyat, 17 Agustus 1950, tepat lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dari naskah inilah seluruh kerja-kerja kebudayaan Lekra dilandaskan. Lekra didirikan oleh sekitar 15 orang yang menyebut dirinya sebagai peminat dan pekerja kebudayaan di Jakarta. Pengurus awal yang kemudian menjadi anggota sekretariat pusat Lekra adalah A.S. Dharta, M.S. Ashar dan Herman Arjuna sebagai sekretaris I, II dan III. Dengan anggota: Henk Ngantung, Njoto dan Joebaar Ajoeb.
Mukadimah ini dibuka dengan pernyataan yang sangat keras, bahwa "Revolusi Agustus 1945 telah gagal!" Revolusi Agustus diyakini Lekra sebagai revolusi seluruh rakyat Indonesia dalam mencapai kemerdekaan total dari penjajahan, secara politis, ekonomi dan kultural. Dalam perjalanan lima tahun setelah proklamasi 17 Agustus 1945, kelanjutan revolusi Indonesia dianggap gagal. Perjuangan rakyat dalam menuntaskan revolusi, diputus dan dihambat, diganti dengan apa yang disebut dengan "perjuangan diplomasi", perjuangan yang dianggap meniadakan perjuangan dan pengorbanan rakyat selama revolusi Agustus 1945. Dalam laporannya pada kongres pertamanya di Solo, Sekretaris Umum Lekra Joebaar Ajoeb menyatakan:
Demikianlah, Lekra didirikan tepat 5 tahun sesudah Revolusi Agustus pecah, di saat revolusi tertahan oleh rintangan hebat yang berujud persetujuan KMB, jadi, di saat garis revolusi sedang menurun. Lekra didirikan untuk turut mencegah kemerosotan lebih lanjut garis revolusi, karena kita sadar, karena tugas ini bukan hanya tugas politisi, tetapi juga tugas pekerja-pekerja kebudayaan. Lekra didirikan untuk menghimpun kekuatan yang taat dan teguh mendukung revolusi. 15)


Sanggar dibentuk oleh seniman-seniman sesudah Revolusi lewat
pengalaman langsung hidup rakyat kecil dalam aroma nasionalisme
kerakyatan. Kesenian mereka, kata mereka, didorong oleh
kesadaran kerakyatan. 13) Ini maknanya lukisan berkomunikasi
dengan rakyat, ada perhatian yang langsung, seperti yang dengan
terus terang dinyatakan oleh Soedjojono,..Mereka tidak mengerti
kenyataan dari langit. Kenyataan mereka dari nasi. 14)

Kenyataan yang pahit diterima oleh rakyat kecil di tahun 1950,
setelah Indonesia mencapai kemerdekaan dan satu demok rasi
parlementer dibentuk, dengan Sukarno sebagai presiden pemersatu
Republik. Banyak pelukis melarat. Seniman-seniman sanggar mulai
menyusun garis politik dan diskusi politik dan strategi jadi
bagian kegiatan mereka. Kesadaran kerakyatan ekspresi dari
semangat Revolusi dipersatukan dalam ideologi kiri seperti pada
kelompok Seniman Indonesia Muda dan Pelukis Rakyat 15)
Sekitar 1950, para pelukis dan penulis kiri bertemu dengan Nyoto,
seorang senior dari Partai Komunis Indonesia, mereka berdiskusi
tentang peranan seni dalam perjuangan kelas. Nyoto menganjurkan
perpaduan antara tradisi besar realisme kritis dan romantisme,
untuk membuat kesenian yang menampilkan kenyataan sosial
(realisme) menuju ke proses perubahan revolusioner (romantisme).
Meskipun, definisi realisme sosial Nyoto terutama merujuk ke
bidang sastra, menjadi semacam panduan. 16) Khusus gaya dan
teknik sebagian besar tergantung pada masing-masing individu,
kritik adalah faktor yang menentukan komitmen seorang seniman,
karyanya didorong oleh kesadaran kerakyatan 17)) Selanjutnya
setelah pembicaraan tersebut kelompok pelukis-pelukis kiri
melihat seni adalah bagian yang sangat esensial dari perjuangan
kelas, dan sejalan dengan garis sosialis realisme.
Akibat luwesnya definisi sosialis realisme ini muncul lah beragam
gaya dari Soedjojono dengan kepekaan photorealis menya, sampai
bentuk-bentuk ekspresionis Affandi dan Hendra. Seniman lain,
seperti Harijadi S., lebih jauh mengembangkan aspek surealis dan
itu adalah yang pertama muncul dalam kese nian selama masa
Revolusi. Sama-sama hidup di bawah membuat mereka peduli pada
nasib rakyat kecil. Di Yogya, Sanggar men dorong dan memperkuat
rasa kepercayaan diri dan tanggung jawab sosial, mengajarkan
kesenian kepada seniman-seniman muda, dan antara 1950-an akhir
dan awal 1960-an berperan sebagai forum politik kesenian.

Sementara di Bandung model pengajaran kesenian sangat lain

Konstitusi Republik baru menjamin kemerdekaan artistik yang
ilmiah. Karena itu, pada tahun 1947 didirikanlah sekolah kesenian
yang mengambil lokasi di bekas tempat sekolah training
ilustrator, di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB). Sekolah
kesenian lain -ASRI (Akadamei Seni Rupa Indonesia) dibuka di
Yogya tahun 1950. Sementara di Bandung staff penga jarnya
beberapa di antaranya orang Belanda, yang mengembang kan satu
kurikulum yang condong kepada modernisme dan kesenian abstrak,
akademi yang Di Yogya terpengaruh oleh tradisi kerakyatan dan
nasionalisme yang berlangsung di lingkaran kesenian Yogya sejak
masa Revolusi. Para pengajar di sini mendorong inisiatif
individual dalam gaya keseniannya. Filosofinya bisa diringkas
dalam dua kata: cari sendiri. 18)
Tahun 1957, kedua sekolah berada di bawah kekuasan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Policy pemerintah pada tahun 1950
membantu perkembangan kreasi kesenian Indonesia dari elemen-
elemen kesenian lokal. Subsidi diberikan kepada seniman-seniman
terpilih untuk mendorong ekprimentasi, diberikan kesempatan
pertukaran seniman antar negara dan untuk belajar ke luar negeri.
Ketika seniman kembali mereka menda pat tugas memproduksi karya
seni di badan pelayanan pemerin tahan. 19)
Akibatnya, di antara dua sekolah kesenian yang dua basis nilainya
berbeda, dimulailah persaingan dua nilai keindahan. Persaingan
meningkat sampai pada garis politik, seperti pada debat
kebudayaan tahun 1960-an terpolarisasi ke dalam ideologi yang
bertentangan. Yogya, kubu Republik semasa Revolusi, mengambil
spirit kebangsaan menjadi bagian tradisi ASRI, dan mendorong
pencarian watak Indonesia, bebas dari dominasi kekuatan
eksternal. 20) Menjelang tahun 1960an, jumlah seniman-seniman
Yogya yang mengaku kiri semakin membesar. Banyak anggota LEKRA
(Lembaga Kebudayaan Rakyat), oraganisasi sayap kiri di bawah
naungan PKI, secara luas menyokong kelompok-kelompok seniman
seperti Pelukis Rakyat dan Seniman Indonesia Muda. Kelompok-
kelompok tersebut semakin dekat dengan LEKRA; anggota-anggotanya
yang trekemuka Sudjojono, Hendra Joni Trisno, Batara Lubis,
Surono dan Kusnadi. 21)

Penghancuran Budaya Pembebasan: 1965


Alexander Supartono
Skripsi STF Driyarkara, Jakarta 2000
Satu Mei
Ku tantang Kau
untuk berdansa
di tengah kobarnya Merah
………….
tak lama lagi
………….

maka carilah
Merah yang lebih merah dari darah
sejak sekarang

waktu langit kita
belum mulai tersipu
dan pijar yang ada
belum padam
.
ooo0ooo
Bab II: Patahan Teks dan Konteks: Empat Kertas Kebudayaan di Era Kemerdekaan
Alexander Supartono
"LEKRA vs MANIKEBU: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965."
Skripsi STF Driyarkara, Jakarta 2000
saya mempunyai hipotesis bahwa perdebatan kebudayaan pada periode 1950-1965 secara esensial tidak pernah ada. Dalam masing-masing pembahasannya, studi-studi tersebut secara secara tidak langsung menyatakan bahwa yang terjadi adalah pertarungan politik yang terjadi di wilayah kebudayaan.
.
Bab II: Patahan Teks dan Konteks: Empat Kertas Kebudayaan di Era Kemerdekaan
Alexander Supartono
"LEKRA vs MANIKEBU: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965."
Skripsi STF Driyarkara, Jakarta 2000
Berawal dari Diskusi: Terangkatnya Isu "Perdebatan Kebudayaan 1960-an"
Pemicunya adalah sebuah diskusi di Oncor Studio2) pada tanggal 17 Agustus 1993. Sitor Situmorang hadir dalam diskusi tersebut sebagai pembicara utama. Membahas esai panjang Goenawan Mohamad yang perrnah dimuat sebagai sisipan di Majalah Tempo edisi Mei 1988, yang berjudul "Peristiwa 'Manikebu': Kesusasteraan Indonesia dan Politik Tahun 1960-an". Esai tersebut oleh Goenawan yang hadir saat itu disebut sebagai: "semacam cerita pengalaman sendiri, tentang sebuah kejadian dalam kesusasteraan dan pemikiran di Indonesia pada tahun 1960-an awal." Dalam tulisan ini Goenawan Mohamad melihat kembali peristiwa tahun 1960-an dengan kaca mata yang sekarang, dengan konteks politik yang sama sekali berbeda, bahkan berlawanan. Karenanya Goenawan berusaha bersikap semoderat mungkin, mendudukkan semua permasalahan pada konteks yang seluas-luasnya. Sehingga orang bisa memahami, kemudian menerima, bagaimana kesusasteraan dan kebudayan secara umum pada masa itu berhubungan. Pada intinya Goenawan menampilkan ironi bahwa apa yang diperjuangkan mereka yang tertindas saat itu terulang lagi dengan korban yang terbalik, setelah rezim penguasa berganti. Tentang tulisan Goenawan ini, akan dibahas secara khusus nanti. Yang jelas sikap tersebut mendapat tentangan kedua belah pihak yang berseberangan pada saat itu
Sitor Situmorang, penyair dan bekas ketua LKN, sebagai pembahas menolak sikap Goenawan yang mengambil jarak dengan politik. Bagi Sitor berbagai peristiwa yang terjadi pada era 1960-an tidak bisa dilepaskan dari politik dan harus dilihat sebagai peristiwa politik, termasuk di wilayah kesusasteraan. Jadi berbagai tekanan yang dialami para sastrawan, cendekiawan dan seniman penandatangan Manifes Kebudayaan dan simpatisannya, bukanlah peristiwa sastra melainkan peristiwa politik.3) Bagi Sitor tekanan itu harus dilihat sebagai sebuah konsekwensi logis bila melibatkan diri dalam politik. Artinya pengumuman Manifes Kebudayaan 17 Agustus 1963 sendiri adalah sebuah peristiwa politik yang bermain di lapangan kebudayaan. Sehingga kalaupun harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di masa itu, Sitor ingin mempertanggung jawabkannya sebagai aktivis politik.4)
Kalau Sitor melihatnya dari sisi Manifes Kebudayaan, kebalikannya Taufik Ismail, salah satu penandatangan Manifes Kebudayaan yang juga hadir, melihat dari sisi para penentang Manikebu, dengan menuduh Sitor berusaha mencuci tangan dari apa yang pernah dilakukannya dulu. Terhadap tulisan Goenawan, Taufik Ismail kecewa karena banyak fakta yang tidak diungkap. Yaitu bagaimana dahulu kalangan penentang Manikebu yang dekat dengan kekuasaaan seperti LKN dan Lekra menganyang lawan-lawannya. Pada masa itu yang terjadi bukan lagi sekedar perdebatan sengit, tapi sudah sampai penghancuran satu sama lain.
).
2. Mukadimah Lekra 195014): Keberhasilan Revolusi Prasyarat Dasar Kelahiran Kebudayaan Indonesia Baru
Bagian pertama menjelaskan tentang dasar kebudayaan, yaitu kesenian, ilmu dan industri. Dalam masyarakat setengah jajahan, ketiga dasar tersebut masih dikuasai oleh kalangan elit penguasa. Maka tugas dari pekerja budaya yang bergabung dalam Lekra adalah mendemokratiskan kesenian, ilmu dan industri, mengembalikannya kepada rakyat agar bisa merata dinikmati bersama.
Bagian kedua tentang demokratisasi seni, ilmu dan industri yang hanya bisa dicapai lewat jalan revolusi demokrasi rakyat. Demokratisasi tersebut akan membawa Rakyat Indonesia pada sebuah Republik Demokrasi Rakyat, di mana kebebasan rakyat, secara individual dan nasional untuk berkembang mendapatkan jaminannya.
Bagian tiga, adalah penegasan bahwa yang dimaksud dengan rakyat adalah kelas buruh dan tani, sebagai kekuatan utama dari perjuangan rakyat dan golongan mayoritas dari rakyat Indonesia. Karena itu kebudayaan rakyat harus berfungsi, lewat pendidikan massa, sebagai pendorong yang selalu mengalirkan kesegaran jiwa dalam perjuangan menghancurkan feodalisme dan imperialisme, yang selama ini telah menindas kelas buruh dan tani.
Bagian empat berisi lima faktor yang merugikan perkembangan kebudayaan rakyat, karenanya harus ditolak: tidak adanya kesadaran kesatuan antara perjuangan buruh-tani dan perjuangan kebudayaan, pengaruh dari kebudayaan borjuis, sampai kurang terlibatnya golongan intelektual dan pemuda dalam gerakan buruh dan tani.
Bagian lima dari konsepsi kebudayaan rakyat mukadimah lekra ini cukup menarik. Karena secara substansial menyerukan hal yang sama dengan apa yang disuarakan oleh SKG. Sikap terhadap kebudayaan asing dan kebudayaan kuno yang harus tetap kritis, dan "tidak akan menjiplak secara membudak", mengambil unsur-unsur yang progresif dan meneruskan tradisi yang dapat meninggikan tingkat kebudayan Indonesia.
Bagian keenam adalah langkah-langkah strategis organisasional Lekra dalam mewujudkan seluruh cita-citanya, yaitu dengan bergabung bersama gerakan massa, memahami kultur massa dan menjadikannya senjata untuk melawan kebudayaan imperialis. Bagian ini ditutup dengan penegasan ulang tentang pentingnya sebuah lembaga kebudayaan rakyat, sambil mengajak semua golongan yang progresif dan patriotis untuk bergabung.
.
Hal ini bisa dipahami karena Mukadimah ini diluncurkan oleh sebuah organisasi kebudayaan. Dia dijadikan landasan dari seluruh gerak organisasi dan menjadi inspirasi dari setiap individu yang bergabung di dalamnya.. Karena itu di dalamnya dipertegas pandangan tentang kondisi sosial politis dan ekonomi dari masyarakat, bangsa dan negara di mana dia tumbuh: "Adalah kepastian bahwa dengan gagalnya Revolusi Agustus 1945, rakyat Indonesia suatu bahaya…" Berdasarkan pandangan tersebut ditentukan sikap sebagai pekerja kebudayan: "maka kami yang bersedia menjadi pekerja kebudayaan rakyat mempunyai kewajiban mutlak menghalau kebudayaan kolonial dan mempertahankan kebudayaan rakyat." Dan akhirnya langkah-langkah perjuangan direncanakan: "…menyelidiki masalah kultuur, serta menguasainya selaku pekerja kebudayaan rakyat, untuk dijadikan senjata perjuangan anti imperialisme".
Membawa topik Angkatan 45 dalam pembahasan sejarah kebudayaan modern Indonesia, kita tidak bisa lepas dari nama Chairil Anwar. Sosoknya melegenda menjadi tampilan (yang semakin) sempurna mewakili seluruh keberadaan Angkatan 45. Dan memang demikianlah yang ditumbuhkan selama ini. Chairil Anwar beserta keliaran, internasionalisme dan individualismenya dijadikan semangat utama Angkatan 45.
Pengkajian lebih dalam tentang konteks historis Angkatan 45, membuat segala image yang dibangun tentangnya bisa jadi menyesatkan. Produksi kebudayaan yang dikategorikan pada angkatan ini, dengan wakil utamanya Chairil Anwar, dan segala keterkaitannya dengan semangat revolusi pembebasan bangsa, sebenarnya adalah peleburan seni modernis dan kesusasteraan Eropa ke dalam budaya Indonesia.19) Lebih tegas dikatakan bahwa Chairil Anwar dan teman-teman sejamannya sebenarnya lebih dan telah memilih jalan Barat dan menganggap pengaruh budaya Barat yang universal itu sebagai cita-cita kemanusiaan universal, daripada berkutat pada pembangunan identitas nasionalisme bagi Indonesia muda. (Sastrowardoyo 1997, 24)
Pokok ini menjadi penting untuk dibicarakan sedikit lebih jauh karena posisi sentral Chairil Anwar sebagai representasi dari Angkatan 45. Kalau dua kertas kebudayaan di atas lahir dari angkatan ini, yang (sekali lagi) direpresentasikan oleh Chiril Anwar, maka pembahasan bagaimana sosok Chairil Anwar dipahami dari sisi para penggagas SKG dan dari sisi para aktivis Lekra menjadi penting. Dari pandangan mereka terhadap Chairil Anwar, sikap masing-masing kelompok terhadap situasi jamannya bisa dilihat. Berdasarkan sikap ini, jawaban terhadap berbagai masalah yang tengah dihadapi saat itu dilandaskan.
Akhir dari Angkatan Pujangga Baru20) ditandai dengan terbitan terakhir majalah kebudayaan dan kesusasteraan dengan nama yang sama pada Januari-Februari 1942. Setelah itu, dimulailah cara penulisan baru yang kemudian menjadi berpengaruh dalam perkembangan kesusasteraan nasional Indonesia segera setelah perang berakhir.21) Saat inilah sosok Chairil Anwar muncul, sebagai pelopor kesusasteraan baru yang menjadi model dominan setelah tahun 1945. Chairil dianggap membawa semangat modern pada kesusasteraan Indonesia dan kebudayaan pada umumnya. Semangat yang kemudian diperkenalkan sebagai "Humanisme Universal".. Kalau Chairil dianggap membawa semangat ini di wilayah kebudayaan, maka penelusuran tentang konsep ini bisa dilacak lewat apa yang disebut sebagai "lingkaran Sjahrir", ke mana Chairil Anwar lari dari ketidakbahagiaan kehidupan pernikahan ibunya di Medan tahun 1942.
John Legge memberikan gambaran jelas tentang watak budaya intelektual yang tumbuh di sekitar Sjahrir sejak kepulangannya dari pengasingan di Banda Neira. Nasionalisme yang berkembang pada kelompok ini bersandar pada konsep sosial-demokratis, lengkap dengan pemikiran sosial, politik dan kulturalnya. Dalam pamflet yang ditulisnya, Sjahrir selain menegaskan sikapnya yang anti-fasis dan anti komunis, juga menjelaskan garis sosialisme yang dianut dan dikembangkannya di Indonesia, yakni bersandar pada penafsiran Marxisme yang longgar terhadap hakekat logika kolonialisme dan imperialisme.22) Dari sinilah bisa dimengerti mengapa Chairil dan kelompok senimannya mau menerima bantuan finansial dari Belanda untuk menerbitkan majalah budaya Gema Suasana pada awal 1948.23)
Dari salah satu surat-suratnya dari penjara yang dikumpulkan Legge, Sjahrir menyatakan sikap yang "penuh dengan anggapan yang meremehkan keterbelakangan masyarakat Indonesia":
Kami, para intelektual merasa lebih dekat dengan Eropa dan Amerika ketimbang dengan Borobudur atau Mahabharata, ataupun dengan budaya Islam yang primitif di Jawa dan Sumatra. Mana yang menjadi landasan kami, Barat ataukah dasar-dasar budaya feodal yang hingga kini masih terdapat dalam masyarakat Timur kita?" 24)
Berangkat dari sikap di atas, maka sikap kebudayaan yang muncul dalam SKG terasa lebih berwarna internasional dengan memilih "Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia…" sebagai kalimat pembuka. Sajak-sajak Chairil, terutama yang ditulis setelah masa perang kemerdekaan, penuh dengan kebaruan dan semangat internasional (Eropa), baik dari segi bentuk maupun dari semangat yang dibawa lewat isi. Kebaruan ini menurut Keith Foulcher bisa ditelusuri sumbernya pada simbolisme Perancis. Chairillah orang pertama yang mereproduksi gagasan Eropa tentang Modern ke dalam sastra bahasa Indonesia. Beberapa nada meratapi diri sendiri, peote maudit, muncul dominan dalam karya-karya Chairil. (Foulcher 1991, 16)
Sementara itu sikap kalangan Lekra terhadap Chairil dan Angkatan 45 secara keseluruhan lebih beragam, mulai dari AS Dharta yang menyatakan bahwa angkatan 45 sudah mampus sampai penerimaan Chairil sebagai bagian dari Angkatan 45, dari mana Lekra juga berasal. Pada dasarnya secara organisasional Lekra tidak mengeluarkan sikap resminya tentang Chairil atau Angkatan 45 secara umum. Jadi sikap yang muncul dari kalangan mereka ini haruslah dianggap sebagai sikap orang perorangan.27) Kritik utama mereka terhadap Chairil adalah sikap individualis dan anarkisnya. Mereka menyayangkan vitalitas yang dibawa Chairil terlalu banyak disalurkan untuk melulu mengeksplorasi permenungan-permenungan individual. Mereka menyayangkan Revolusi sebagai perjuangan kolektif tidak terdapat dalam karya-karya Chairil.
Walau demikian orang seperti Joebaar Ajoeb, sekretaris umum Lekra, masih bisa menerima Chairil sebagai seorang revolusioner. Dia malah menyalahkan mereka yang melihat Chairil sebagai melulu individualis. Bagi Ajoeb puisi-puisi Chairil tetap bersikap, memihak terhadap revolusi walau penuh dengan pertentangan, drama dan romantisme. (Ajoeb 1990, 29) Unsur revolusi ini juga diterima oleh Bakri Siregar, kritikus sastra terkemuka dari Lekra, namun dia memilahnya dalam puisi-puisi tertentu seperti, "Kerawang Bekasi", "Diponegoro", "Persetujuan dengan Bung Karno". Namun secara keseluruhan, Bakri menolak menyebut Chairil sebgai seorang revolusioner. Menurutnya
vitalitas yang begitu dahsyat dalam diri Chairil hanya dicurahkan pada perjuangan individual. Bakri justru menyebutnya sebagai kesombongan yang berlebihan. (Siregar 1965)
Terlepas dari semua di atas, semua pihak menerima peran besar Chairil Anwar dalam revolusi bentuk dalam kesusasteraan modern Indonesia. Dia adalah tonggak kedua Puisi Indonesia setelah Amir Hamzah. Dalam essai yang sama dengan di atas, Bakri malah menyebut Chairil sebagai orang yang membuat bahasa Indonesia menjadi lebih kuat. Chairillah orang pertama yang membuka kemungkinan-kemungkinan baru pemakaian bahasa Indonesia, sehingga menjadi lebih kaya dan berisi. Chairil Anwar mempunyai jasa besar dalam perkembangan bahasa Indonesia sendiri. Semua pihak mengakui kemampuan Chairil untuk mengungkapkan metafora dan kemenduaan yang berasal dari kejenuhan bahasa sehari-hari, lisan maupun tulisan. Dia mampu mengkomunikasikannya dengan gaya yang ceplas-ceplos, sebagaiamana ungkapan murni seorang perintis. Chairil ikut membentuk bahasa Indonesia.
Dari situ, kita bisa melihat bahwa bahwa perdebatan antara kelompok SKG dan Lekra tentang Chairil Anwar tidaklah pada tataran yang sama. Pihak yang satu menerima Chairil sebagai pembaharu sastra Indonesia, dengan meneruskan sifat internasionalismenya (yang kemudian diterjemahkan sebagai universalisme) sebagai tahap lebih lanjut pembangunan kebudayaan Indonesia setelah kemerdekaan tercapai. Sedangkan pihak yang lain "menuntut" sikap lebih tegas dari Chairil terhadap keadaan sosial politis saat itu. Mereka tidak bisa menerima sikap Chairil sebagai individu yang dinilai terlalu bohemian, sebuah kemewahan di tengah usaha menuntaskan revolusi.
Di tengah kondisi carut marut ini, bagaimana dengan kehidupan kebudayaan? Bagaimana gagasan-gagasan tentang kebudayaan Indonesia baru ini tumbuh? Di awal 1959, Lekra berhasil menyelenggarakan Kongres Nasional-nya yang pertama. Salah satu hasil terpentingnya adalah revisi terhadap Mukadimah Lekra versi tahun 1950. Revisi ini menunjukkan perkembangan gagasan yang tumbuh di dalam Lekra, berkaitan dengan perubahan kondisi sosial politik jamannya. Manifes Kebudayaan lahir tepat di tengah puncak memanasnya kondisi politis tanah air. Polarisasi kekuatan-kekuatan politik semakin keras antara Sukarno dan kekuatan Nasakom berhadapan dengan Angkatan Darat dan kekuatan Islam modernis.
3. Mukadimah Lekra 195930): Kebudayaan Indonesia yang Nasional dan Kerakyatan
Mukadimah revisi ini sebenarnya sudah disusun pada Konprensi Nasional Pertama Lekra Juli 1955, namun baru disahkan dalam Kongres Nasional pertamanya tahun 1959 di Solo. Mukadimah 1950 dianggap tidak lagi cocok lagi dengan kondisi sosial politik jamannya. Dia tidak bisa lagi menjawab permasalahan-permasalah baru yang muncul seturut dengan perkembangan masyarakat Indonesia. Selain itu, Mukadimah 1950 yang hanya menjelaskan mengapa Lekra didirikan, dianggap tidak mencukupi lagi karena Lekra sudah berkembang sedemikian rupa sehingga perlu merumuskan kembali pokok-pokok utama tujuan gerak langkahnya.
Sekretaris Umum Lekra baru, yang dipilih dalam Kofrensi Nasional 1955, Joebaar Ajoeb menyatakan dalam laporan umumnya bahwa faktor-faktor yang menghambat pertumbuhan kebudayaan rakyat seperti:
1. Tiadanya kesadaran, bahwa perjuangan rakyat terutama perjuangan buruh tani tidak mungkin dipisahkan dari perjuangan kebudayaan.
2. Sentimen terhadap segala seusatu yang berhubungan dengan kebudayaan sebagai akibat menyamaratakan kultur rakyat dengan kultur borjuis.
3. Tidak adanya dorongan dari gerakan rakyat, terutama gerakan buruh dan tani untuk memperhatikan masalah kultur.
4. Ketidakmampuan seniman rakyat sebagai pekerja kebudayaan rakyat untuk menarik garis kebudayaan rakyat dengan kebudayaan borjuis, meskipun kebudayaan rakyat sendiri memberikan bahan yang berlimpah-limpah.
5. Ketidakmampuan dari gerakan rakyat, terutama gerakan buruh tani dalam usaha menarik golongan inteligensia dan pelajar pemuda yang berpikiran maju ke dalam barisannya.31)
Berangkat dari kenyataan itu Lekra melihat bahwa perjuang kebudayaan harus berpindah dari garda depan penghancur faktor-faktor penghalang dan mempersiapkan kondisi yang mendukung pertumbuhan kebudayaan rakyat, dalam rangka besar memperbaiki kegagalan revolusi Agustus 1945. Gerakan kebudayaan harus menjadi bagian dari kepemimpinan revolusi nasional, karena Lekra melihat bahwa revolusi nasional haruslah juga merupakan revolusi kebudayaan. Dengan demikian perjuangan rakyat pun menjadi berubah:
Perubahan cara pandang dan titik berangkat ini pun segera tercermin dalam perubahan konsep tentang "rakyat". Kalau sebelumnya rakyat didefinisikan sebagai buruh dan tani dalam konteks perjuangan kelas, dalam Mukadimah 1959 konsep rakyat diperluas menjadi "semua golongan dalam masyarakat yang menentang penjajahan".. Karena itu kalimat pembukaan dalam Mukadimah ini menjadi, "Menyadari, bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan ….. maka pada tanggal 17 Agustus 1950 didirikanlah Lembaga Kebudayaan Rakyat, disingkat Lekra." Kalimat ini meyiratkan bahwa Lekra adalah solusi dari pembangunan kebudayaan rakyat secara keseluruhan, bukan hanya kelas buruh dan tani.
Secara umum Mukadimah 1959 ini lebih kurang kaitannya dengan politik secara langsung, mereka tidak secara tegas menyebut kondisi sosial politik semisal "kegagalan revolusi Agustus akan memperbudak rakyat Indonesia di lapangan politik, ekonomi, militer dan kebudayaan" seperti yang terdapat dalam versi sebelumnya. Mukadimah 1959 membuka ruang interpretasi lebih luas pada para pekerja budaya yang bergabung di dalamnya untuk diterapkan dalam pengambilan keputusan setiap hari di tataran praktisnya. Perkembangan situasi juga dilihat secara positif: "Revolusi Agustus adalah usaha pembebasan rakyat Indonesia dari penjajahan, peperangan penjajahan serta penindasan feodal. Hanya bila panggilan sejarah revolusi Agustus terlaksana…. kebudayaan rakyat bisa berkembang bebas."
Watak kerakyatan tentu saja masih terus dibawa, dengan definisi "rakyat" yang diperluas seperti telah disinggung di atas. Rakyat ditempatkan sebagai pusat dan tujuan utama revolusi Agustus yang akan diteruskan: "Revolusi Agustus membuktikan, bahwa pahlawan dalam peristiwa bersejarah ini, seperti halnya dalam seluruh sejarah bangsa ini, tidak lain adalah rakyat".. Kemerdekaan, perdamaian dan demokrasi kemudian ditetapkan sebagai syarat bagi perkembangan bebas kebudayaan rakyat. Tiga prasyarat tersebut, dengan penekanan pada demokrasi, diyakini sebagai hal yang universal. Karena itu Lekra juga "membantu pergulatan untuk kemerdekaan tanah air dan perdamian bangsa-bangsa" Dengan demikian Lekra memasukkan perspektif internasionalisme dalam kesadaran kerakyatan yang dibangunnya.
Lekra menyatakan diri terbuka terhadap perkembangan dan kemajuan jaman. Malah memasukkan tambahan: "memberikan bantuan aktif untuk memenangkan setiap yang baru dan maju". Warisan tradisi yang menjadi latar belakang historis kebudayaan Indonesia, diperlakukan sama dengan hasil-hasil ciptaaan klasik dunia: "dipelajari dengan seksama… dan dengan ini meneruskan secara kreatif tradisi agung dari sejarah bangsa kita, menuju penciptaan kebudayaan baru yang nasional dan ilmiah".
Ditambahkan pula secara khusus bahwa keragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia harus menjadi bahan yang tidak ada habis-habisnya dalam penciptaan-penciptaan baru. Kemungkinan-kemungkinan inilah yang selama ini dan terus akan digarap oleh Lekra. Dari bagian mukadimah inilah Joebaar Ajoeb, dalam kongres nasional pertama Lekra mengusulkan asas "Meluas dan Meninggi":
Dengan usaha yang meluas ini sebagai landasan, Lekra mendorong serta menyelenggarakan kegiatan yang meninggi. Kegiatan meluas sebagai landasan kegiatan yang meninggi, dan kegiatan meninggi sebagai pengangkat kegiatan yang meluas. (Ajoeb 1959b, 17)
Kegiatan meluas yang dimaksud adalah rekruitmen pekerja-pekerja kebudayaan baru, mendidik dan mengembangkan bakat-bakatnya. Bersamaan dengan itu Lekra juga mengajak intelektual dan seniman yang sudah terkemuka32) untuk terus senantiasa mempertinggi mutu artistik, keilmuan dan idelogisnya. Lekra sebagai sebuah organisasi kebudayaan bekerja menyediakan seluruh kemungkinan, fasilitas-fasilitas, dan situasi yang kondusif untuk itu. Dengan demikian kerja penyebaran gagasan-gagasan yang diperjuangkan Lekra, yaitu kebudayaan berorientasi rakyat, nasional dan ilmiah, bisa berbarengan dengan eksplorasi dan pemahaman lebih dalam atas gagasan-gagasan tersebut.
Nyoto, salah satu Pimpinan Pusat Lekra, dalam pidato sambutannya atas laporan umum Sekretaris Umum Joebaar Ajoeb, menambahkan lebih jauh bahwa perjuangan kebudayaan juga harus mampu langsung menyentuh massa rakyat pekerja. Karena itu para pekerja budaya harus terjun langsung pada massa rakyat, masuk ke perkampungan-perkampungan buruh, ke desa-desa kaum tani untuk hidup dan bekerja bersama mereka sambil menyebarkan gagasan-gagasan kebudayaan rakyat.33) Ide ini kemudian dikenal sebagai prinsip kerja "Turun ke Bawah".
Selanjutnya Nyoto mengangkat permasalahan hubungan antara perjuangan politik dan perjuangan kebudayaan. Nyoto menolak pemikiran yang menganggap bahwa kebudayaan harus bersih dari politik, bahwa seniman tidak boleh berpolitik karena akan menurunkan mutu artistik karya-karyanya. Baginya politik dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan, dan belum dibuktikan bahwa seniman yang berpolitik akan merosot mutu "kesenimannya. Lebih tegas lagi Nyoto:
Politik tanpa kebudayaan masih bisa jalan, tetapi kebudayaan tanpa politik tidak… Sekali lagi kawan, politik itu penting sekali. Jika kita menghindarinya, kita akan digilas mati olehnya. Karena itu dalam hal apa pun dan kapan sajapun, politik harus menuntun segala kegiatan kita: Politik adalah Panglima. (Nyoto 1959, 56-57)
Usulan Nyoto dengan azas "Turun Ke Bawah", sempat dipertanyakan kegunaannya, karena selama ini sebagian anggota Lekra sudah berada di "bawah". Kemudian dijelaskan bahwa prinsip kerja "Turun ke Bawah" perlu dieksplisitkan untuk menjamin seniman tetap satu dengan rakyat, pikiran dan perasaan seniman satu dengan pikiran dan perasaan rakyat. Nyoto menambahkan bahwa metode "Turun ke Bawah" ini akan efektif kalau para pekerja budaya terus membekali diri dengan ketulusan dan ilmu pengetahuan, dan tidak sekalipun menjadikan rakyat sebagai obyek.
Azas "Politik Sebagai Panglima" yang muncul pertama kali dalam kongres, kemudian dibicarakan secara khusus dalam Konfernas Lekra Agustus 1960. Politik yang dimaksud adalah politik yang maju, kerakyatan dan revolusioner, untuk membedakan dengan politik yang kolot, anti kerakyatan dan reaksioner.34) Lebih jauh lagi prinsip ini menuntut komitmen politik para anggota Lekra dalam setiap aktivitasnya secara kongkrit. Dengan disampaikannya pertama kali pada kongres, maka komitmen ini tidak hanya dituntut dari individu anggota Lekra pada setiap kerja kreatifnya, tapi juga dituntut dari Lekra sebagai organisasi.
Akhirnya, pada Konfernas Lekra 1962, ditetapkan perumusan pedoman gerak Lekra, yang terkenal dengan nama prinsip 1-5-1:
Dengan Berlandaskan azas politik sebagai panglima, menjalankan 5 kombinasi, yaitu meluas dan meninggi, tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu arstistik, memadukan tradisi yang baik dan kekinian yang revolusioner, memadukan kreativitet individuil dan kearifan massa, dan memadukan Realisme Sosialis dan romantik revolusioner, melalui cara kerja turun ke bawah.36)
Lima kombinasi di atas kemudian dikenal sebagai "azas dua tinggi", dan merupakan pengembangan dari prinsip meluas dan meninggi. Ketika Joebar Ajoeb melansir asas dua tinggi ini, tidak diberikan penjelasan secara khusus. Sebagai bagian dari laporan umumnya, setelah menyebutkan beberapa karya seniman Lekra di bidang seni lukis, film, sastera dan puisi,37) dia memberikan penilaian dan menyimpulkan bahwa karya-karya itu telah menempuh jalan: "mengkombinasikan isi yang baik dengan bentuk yang indah, mengkombinasikan mutu ideologis yang tinggi dengan mutu artistik yang tinggi, mengkombinasikan tradisi yang baik dengan kesenian yang revolusioner dan mengkombinasikan realisme revolusioner dengan romantik revolusioner." (Ajoeb 1960, 23)
Rupanya dari penilaian itulah, disamping prinsip "meluas dan meninggi", dirumuskan 2 prinsip yang lain - tinggi mutu ideologi - tinggi mutu artistik dan memadukan tradisi yang baik dengan kekinian yang revolusioner. Satu tambahan prinsip lagi diusulkan oleh Nyoto, yaitu: mengkombinasikan kearifan kolektif massa dengan kearifan individual si seniman. (Ajoeb 1960, 57) Lebih dari itu tidak ditemukan penjelasan atau pembahasan lebih jauh tentang tambahan 4 prinsip tersebut.
Yang menarik diperhatikan adalah masuknya dua istilah Soviet "Realisme Sosialis dan romantisme revolusioner". Padahal dalam pembicaraan dan diskusi yang terjadi sejak kongres pertama tahun 1959, disusul Pleno PP Lekra tahun 1960 sampai Konfernas I tahun 1962, dua istilah itu tidak menjadi topik pembahasan. Nyoto memang pernah menyinggung nama Chou Yang38) dalam pidato sambutannya di Kongres I Lekra tahun 1959, namun tidak dalam konteks pembahasan dua istilah tersebut. Nama Chou Yang di sini menjadi penting, karena Keith Foulcher menengarai bahwa rumusan 1-5-1 ini merupakan pengaruh dari Cina. Menurutnya, kombinasi antara Realisme Sosialis dan romantisme revolusioner pertama kali dikemukakan oleh Mao Tse Tung, kemudian ditulis dan dipublikasikan pertama kali oleh Chou Yang dalam Red Flag, edisi Juni 1958. (Foulcher 1986, 111) Sedangkan saat Nyoto menyinggung nama Chou Yang, ia tidak menyebut tentang dua istilah itu. Artinya, Realisme Sosialis tidak pernah dibahas, apalagi diterima dan disahkan, sebagai ideologi resmi Lekra.
Kedua, penempelan ini juga tidak memperdulikan prasyarat utama tumbuhnya konsep ini di Indonesia, yaitu ketersediaan bahan bacaan tentangnya. Sampai tahun 1960, baru buku Nikolai Chernyshevski, Hubungan Seni dan Realitet, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian menyusul buku Seni dan Kehidupan Sosial karangan Plekhanov. Buku lain dalam naskah asli karangan estetikus Marxis seperti Bertolt Brecht, Walter Benyamin, Georg. Lukacks, dan Ivan Gronski, hanya beredar di kalangan sangat terbatas. Dan jika dilihat tulisan-tulisan sejaman, sedikit sekali nampak hasil pergaulan dengan karya-karya tersebut. 41) Karena inilah mengapa Joebaar Ajoeb menyatakan bahwa pembahasan sejarah Realisme Sosialis di Indonesia telah dilepaskan dari konteksnya. Menurutnya, Realisme Sosialis sebagai konsep penciptaan baru berhasil menggugah "keingintahuan" para sastrawan Lekra di tingkat nasional, sehingga tulisan tentangnnya masih bertaraf "orientasi" dan jauh dari "doktrin."42) Sebagai Sekretaris Umum Lekra yang tahu betul kondisi organisasinya, Joebar tidak bisa membayangkan bagaimana repotnya membawa konsep ini ke kelompok-kelompok ludruk, ketoprak, lenong yang diorganisir Lekra.
Joebaar Ajoeb dalam refleksinya yang dibuat lebih dari 25 tahun sesudah peristiwa G/30/ S/1965 mencoba menjelaskan konteks permasalah mengapa Lekra sampai memilih "Politik sebagai Panglima".. Pertama-tama Joebaar Ajoeb mengklarifikasi bawa azas politik sebagai panglima bukanlah instruksi atau keharusan dalam sebuah kreatif penciptaan, tradisi yang menurutnya tidak pernah dikembangkan dalam Lekra. Kebebasan individu, walau dalam semangat dan gerak kolektif tetap mendapat tempat yang sangat layak dalam Lekra. Seperti ditegaskan dalam Mukadimah Lekra: "terdapat kebebasan dalam perkembangan kepribadian berjuta-juta rakyat".
Politik sebagai panglima disahkan dalam konprensi dan diterima sebagai azas kerja kreatif (Ajoeb 1990, 9), bersama tuntutan lainnya yang tergabung dalam rumusan 1-5-1. Tidak pernah dibuatkan petunjuk resmi dan rinci mengenai hal ini. Para anggota bebas menginterpretasikan, memakai atau tidak memakainya dalam kerja dan karya. Latar belakang dari semboyan ini adalah agar para anggota Lekra memiliki pengetahuan politik yang memadai. Lalu mengapa perlu sampai dijadikan semboyan resmi? Karena pada saat itu, di tengah tarik-menarik kekuatan politik yang semakin memanas, ada semacam propaganda untuk menjauhkan seniman dari gelanggang politik, dalam arti yang seluasnya dengan slogan " Politik itu kotor dan seniman itu suci". Dan Lekra menentang propaganda ini.
Kalau dibandingkan secara literer penjelasan Joebaar Ajoeb di atas, dengan kutipan pidato Nyoto saat kongres nasional Lekra tahun 1959, yang mengusulkan agar politik dijadikan panglima, maka akan tertangkap kesan penghalusan. Dari yang gagah dan berapi-api menjadi kearifan mencari hikmat. Kunci perbedaannya adalah konteks, suasana dan semangat jamannya. Sedangkan substansinya tertinggal sama. Kalaupun bisa dibuktikan bahwa ada karya orang-orang Lekra yang lebih layak disebut pamflet politik, maka ini adalah soal interpretasi. Yang, sekali lagi, tak bisa dilepaskan dari pengaruh atmosfir jamannya. Suatu atmosfir di mana terjadi mobilisasi politik besar-besaran, sehingga bahasa yang diterima pun menjadi sloganistik, bombastis dan membakar massa. Walau tidak jarang malah menunjukkan kedangkalan pemahaman..
Dalam suasana seperti itulah, pada tanggal 17 Agustus 1963, 16 orang penulis, tiga Pelukis dan seorang komponis menandatangani dan mengumumkan sebuah Manifesto Kebudayaan, lewat harian Berita Republik 19 Oktober 1963 dan majalah bulanan Sastra edisi September, halaman 27-29.
Kostradnya Kebudayaan51): Hubungan Manikebu dan Militer
Kalau Soekarno dan PNI-nya memiliki Lembaga Kebudayaan Nasional, kemudian PKI "memiliki" Lembaga Kebudayaan Rakyat, maka Militer memiliki kelompok Manifes Kebudayaan. Demikianlah mungkin gambaran sederhana ranah kebudayaan Indonesia menjelang akhir paruh pertama tahun 1960-an, dalam konteks hubungan kebudayaan dan (kekuatan) politik (praktis).
Pada tahun-tahun itu, tiga kekuatan politik dominan yang saling tarik menarik adalah Soekarno dengan dukungan penuh PNI, kemudian militer dalam hal ini Angkatan Darat, dan PKI sebagai pihak ketiga yang menunjukkan peningkatan luar biasa setelah pemilu 1955. Dengan terbentuknya Front Nasional, lewat Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis), Soekarno berhasil menyatukan kekuatan-kekuatan partai-partai politik terbesar pemenang pemilu 1955. Tentu saja selain partai Islam modernis Masyumi, yang bersama PSI dinyatakan terlarang sejak tahun 1960 karena terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Dengan konstelasi politik semacam itu, maka tinggalah militer yang sendirian tanpa afiliasi dengan kekuatan politik yang ada pada saat itu, bersama kecenderungan latennya yang anti partai dan pemerintahan sipil.
Kecenderungan anti partai ini sepertinya bersambut gayung dengan mereka yang kemudian bergabung dengan kelompok Manikebu, yang digambarkan oleh Goenawan Mohamad sebagai orang-orang yang jauh dari "orang resmi".. (Mohamad 1993, 23) Yaitu mereka yang tidak terlibat dalam partai, tidak duduk dalam dewan nasional dan memilih "menggelandang". Mereka ini lebih cenderung mengambil sikap seperti HB Jassin dalam hal tidak menunjukkan bendera partai. Goenawan kemudian menambahkan bahwa sebagian dari mereka ini mungkin menyimpan simpati mereka pada PSI dan Masyumi yang sudah dilarang.
Pertautan kecenderungan yang sama inilah yang membuat Iwan Simatupang52) mengundang Goenawan Mohamad, Bur Rasuanto, A. Bastari Asnin dan Sjahwil (semuanya kemudian menjadi penandatangan Manikebu), datang ke rumahnya untuk dipertemukan dengan orang Soksi (serikat buruh bentukan militer untuk menyaingi Sobsi-nya PKI), yang menurut Iwan ingin membentuk organisasi kebudayaan. (Mohamad 1993, 26) Ketika pertemuan ini disampaikan pada Wiratmo Soekito, dia hanya berkomentar: "Sudah saatnya kita menjelaskan pendirian kita".. Sambil kemudian mengusulkan agar gagasan-gagasan kebudayaan diantara mereka disusun dan didiskusikan. Jika orang Soksi itu mau berkeja sama akan diterima dengan senang hati, tapi apabila tidak, pendirian tentag kebudayaan ini tetap akan diumumkan. Hubungan dengan orang Soksi ini memang tidak jelas kelanjutannya, sampai Manikebu diumumkan 2 bulan kemudian.53)
Keith Foulcher pun memahami Manifes Kebudayaan sebagai sebagai kelompok intelektual dan budayawan anti-Lekra yang menjadi bagian dari proses polarisasi kekuatan politik. Mereka Mendapat dukungan dari militer karena anti Lekra yang kiri, sejalan dengan militer yang berseberangan dengan PKI. Kemunculan kelompok ini Juli 1963, dilihat Keith sebagai "pameran kekuatan" dari suatu kelompok yang mewakili kepentingan kebudayaan anti komunis. (Foulcher 1986, 124), yang mendapat dukungan terselubung dari militer.
Dukungan terselubung militer ini menjadi terbuka ketika kelompok Manikebu mengadakan Konprensi Karyawan Pengarang Indonesia 1-7 Maret 1964. Konprensi ini diadakan terutama untuk memberi wadah pada para pendukung Manikebu, semacam pelembagaan awal kegiatan mereka. Diharapkan lewat forum ini , mereka bisa merapatkan barisan menghadapi para penyerang, dengan mulai menterjemahkan gagasan menjadi aksi. Dukungan militer dalam konprensi ini mulai dari transportasi untuk para peserta dari luar Jakarta, penyediaan akomodasi dan tempat sampai mengirimkan wakilnya, Birgadir Jendral Soedjono sebagai ketua Presidium konprensi tersebut.
Sejauh sebagai sebuah acara yang mau mengelaborasi gagasan-gagasan yang ada dalam Manikebu, konprensi ini gagal. Dari keputusan yang dihasilkan, tidak tercermin pikiran-pikiran manifes kebudayaan di situ. Selain pernyataan-pernyataan umum pada masa itu, belum juga keluar dari idiom-idiom seperti "meneruskan revolusi", "berhaluan Manipol/Usdek", bahkan secara khusus menyatakan "taat pada garis Pemimpin Besar Revolusi. Beberapa program kerja memang berhasil dihasilkan, tapi karena sifatnya yang sangat umum maka tidak akan dibahas di sini. Sedangkan soal spesifik Manikebu sendiri tidak masuk dalam agenda pembahasan konprensi. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Priyono dalam pembukaan malah terang-terangan menyerang Manifes Kebudayaan. Kepala Staf Angkatan Bersenjata A.H. Nasution dalam sambutannya lebih tegas lagi menyatakan ketidak setujuannya pada kelompok ini atas penolakan mereka pada azas "politik sebagai panglima" dan malah menyarankan agar menyusun sebuah :manifes" yang baru. 54) Militer mendukung di belakang layar penyelenggaraan KKPI tersebut, tapi di atas pentas Nasution menentang mereka. Sambutan Nasution ini semakin menunjukkan bagaimana kelompok Manikebu ini benar dijadikan komoditi politik militer. Kapan perlu mereka mendukung, pada saat tertentu ditentang.
Ironis memang bahwa dugaan Manikebu memiliki hubungan dengan militer, justru dikonfirmasi oleh pihak militer sendiri, dengan memberikan dukungan pada KKPI tersebut. Hubungan inipun akhirnya disahkan oleh Wiratmo Soekito pada tahun 1982. Dalam salah satu tulisannya, Wiratmo mengaku bahwa dia "secara sukarela telah bekerja pada dinas rahasia angkatan bersenjata."55) Goenawan menjelaskan skandal ini sebagai: "suatu kecenderungan yang normal untuk beraliansi di antara mereka yang dimusuhi, atau memusuhi PKI". (Mohamad 1993, 51)
Setelah kelompok manikebu ini keluar sebagai pemenang bersama dengan kelahiran Orde Baru, diskusi lebih jauh atas gagasan-gagasan yang dibawanya pun tidak terjadi. Padahal ruang sudah terbuka lebar. Tulisan-tulisan dari mereka yang lahir pasca pergantian kekuasaan 1965, tidak menunjukkan hal itu. Kecuali tulisan-tulisan yang berusaha terus menerangkan proses kelahiran Manikebu dan bagaimana mereka dulu diteror dan difitnah oleh Lekra.56) Selain ini kita hanya menemukan artikel-artikel pendek Wiratmo Soekito yang berusaha membahas gagasan-gagasan Manikebu.57) Begitu pula dengan para pendukung mereka yang sempat diorganisir lewat KKPI. Dengan keterbukaan yang sudah ada, pertemuan lanjutan dari konprensi itu juga tidak pernah dilangsungkan.
Sedangkan apa yang oleh HB Jassin disebut sebagai Angkatan 66 dalam sejarah sastra Indonesia, juga tidak berkaitan langsung dengan gagasan-gagasan Manikebu. Produksi kebudayaan dari angkatan ini, terutama sastra, sejauh yang dicatat hanya berkaitan dengan perjuangan mahasiswa meruntuhkan Soekarno. Karena itu "Puisi Demonstran"-lah yang dijadikan manifestasi. Gagasan Humanisme Universal tidak hidup di kalangan ini. Karena itu Satyagraha Hoerip menyarankan pada HB Jassin mamasukkan "Angkatan Manifes" atau paling tidak "Angkatan 63",58) dalam rangka mewadahi kerja-kerja kreatif yang dihasilkan kelompok Manikebu.
Menjejerkan teks Mukadimah Lekra dan teks Manifesto Kebudayaan, penulis tidak menemukan perbedaan mendasar. Kalau Lekra menyatakan "bekerja untuk membantu manusia yang memiliki segala kemampuan untuk memajukan dirinya dan perkembangan kepribadian yang bersegi banyak dan harmonis", maka Manifesto menegaskan bahwa "bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia". Penolakan Manifesto Kebudayaan pada Humanisme Universal yang membuat "orang harus toleran terhadap imperialisme dan kolonialisme", diteruskan dengan kerja Lekra untuk merombak "sisa-sisa kebudayaan penjajahan yang mewariskan kebodohan, rasa rendah serta watak lemah".
Jadi pertentangannya terletak pada konteks sejarah jaman yang melingkupi kedua kertas kebudayaan tersebut. Keduanya terseret pada gejolak dan perseteruan politik yang terjadi pada masa itu. Dengan satu dan lain cara, kekuatan-kekuatan politik dominan pada masa itu (Soekarno, Militer dan PKI) telah berhasil membawa medan pertempuran mereka ke wilayah kebudayaan, ketika menyeret dan menjadikan Lekra dan Manikebu sebagai pemain-pemain utamanya. Dengan demikian, pelarangan Manifesto Kebudayaan adalah tidak lebih dari hasil dari dramatisasi dan manipulasi politik.
Kesimpulan
Membaca keempat teks kertas kebudayaan di atas, kita akan kecewa kalau mengharapkan akan menemukan suatu "debat kebudayaan", sebagaimana selama ini dipahami. Seperti yang diantarkan pada bagian awal bab ini, dengan mengacu pada bab sebelumnya. Dari teks-teks itu kita tidak berhasil menemukan apa yang digemborkan sebagai "prahara budaya", pertarungan antara kelompok yang yakin pada kebenaran paham Humanisme Universal dengan mereka yang memperjuangkan ideologi Realisme Sosialis dalam kesenian dan kebudayaan pada umumnya. Padahal justru dari teks inilah segala perdebatan, pertentangan sampai permusuhan sekalipun, seharusnya berakar. Ternyata tidak demikian adanya.
Dua teks kertas kebudayaan terdahulu yang kita bahas, SKG dan Mukadimah Lekra 1950, justru menunjukkan kesesuaian di sana sini, kalau tidak mau dibilang saling melengkapi.. Isi sama persis, tentu saja tidak, karena keduanya mempunyai perbedaan titik tekan. Perbedaan mana yang kalau disandingkan dalam rangka perbandingan, tidak akan saling meniadakan satu sama lain. Walau SKG menekankan kebebasan dan integritas individu pencipta budaya, bukan berarti bertentangan dengan Mukadimah yang menekankan pentingnya keberhasilan revolusi bagi perkembangan kebudayaan rakyat. Begitu pula semangat internasionalisme SKG sebagai "ahli waris kebudayaan dunia", tidak pula menghambat perjuangan Mukadimah untuk menghancurkan kebudayaan kolonial dan feodal dan menggantinya dengan kebudayaan rakyat yang demokratis.
Apalagi kalau melihat bahwa SKG juga mengakui "revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai". Pernyataan ini seakan bersambut gayung dengan kepastian Mukadimah akan "gagalnya Revolusi Agustus 1945".. Kebaruan adalah obsesi dari kedua kertas kebudayaan ini. Seturut dengan kemerdekaan yang sudah diraih, harapan tentang masa depan gemilang dan kegairahan menanti janji-janji revolusi pun bermekaran dengan sangat emosional. Kegairahan iini menuntun mereka untuk mengambil sikap terhadap tradisi dan masa lalu, yang kadang sangat keras, untuk menjejak langkah ke depan. Seperti tertulis dalam SKG:
Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat… Revolusi bagi kami adalah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan.
Mukadimah Lekra secara esensial mengambil sikap yang sama. Memang pada batas-batas tertentu Lekra mengajak kembali pada kebudayaan nenek moyang, namun kebudayaan itu bukanlah menjadi penghalang untuk memulai sesuatu yang baru, justru dijadikan titik pijak dalam menapak kebaruan itu sendiri:
Demikian pula kebudayaan Indonesia kuno tidak akan dibuang seluruhnya, tetapi juga tidak akan ditelan mentah-mentah. Kebudayaan kuno akan diterima dengan kritis untuk meninggikan tingkat kebudayaan Indonesia baru yaitu Kebudayaan demokrasi Rakyat…… Untuk ini kami yang bersedia menjadi pekerja Kebudayaan Rakyat mempersatukan diri dan menyusun kekuatan untuk bertahan serta mengadakan perlawanan terhadap setiap usaha yang hendak mengembalikan kebudayaan-kolonial, kebudayaan kuno, yang reaksioner itu.
Lalu di mana letak perbedaannya, untuk menjadi bahan perdebatan. Di manakah dapat ditemukan Humanisme Universal secara teoritis konseptual dalam SKG, atau manifestasi ideologi Realisme Sosialis dalam Mukadimah Lekra? Kalaupun perbedaan titik tekan yang dimaksud, pertukaran antarnya malah akan menghasilkan sintesa yang lebih baik lagi. Sintesis yang merangkum semangat pembaruan, revolusi, kebebasan kreatif dan demokrasi, rakyat dan kepribadian Indonesia yang baru dalam satu gerak langkah menyusun sejarah dan hari depan Indonesia.
Kalau soal "Angkatan 45" dianggap sebagai titik awal perseteruan antara orang-orang SKG dan para anggota Lekra, bukankah keduanya berasal dari sana? Bukankah keduanya sama-sama mengemban alam pemikiran kebudayaan "Angkatan 45", sebagai penerus pembaruan dari revolusi Agustus 1945. Apalagi kalau kita menerima periodisasi "Angkatan 45" yang berakhir tahun 1949, kemudian SKG dan Mukadimah Lekra diumumkan pada tahun 1950, maka cukupkah kesempatan - paling tidak dari segi waktu - bagi keduanya untuk benar-benar berbeda secara mendasar.
Refleksi Joebaar Ajoeb tentang pokok diatas, yang ditulisnya dalam Mocopat Kebudayaan Indonesia, adalah gambaran yang paling mewakili:
Kalau Angkatan 45 bersikap intuitif terhadap revolusi, Lekra mencoba mengembangkan sikap intuitifnya ke dalam konsep atau wawasan yang dilembagakan. Jika SKG yang merupakan bagian dari sikap Angkatan 45, bersikap terhadap kebudayaan dunia dan revolusi nasional, Lekra ingin menjabarkannya secara lebih kategoris dan aktual bagi kepentingan pembaruan kebudayaan Indonesia.
Beralih pada periode kedua, kita menemukan situasi yang justru semakin memburuk. Hubungan antara teks kedua kertas kebudayaan tersebut dengan konteks politis yang melingkari semakin jauh untuk dimengerti pertautan logikanya. Buku DS Moeljanto dan Taufik Ismail, Prahara Budaya, yang diulas dalam bab I menjadi contoh yang terang tentang putusnya hubungan antara teks dan konteks. Antara apa yang tertulis di atas kertas dan apa yang dijadikan alasan untuk memulai sebuah "pertempuran".
Dengan menganalisa secara tekstual Mukadimah Lekra dan Manifes Kebudayaan beserta penjelasannya, maka kita segera tahu bahwa kegaduhan dunia kebudayaan Indonesia di akhir paruh pertama 1960 tidak bersumber dari situ. Sebab Manikebu yang kemudian resmi dinyatakan terlarang oleh pemerintah, minimal secara formal tidak menentang cita-cita sosialisme saat itu. Kerancuan ini semakin bertambah bila melihat bahwa Konprensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI) yang mereka organisir beberapa 2 bulan sebelumnya, tidak dilarang.
Humanisme universal dan Realisme Sosialis memang semakin sering disebut. Namun bukan pemahaman dan pembelajaran konseptual lebih jauh yang didapat, melainkan pertarungan di tataran lain yang justru semakin sengit dengan menjadikan kedua paham itu sebagai "judul" dari masing-masing pihak. Seperti sudah disebut di atas, secara tekstual Mukadimah Lekra dan Manifes Kebudayaan tidak mempunyai perbedaan yang begitu dahsyat yang bisa melahirkan pun potensi-potensi konflik antara keduanya. Namun pertarungan hebat malah terjadi antara keduanya. Pertarungan yang lagi-lagi tidak bisa dicari dasar argumen konseptualnya dari kedua kertas kebudayaan tersebut. Jadi pertarungan terjadi karena keduanya terseret pada konteks politis jamannya, yang memang semakin memanas.
Tarik menarik berimbang antara tiga kekuatan politik utama pada masa itu, antara Sukarno, Militer dan PKI, - segera berubah konstelasinya setelah front nasional nasakom berhasil terbentuk, dengan meninggalkan militer sendirian. Kesendirian ini mendorong militer untuk bersekutu dengan kelompok seniman dan budayawan yang tidak punya afiliasi atau bahkan kedekatan dengan kekuatan politik dominan. Lewat Wiratmo Soekito, konseptor 95% naskah Manikebu dan yang kemudian mengaku sendiri bahwa dirinya bekerja untuk badan intelejen militer, maka lahirlah Manifes Kebudayaan. Menimbang fakta-fakta ini, maka bisalah disebut bahwa Manikebu adalah provokasi politik (militer) di wilayah kebudayaan. Provokasi yang sama terjadi pada saat pelarangannya. Betapapun gencar serangan terhadap mereka, tidak ada satu pun permintaan resmi organisasional dari para seteru Manikebu kepada pemerintah untuk melarangnya.
"Ketertarikan" militer berkiprah dalam kebudayaan dengan mendukung Manikebu ini memang agak ganjil. Sebab kebudayaan dalam tradisinya bukanlah wilayah "kepedulian" militer. Ada dua alasan masuknya militer dalam kebudayaan, Pertama, berimbangnya kekuatan politik, dengan massa yang terorganisir di bawah Front Nasional Nasakom, membuat militer kesulitan menerapkan "cara-cara militeristik" dalam mencapai tujuan mereka. Kedua, sejak Pemilu 1955 mereka melihat bagaimana peran kebudayaan dalam menggalang kekuatan massa. Dalam setiap kampanye PKI yang didukung anggotanya yang kebetulan juga anggota Lekra, kampanye tersebut selalu menjadi pesta rakyat. Dari sinilah dilihat bahwa lembaga kebudayaan juga mempunyai kekuatan politik (massa). Maka untuk melawan kekuatan politik lembaga kebudayaan seperti Lekra, diperlukan pula kekuatan kebudayaan. Berdasarkan pikiran inilah militer mendukung Manikebu.
Dan seperti tampak dalam buku DS Moeljanto dan Taufik Ismail, Lekra dan lembaga kebudayaan lain seperti LKN, termakan provokasi-provokasi ini. Sehingga "dialog kebudayaan" yang terjadi semakin lama semakin terdegradasi kualitasnya. Perdebatan itu meninggalkan argumen-argumen konseptualnya, menelantarkan kerja-kerja kreatif dan kejujuran-kejujuran dalam penciptaan karya, untuk kemudian ikut dalam serangan-menyerang banal yang memang menjadi atmosfer politik saat itu.
Sampai di sini kiranya sudah bisa diputuskan bahwa perdebatan itu, yang tampak banal seperti dipaparkan di bab I, ternyata tidak pernah ada. Paham Humanisme Universal dan Realisme Sosialis, yang sering diletakkan berhadapan dan dijadikan "seolah-olah" dasar konseptual pertentangan, ternyata tidak pernah ada, setelah diteliti konteks historis dan kemungkinan perkembangan paham-paham tersebut pada masanya. Lalu di manakah masalah yang sebenarnya?
Bahwa ada sekian kelompok kebudayaan baik formal atau non formal, dengan masing-masing gagasannya, sudah dapat dipastikan akan terjadi dialog, komunikasi, pertukaran atau bahkan adu argumen diantara mereka. Kalau kemudian menjadi begitu "meriah", kita sudah menemukan jawabannya: provokasi politik. Tapi tetap saja gagasan-gagasan itu ada tertinggal, walau tidak sempat dieksplorasi lebih jauh.
Tema-tema seperti kebebasan kreatif, integritas individu pencipta budaya, peran kebudayaan dalam menuntaskan revolusi, hubungan penciptaan karya dan perannya dalam masyarakat, semangat internasionalisme dan pembangunan budaya yang nasional dan kerakyatan, kepribadian kebudayaan Indonesia di tengah bangsa-bangsa di dunia, sikap terhadap tradisi dan modernitas sampai tuntutan seni dan para pekerjanya untuk menetapkan komitmen pada rakyat, adalah hal yang tidak boleh dilupakan. Walau ditelantarkan karena provokasi politik itu tadi.
Semua hal di atas bisa diletakkan dalam satu kerangka pencarian identitas kebudayaan baru bagi bangsa yang telah berhasil bebas dari kolonialisme. Untuk membahas tema ini lebih jauh, kita akan mencarinya dari sejarah kebudayaan Indonesia sendiri, terutama di masa-masa kolonialisme. Bagaimana para tokoh pergerakan dan tokoh kebudayaan pada masa itu memikirkan dan memperbincangkan kebudayaan macam apa yang akan dibangun bila kemerdekaan tercapai. Dan bagaimana kebudayaan itu mengambil perannya dalam pembebasan nasional dari kolonialisme. Untuk ini kita akan masuk pada Bab III.
Catatan:
1) Pembagian ini bersifat fleksibel untuk memudahkan pembahasan lebih lanjut. Lekra, pada masanya bisa dikatakan mendominasi wacana kebudayaan Indonesia pada era ini. Wacana tandingan yang muncul tidak dilahirkan oleh sebuah organisasi seperti Lekra, namun dari berbagai unsur yang merasa berseberangan dengan Lekra ini, mereka yang memiliki "musuh bersama": Lekra. Jadi pengelompokannya kemudian menjadi Lekra dan non Lekra.
2) Naskah lengkap Surat Kepercayaan Gelanggang lihat lampiran 1.
3) Siasat adalah majalah mingguan politik dan kebudayaan yang diasuh oleh kalangan budayawan dan intelektual yang kemudian hari dekat dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI), seperti Soedjatmoko, Rosihan Anwar, Gadis Rasjid dan Soedarpo Sastrosatomo. Terbit pertama kali Januari 1947, sedangkan ruang kebudayaan "Gelanggang"-nya baru muncul pada awal 1948 atas inisiatif sekelompok seniman (yang bukan kebeteluan juga bernama) "Gelanggang" seperti Chairil Anwar dan Ida Nasution. Kelompok yang bernama lengkap "Gelanggang Seniman Merdeka" inilah yang kemudian oleh HB Jassin dikategorikan sebagai Angkatan 45 dalam sejarah sastra Indonesia.
4) Semangat internasionalisme ini menurut beberapa pengamat sejarah kesusateraan Indonesia modern dibawa terutama oleh Chairil Anwar yang berangkat dari identifikasi dengan estetika modern Eropa. Lihat misalnya Foulcher, Keith, 1994, Angkatan 45: Sastra, Politik Kebudayan dan Revolusi Indonesia, Jakarta, Jaringan Kerja Budaya, hlm.. 23, atau Sastrowardoyo, Subagio, 1997, Sosok Pribadi dalam Sajak, Jakarta, Pustaka Pelajar hlm. 24.
5) Konsep Surat Kepercayaan Gelanggang yang diusulkan (tapi tidak disahkan) sebenarnya lebih lugas bahasanya, sederhana, mudah dimengerti dan sedikit lebih panjang. Lihat lampiran 5. Tidak didapat penjelasan mengapa justru konsep kedua yang disahkan.
6) Abdullah, Taufik, 1997, "Kata Pengantar" , dalam Sani, Asrul, 1997, Surat-Surat Kepercayaan, Jakarta, Pustaka Jaya, hlm. xxiv
7) Sani, Asrul, 1950, "Fragmen Keadaan I", Siasat, Minggu 22 Oktober 1950
8) Sani, Asrul, 1950, "Fragmen Keadaan II", Siasat, Minggu 29 Oktober 1950
9) Pada perkembangannya angkatan ini melahirkan banyak perdebatan sampai tahun 1965. Setalah tahun itu, hanya ada satu interpretasi tentang angkatan ini, yang dikembangkan secara konsisten dalam terbitan-terbitan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jaasin dan tulisan-tulisan di Majalah Kebudayaan Horison.
10) Ajip Rosidi sebagai penyunting buku Asrul Sani 1997, Surat-Surat Kepercayaan, menyatakan bahwa konseptor Surat Kepercayaan Gelanggang adalah Asrul Sani. Ajip menolak pandangan umum selama ini yang menganggap Chairl Anwar-lah konseptornya. Sebab, menurut Ajip Rosidi, ketika surat itu diumumkan, Chairil Anwar sudah setahun meninggal (April 1949). Argumen Ajip ini sebenarnya tidak begitu kuat, karena bisa saja konsep surat itu sudah disusun jauh hari sebelumnya ketika Chairil Anwar masih hidup. Atau malah surat itu mereka susun bersama. Kita tidak akan masuk dalam pembahasan ini. Disinggung sedikit untuk sekedar menunjukkan betapa pentingnya surat kepercayaan gelanggang ini, karena dianggap sebagai konsep pandangan dunia para seniman Angkatan 45.
11) Perlu di catat di sini adalah dalam tenggang waktu 13 tahun telah terjadi banyak perubahan, polarisasi politik di kalangan seniman semakin mengental.
12) Pembahasan tentang konsep Humanisme Universal akan ditempatkan di bagian bawah.
13) Toer, Pramoedya Ananta, 1963, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia: Sebuah Tinjauan Sosial, Jakarta tidak diterbitkan.
14) Naskah lengkap lihat Lampiran 2.
15) Joebaar, Ajoeb, 1959, "Perkembangan Kebudayaan Indonesia Sejak Agustus 1945 Dan Tempat Serta Peranan Lekra Di Dalamnya" dalam Dokumen Kongres Nasional I Lekra, Bagian Penerbitan Lekra, 1959. hlm. 15.
16) Pembahasan lebih lengkap lihat, M.R. Siregar, 1995.
17) Istilah romantik disini mengacu pada era romantisisme yang muncul di Eropa pada akhir abad ke 18. Sebuah gelombang reaksi dari zaman pencerahan yang dianggap terlalu memberi tekanan pada rasio sehingga kering, dingin dan kaku. Romantisisme berupaya mengedepankan hal-hal yang lebih emosional, keunikan individu, hasrat akan kebebasan. Dalam arti inilah istilah romantisisme dipakai dalam bagian ini.
18) Tentang angkatan ini, kemudian menimbulkan banyak masalah. Mulai dari masalah teknis periodisasi sampai perdebatan seputar ide atau semangat apa yang dibawa oleh angkatan 45, dan tentang apa sebenarnya konsep pandangan dunia yang dibawa oleh angkatan ini. Pada perkembangan selanjutnya kalangan sastrawan Lekra malahan melontarkan kritik yang sangat tajam terhadap Angkatan 45 dengan Chairil Anwarnya. Lihat misalnya tulisan Siregar, Bakri 1965, "Catatan Menilai Chairil Anwar", Harian Rakyat, 15-16 Mei 1965.
19) Penjelasan lebih lengkap tentang akar historis Angkatan 45, khususnya dalam kesusasteraan bisa dilihat dalam: Keith Foulcher, 1994.
20) Nama Pujangga Baru, selain jadi nama majalah yang terbit sejak 1933, juga dipakai sebagai nama angkatan yang menggambarkan gaya khas sastera yang juga merupakan ciri majalah ini. Sering dihubungkan dengan perjuangan kaum intelektual nasionalis Indonesia dalam usahanya menjelaskan "Indonesia" sebagai kesatuan budaya, juga harus disebut sebagai perlawanan terhadap institusi kebudayaan bentukan kolonial Belanda: Balai Pustaka. Penjelasan lebih lanjut lihat dalam: Foulcher, Keith, 1991, Pujangga Baru: Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942, Jakarta, Girimukti Pasaka.
21) HB Jassin sebenarnya menyelipkan satu periode khusus setelah masa Pujangga Baru dan sebelum Angkatan 45, lebih jauh lihat Jassin, HB, 1954, Kesusasteraan Indonesia di Masa Jepang, Jakarta Gunung Agung. Namun besar kecilnya pengaruh konvensi Pujangga Baru dalam produksi kesenian dan sastra pada masa ini, belum dibuktikan dengan penelitian khusus. Sedangkan kakhasannya pun belum tampak secara khusus.
22) Sjahrir, Sutan, 1945, Perdjoeangan Kita, Jakarta, Pertjetakan Repoebliek Indonesia.
23) Keputusan untuk menerima bantuan finansial dari Belanda tersebut kemudian menjadi catatan hitam kelompok ini. Apalagi situasi secara umum adalah seluruh potensi bangsa berkonfrontasi total dengan Belanda setelah agresinya yang pertama tahun 1947. Memang kemudian Chairil Anwar dan beberapa kawannya pindah ke Gelanggang, suplemen budaya dari mingguan yang berorientasi ke Sjahrir, Siasat. Skandal ini pernah ditulis oleh HB Jassin sendiri. Lihat: Jassin, HB, 1962, "Humanisme Universal", dalam Kesusasteraan Indonesia dalam Kritik dan Esai II, Jakarta, Gunung Agung hlm. 30-33. Tetapi tanpa penjelasan esai ini menghilang dalam edisi revisi tahun 1985.
24) Legge, John, 1966, Intellectuals and Nationalism in Indonesia: A Study of the Following Recruited by Sutan Sjahrir in Occupation Jakarta, Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project hlm. 32-33.
25) Nasution, Ida, 1948, "Kesenian Angkatan Muda Indonesia" dalam Gema Suasana, No. 5, Mei 1948.
26) Mihardja, Achdiat K., [ed.], Polemik Kebudayan, Perguruan Kem. P.P. dan K., Jakarta 1954.
27) Joebar Ajoeb merasa perlu untuk secara khusus mengungkapkan hlm. ini, menyikapi bagaimana serangan pribadi-pribadi Lekra dahulu terhadap Chairil Anwar dijadikan amunisi balik ketika Lekra secara politis sudah terpojok. Lihat Ajoeb 1990, hlm. 20.
28) Bisa dicatat di sini lembaga seperti Lesbumi (Lembaga Kebudayaan Islam) yang berafiliasi dengan partai politik Islam Nahdatul Ulama, LKIK (Lembaga Kebudayaan Indonesia Katolik) dengan Partai Katolik, LEKRINDO (Lembaga Kristen Indonesia) denngan Partai Kristen Indonesia, dan LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) dengan Partai Nasional Indonesia. Brita Maklai mencatat kecenderungan partai untuk memebentuk sayap kebudayaan ini ternyata bersambut gayung dengan kecenderungan seniman untuk mencari afiliasi partai, setelah melihat semakin banyak seniman yang bergabung dalam Lekra. Lihat, Mildouho-Maklai, Brital., 1998, Menguak Luka Masyarakat: Beberapa Aspek Seni Rupa Indonesia sejak 1966, Jakarta, Jaringan Kerja Budaya, FSR IKJ, Gramedia Pustaka Utama, hlm. 22.
29) Penolakan ini bukannya tanpa akibat. Acara "Konprensi Sastera dan Seni PKI", dimana orang-orang Lekra yang bukan anggota PKI tidak terlibat, terang-terangan menunjukkan bahwa Lekra dan PKI berbeda di bidang kebudayaan. Lihat Ajoeb 1990, hlm. 6 Dalam dokumen-dokumen resmi hasil kongres, konprensi dan rapat pimpinan pusat Lekra pun tidak ditemukan pembahasan tentang topik ini.
30) Naskah lengkap lihat Lampiran 3.
31) Ajoeb, Joebaar, 1959b, "Laporan Umum PP Lekra kepada Kongres Nasional I Lekra", dalam Dokumen Kongres Nasional I Lekra, Jakarta, Bagian Penerbitan Lekra, hlm. 44-45.
32) Tokoh seperti Pramoedya Ananta Toer, baru belakangan bergabung dengan Lekra.
33) Nyoto, 1959, "Revolusi adalah Api Kembang", Sambutan atas Laporan Umum dan Pandangan Para Utusan, dalam Dokumen Kongres Nasional I Lekra, Jakarta, Bagian Penerbitan Lekra, hlm. 61.
34) Ajoeb, Joebaar, 1960, "Manifesto Politik dan Kebudayaan: Laporan Umum", dalam Pleno Agustus Pimpinan Pusat Lekra 1960, Laporan Kebudayaan Rakyat II, Jakarta, Bagian Penerbitan Lekra, hlm. 22-24.
35) Bisa disebutkan di sini misalnya kampanye Lekra Mengganyang Malaysia sebagai wujud kekuatan imperialis Inggris.
36) "Kesimpulan atas Laporan Umum", dalam Keputusan-Keputusan Konprensi Nasional I, Bali 1962, hlm. 165.
37) Karya-karya yang disebut antara lain pameran seni lukis "Operasi Gempa Langit" dan "Mawar Merah" di Jakarta dan Jawa Tengah, film "Holokuba" dan "Baja Membara", karya sastera "Sekali Peristiwa di Banten Selatan" dan "Si Kabayan" dan puisi "Demokrasi". Ajoeb 1960, hlm. 23.
38) Dokumen Kongres Nasiinal I Lekra, Bagian Penerbitan Lekra, Jakarta, 1959 hlm. 60.
39) Seperti dalam buku Yahaya Ismail, Pertumbuhan, Perkembangan dan Kejatuhan Lekra di Indonesia: 1972, disebutkan bahwa Realisme yang diadobsi Lekra adalah Realisme Sosialis seperti yang digariskan Stalin 1930-1940.
40) Pembahasan lebih jauh topik ini bisa dilihat di Jhonson, Pauline, Marxist Aesthetics:The Foundations within Everyday Life for an Emancipated Consciousness, London, Routledge & Kegan Paul, tanpa tahun terbit.; Zis, Avner, 1977, Foundations of Marxist Aesthetics, Moscow, Progres Publisher, hlm. 262-282; Karyanto, Ibe, 1997, Realisme Sosialis Georg Lukacs, Jakarta, Jaringan Kerja Budaya dan Gramedia Pustaka Utama.
41) Hilmar Farid, "Kata Pengantar", dalam Karyanto 1997, hlm. xii.
42) Ajoeb 1990, hlm. 35 Dalam kategori ini bisa dimasukkan misalnya prasaran panjang Pramoedya Ananta Toer di FS UI tahun 1963 yang berjudul: "Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia", atau tulisan Joebaar Ajoeb sendiri, "Realisme Kita Dewasa ini, di ruang kebudayaan Harian Rakyat, tahun 1955.
43) Naskah lengkap lihat Lampiran 4.
44) Surat-surat dukungan ini diterbitkan dalam majalah Sastra No. 9/10, Th. III, 1963. Juga dikumpulkan dalam lampiran no. 12-21 dalam D.S. Moeljanto dan Taufik Ismail, ed., Prahara Budaya: Kilas Balik Offensif Lekra/PKI I dkk, Republika dan Mizan, Bandung 1995.
45) Frans M. Parera, 1986, "Seorang Cendekiawan sebagai Saksi Sejarah", dalam Surat-Surat Politik Iwan Simatupang 1964-1966, Jakarta, LP3ES, hlm. xxxv. Soal hubungan kelompok ini dengan militer akan dibahas secara khusus di bawah.
46) Dokumen Surat Keputusan Pelarangan Manifesto Kebudayaan, Antara, 9 Mei 1964.
47) Aidit, DN, 1964, Dengan Sastra dan Seni yang Berkepribadian Nasional Mengabdi Buruh, Tani dan Prajurit, Jakarta, Jajasan Pembaruan, hlm. 17.
48) Hilmar Farid, dalam Karyanto 1997, hlm. xv.
49) Pada masa ini, hampir semua media massa utama mempunyai afiliasi, atau paling tidak kedekatan dengan kelompok politik tertentu. Sikap independent non partisan yang dipilih kelompok manikebu, dengan sendirinya menutup ruang publik mereka sendiri di media massa. Untuk ini perhatikan berita-berita media massa yang dikliping oleh Taufik Ismail, 1995.
50) Untuk ini bisa dilihat pada surat-surat dan guntingan koran yang dikumpulkan dalam Taufik Ismail, 1995, hlm. 239-412.
51) Judul ini diambil dari judul tulisan Wiratmo Soekito di Harian Merdeka edisi 23-10-1966. Dalam tulisan ini Wiratmo mensejajarkan perjuangan Kostrad melawan "kubu Lubang Buaya" PKI dengan perjuangan Manikebu melawan Lekra, "kubu Lubang Buaya" di bidang kebudayaan.
52) Tokoh yang dikenal dengan novel-novel absurditasnya Ziarah dan Merahnya Merah ini memang cukup misterius. Sampai akhir hayatnya tinggal di Hotel Salak Bogor dan selalu bepergian dengan mobil pribadi, tanpa bisa menjelaskan dari mana dia mendapatkan biaya hidup mewahnya tersebut untuk masa-masa sulit pada waktu itu. Yang pasti bukan dari hasilnya menulis. Banyak yang menduga dia memiliki hubungan dengan militer dan menjadi salah satu master mind Manikebu di bawah tanah (tidak ikut menandatangani Manikebu). Perannya Melengkapi peran Wiratmo yang muncul ke permukaan. Pikiran-pikiran Iwan lewat surat-surat yang dikirmkan pada sahabatnya St Sularto, yang dikumpulkan Frans M. Parera, 1986, Surat-Surat Politik Iwan Simatupang 1964-1966, Jakarta, LP3ES, menunjukkan kepercayaannya pada militer (Angkatan Darat) sebagai penyelamat Indonesia dari kekacauan.
53) Kejadian ini tidak muncul dalam paparan D.S. Moeljanto, "Prolog: Dari Gelanggang, Melalui Lekra hingga Manifes Kebudayaan yang Terlarang", dalam Ismail 1995, hlm. 31-64.
54) Dokumen dan kliping seputar KKPI ini juga dikumpulkan dalam D.S. Moeljanto dan Taufuk Ismail ed. Prahara Budaya, 1995, hlm. 239-269.
55) Wiratmo Soekito, "Satyagraha Hoerip atau Apologi Pro Vita Lekra", Horison no. 11 th. 1982.
56) Tulisan tentang ini seperti menjadi ritual yang mereka lakukan setiap tahun di majalah Kebudayaan Horison.
57) Tulisan-tulisan tersebut misalnya Soekito, Wiratmo, "Kostradnya Kebudayaan", Merdeka 23-10-1966; "Sudah Tiba Saatnya Membangkitkan Seni Murni", Merdeka, 27-11-1966; "Politik Orang Tidak Berpolitik", Harian Kami, 1-5-1968; "Dwifungsi Kulturil Kita", Harian Kami, 8-5-1968, "Proses Pembebasan Manifes Kebudayaan 1964-1966", Sinar Harapan, 1970.
58) Hoerip, Satyagraha, "Angkatan 66 dalam Kesusasteraan Kita", dalam Horison, Th. I, No. 6, Des. 1966, hlm. 188-189.
ooo0ooo

Alexander Supartono
"LEKRA vs MANIKEBU: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965."
Skripsi STF Driyarkara, Jakarta 2000
Pengantar
Seperti diuraikan dalam bab sebelumya, provokasi politik telah menghentikan komunikasi produktif kalangan kebudayaan Indonesia. Provokasi itu menyeret dialog berbagai tema penting dalam rangka pembangunan kebudayaan Indonesia baru masa depan ke kancah politik praktis, dalam artinya yang negatif: pertarungan kekuasaan. Seruan Surat Kepercayaan Gelanggang untuk membangun integritas individu pencipta budaya, dengan landasan kebebasan kreatif yang demokratis, disertai wawasan internasional, gagal berpadu dengan gagasan Lekra untuk menghancurkan kebudayaan semi-kolonial dan semi-feodal sebagai prasyarat pertumbuhan kebudayaan rakyat. Kegagalan yang disebabkan oleh seretan arus politik yang semakin memanas mendekati dekade 1960-an. Semakin lama ruang-ruang dialog itu semakin sempit, sampai akhirnya benar-benar tertutup.
Ketertutupan ruang dialog budaya ini menunjukkan hasil-hasilnya pada paruh pertama tahun 1960. Komunikasi yang terjadi antar aktivis kebudayaan masa itu, semakin lama semakin menjauhi peradaban. Dua landasan konseptual, Mukadimah Lekra dan Manifes Kebudayaan, dari mana dialog itu seharusnya berakar, ditinggalkan begitu saja. Memang kadang masih dikutip di sana-sini, tapi hanya dalam kepentingan membuat pernyataan dan seruan yang sloganistik. Dibandingkan dengan keadaan 10 tahun sebelumnya, apa yang terjadi di tahun 1960-an adalah kemunduran yang sangat serius. Kemunduran inilah yang memberi pijakan pada berdirinya sebuah politik dehumanisasi kebudayaan yang dipraktekkan Orde Baru pasca 1965, selama lebih dari 30 tahun.
Padahal ranah kebudayaan bangsa ini mempunyai tradisi perbincangan, dialog, debat bahkan pertempuran yang panjang dalam sejarahnya. Kita mengenal apa yang disebut gerakan kultural "Djawa Dipa" di tahun 1917, Taman Siswa yang sekarang masih kita rasakan kemegahannya sudah berdiri sejak tahun 1922, "Pujangga Baru" sebagai tandingan lembaga kebudayaan kolonial "Balai Pustaka" memulai geraknya tahun 1933, sampai dengan yang paling terkenal "Polemik Kebudayaan" di tahun 1935. Tapi kalau melihat yang justru terjadi justru di era kemerdekaan, sama sekali tidak menunjukkan jejak-jejak tradisi itu. Mengapa tradisi itu putus?
Bagian di bawah ini akan memaparkan gerakan-gerakan kebudayaan di atas, dengan memberikan perhatian utama pada gagasan-gagasan yang dibawa. Bagaimana gagasan-gagasan itu didialogkan dengan situasi jamannya. Bagaimana proses gagasan yang diprakarsai pertama oleh golongan elit berpendidikan yang punya kesempatan bersentuhan dengan ide-ide modern itu, menjadi kepunyaan masyarakat banyak, untuk kemudian tumbuh menjadi gerakan kebudayaan massa untuk menentang kolonialisme.
Djawa Dipa: Dari Anti Feodal Anti Kolonial1)
Gerakan ini berangkat dari suatu pemikiran bahwa hirarki yang ada dalam bahasa Jawa, tata krama dan unggah-ungguh-nya, yang dipraktekkan dan dilanggengkan selama ratusan tahun, telah menyebabkan mental rakyat Jawa menjadi penakut, merasa menjadi budak, rendah diri dan tidak pernah berani menyuarakan hak-haknya, apalagi menyuarakan kebenaran. Hirarki bahasa yang berakar pada feodalisme ini dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan gerak kemajuan jaman. Ide-ide modern2) revolusi Perancis yang mulai masuk ke Hindia Belanda pada masa itu membawa semangat pembebasan yang mensyaratkan persamaan dan anti- feodal. Karena itu tiga tingkatan dalam bahasa Jawa3) harus dihapuskan, dan dipakai satu bahasa Jawa saja yaitu: Ngoko. Bahasa yang selama ini dipakai rakyat biasa. Dengan memakai satu bahasa ini maka persamaan itu akan dicapai dan feodalisme bisa dilenyapkan.
Pada awalnya adalah pergaulan antara pegawai rendahan pemerintahan kolonial Belanda dengan tokoh-tokoh pergerakan pada masa itu. Dari sinilah ide persamaan itu ditularkan, sehingga para pegawai rendahan ini melihat bahwa tidak ada alasan lagi untuk mempertahankan hirarki bahasa Jawa. Membongkar dan menghancurkan seluruh hirarki bukanlah pekerjaan yang mudah. Apalagi mereka menyadari bahwa pemerintah kolonial Belanda mengambil keuntungan dari langgengnya feodalisme ini. Maka, langkah yang harus dilakukan setelah menolak penggunaan bahasa Jawa Krama dan adat-istiadat yang membedakan status sosial dalam pekerjaan maupun kehidupan sehari-hari, adalah dengan mengubahnya menjadi sebuah gerakan kebudayaan populer.
Gerakan ini pertama muncul di kota Surabaya4) tahun 1914. Mengambil nama Djawa Dipa yang berarti "Sinar Jawa", sinar yang akan memberi pencerahan pada rakyat Jawa. Pelopornya adalah seorang anggota redaksi suratkabar Oetoesan Hindia, Tjokrosoedarmo dan Tjokrodanoedjo. Keduanya adalah pimpinan Serikat Islam Surabaya. Dalam pidato pendeklarasian gerakan ini, Tjokrosoedarmo menyatakan bahwa aturan bahasa Jawa, sekaligus tata kramanya, yang ada sekarang hanya membuat sengsara rakyat saja, dan menghambat kemajuan bangsa Jawa. Karena itu dia mengusulkan aturan-aturan yang tidak patut buat manusia itu dihapuskan. Diharapkan dengan pemakaian bahasa yang mengandung semangat kesetaraan akan tumbuh keberanian untuk mengungkapkan ekspresi ketidak-adilan yang selama ini mereka terima. Langkah nyata diwujudkan dengan menghapus seluruh gelar kebangsawanan yang menandakan perbedaan kelas. Menggantinya dengan panggilan "wiro" untuk laki-laki, "Woro" untuk perempuan yang sudah menikah, dan "roro" untuk perempuan yang belum menikah. (Siraishi 1997, 143)
Gerakan ini dengan sendirinya mendapatkan tentangan dari kalangan pejabat pemerintah kolonial dan priyayi tinggi. Penghapusan bahasa 'halus' dan adat istiadat ini bukan saja dianggap sebagai penghinaan terhadap kebudayaan Jawa yang adhiluhung, tetapi juga akan mengganggu tatanan sosial yang telah mereka pertahankan selama ratusan tahun. Selain itu mereka juga merasa kedudukannya sebagai patron kebudayaan Jawa di dalam birokrasi kolonial terancam. Untuk menghadapi ancaman ini, pada 1918 mereka selenggarakan Konggres Keboedajaan Djawa yang menyatakan bahwa Gerakan Djawa Dipa merupakan gerakan yang tidak nasionalis Jawa dan mengganggu hubungan kawula-gusti.
Tentangan dari kaum ambtenaar tidak menyurutkan gerak Jawa Dipa. Ia terus berkembang ke seluruh pergaulan kehidupan, baik di bidang belajar-mengajar maupun dalam hubungan kerja. Pada 1918 terjadi pemogokan para siswa Holland Inlandsche School (HIS) di Semarang yang menuntut para gurunya untuk tidak menggunakan bahasa Jawa rendahan, tetapi bahasa Jawa Ngoko, Melayu atau Belanda. Pemogokan yang berlangsung dua hari itu telah membuat para guru yang rata-rata orang Belanda untuk melaporkannya kepada pihak Het Kantoor Voor Inlandsche Zaken (Kantor Urusan Bumiputra). Dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa para murid yang mayoritas keturunan priyayi kecil dianggap telah melawan kekuasaan kolonial karena menurut aturan seorang bumiputra yang hanya keturunan priyayi kecil, atau bahkan tanpa mempunyai ikatan darah bangsawan samasekali, tidak mempunyai hak untuk berbicara dalam bahasa Belanda atau Melayu; mereka harus berbicara dalam bahasa Jawa Kromo yang berbelit-belit.
Di bidang lain, yaitu perburuhan, seorang tokoh pergerakan yang dikenal dengan sebutan Staking Koning (Si Raja Mogok), Soerjopranoto, juga sangat mendukung Gerakan Djawa Dipa. Menurutnya, dengan mengubah adat bahasa secara radikal, ada dua hal yang hendak dicapai oleh gerakan ini, yaitu agar terjalin persahabatan yang demokratis dan bebas diantara sesama teman sependeritaan dan seperjuangan, dan agar ada kebersamaan yang wajar di kalangan rakyat kecil untuk menghadapi majikan, kaum ningrat, dan pemerintah kolonial yang memegang kekuasaan.
Walaupun awalnya gerakan ini berkonsentrasi melawan feodalisme Jawa, setelah melalui perdebatan serius, ia meluas menjadi Gerakan Hindia Dipa pada 1921. Arti Hindia Dipa adalah "cahaya yang menyinari Hindia" atau Hindia yang telah memperoleh penerangan. Sebagaimana tercantum dalam surat kabar gerakan ini, Hindia Dipa, 18 April 1921, "Hindia Dipa berarti Hindia terang, setuju dengan cita-cita kita akan membersihkan kecemaran yang ada di Hindia supaya awan yang gelap musnah, tinggal terangnya".
Perluasan gerakan ini terutama mendapat dukungan dari Tjipto Mangoenkoesoemo5) dan Soewardi Soerjaningrat, yang melihat bahwa ada kaitan erat antara gerakan ini dengan hubungan-hubungan yang bersifat kolonial. Mereka melihat bahwa memperjuangkan kemajuan rakyat merupakan perjuangan seluruh rakyat Hindia, bukan hanya rakyat Jawa saja. Di samping itu, mereka menganggap mempersoalkan kebudayaan Jawa tidak relevan lagi; yang harus menjadi tumpuan gerakan ini bukanlah serangan yang diarahkan pada para priyayi saja, tetapi juga pada penguasa kolonial yang mempergunakan kebudayaan Jawa untuk kepentingan mereka.
Tahun 1922 gerakan ini mengalami kemandegan. Sebab dari kemandegan ini menarik untuk dibahas. Masalah mulai muncul justru ketika gerakan ini meluas menjadi Hindia Dipa. Dengan demikian tidak hanya mengacu masyarakat Jawa, tapi ke seluruh wilayah Hindia Belanda. Ide awal dari gerakan ini untuk melawan feodalisme jawa dengan menggunakan bahasa Ngoko kemudian menjadi tidak relevan lagi. Di sini kita melihat sebuah pergeseran gagasan (dalam arti perluasan) dari perubahan penggunaan bahasa menjadi pembicaraan tentang embrio bangsa (nasion). Perluasan gerakan ini menunjukkan tumbuhnya kesadaran kebangsaan di kalangan pergerakan di Jawa; dari semangat anti feodalisme ke anti kolonialisme. Yang dipertahankan adalah gagasan yang lebih luas lagi, yaitu gerakan pembebasan yang memberi dasar pada gerakan kebudayaan selanjutnya yang tumbuh.
Taman Siswa: Pendidikan Anti Feodal dan Anti Kolonial
Gagasan utama pembebasan Djawa Dipa menentang feodalisme dan ditambah dengan menentang kolonial dalam Hindia Dipa melalui pendidikan secara massal memberi inspirasi bagi Ki Hadjar Dewantara untuk mendirikan sekolah liar (Wilde Schoolen) bagi kaum pribumi pada 1922. Melalui sekolah ini Ki Hadjar mempertahankan sikap penolakan terhadap Nasionalisme Jawa dan mengembangkan ide kebangsaan yang internasionalis. Menurut hematnya, pembebasan manusia dari cengkeraman keruntuhan moral bisa terwujud hanya kalau kebudayaan Jawa lenyap dan orang Jawa menjelma menjadi manusia Hindia yang sanggup berinteraksi dengan masyarakat internasional.
Sekolah liar di atas kemudian kita kenal sebagai Taman Siswa. Menarik di sini adalah proses bagaimana KHD berpindah haluan dari perjuangan politik dan kembali ke basis: pendidikan. KHD awalnya dikenal sebagai pendiri partai pertama di Hindia Belanda, Indische Partij tahun 1912 bersama dr. Douwes Dekker dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Partai dengan anggota terbatas ini bertujuan membentuk pemerintahan independen yang terpisah dari pemerintahan kolonial. Menjelang peringatan 100 tahun pembebasan Belanda dari Perancis tahun 1913, KHD (waktu itu masih bernama Soewardi Soerjaningrat) menulis sebuah pamflet politik berjudul "Seandainya Aku Orang Belanda". Pamflet ini mengutuk kelakuan Belanda yang tidak tahu malu merayakan kemerdekaan mereka di tanah jajahan.6) Pamflet ini dengan cepat membangkitkan kemarahan pemerintah kolonial, mereka bertiga kemudian ditangkap dengan tuduhan menyebarkan kebencian pada pemerintah dan dibuang ke Belanda.
Selama dalam pembuangan inilah KHD mulai belajar tentang sistem pendidikan Eropa, memberikan perhatian pada aktivitas-aktivitas kultural, sambil memikirkan kemungkinan-kemungkinan penerapannya di Hindia Belanda. Pada masa ini pula KHD terpengaruh ide-ide Shantiniketan, sekolah Rabindranath Tagore di India,7) yang menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk membangkitkan kesadaran nasional pada rakyat Hindia Belanda adalah dengan pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai kebudayaan asli.
Kembali ke Indonesia tahun 1919, KHD bersama dua kameradnya Dekker dan Tjipto sempat mendirikan partai baru, National Indische Partij. Namun tekanan yang semakin keras pada aktivitas politik dari pemerintah kolonial membuat KHD memikirkan kembali kemungkinan pendidikan sebagai jalan pembebasan nasional. Karena itu KHD memilih bergabung dengan Pagujuban Selasa Kliwon,8) yang kemudian menjadi embrio Taman Siswa.
Pengalaman KHD berinteraksi dan berkerja dengan berbagai kelompok kebudayaan dan politik di dalam dan luar negeri, membawanya pada keyakinan bahwa sistem pendidikan kolonial tidak hanya konservatif dan anti demokrasi, tapi juga membunuh pertumbuhan kebudayaan asli. Sistem ini menciptakan strata kelas dalam masyarakat, di mana masyarakat Belanda dan kalangan bangsawan yang mendapatkan pendidikan terbaik, sedangkan sebagian besar rakyat hanya mendapat pendidikan ala kadarnya, atau malah sama sekali tidak mendapat pendidikan. Selain itu, sistem yang mengacu pada sejarah dan kebudayaan Eropa ini menghasilkan intelektual lokal yang hampir buta kebudayaannya sendiri. Proses "mengimitasi" kebudayaan Eropa ini dilihat KHD sebagai akar dari rasa rendah diri rakyat jajahan, yang pada gilirannya menghambat bangkitnya kesadaran nasional. Tanpa harga diri dan kebanggaan akan sejarah dan budaya sendiri, tidak mungkin mengalahkan superioritas kolonialis, demikian KHD menegaskan.
Namun, Ki Hadjar pun menyadari bahwa memusnahkan suatu kebudayaan yang berusia ratusan tidak bisa dilakukan serta merta. Kaum intelektual yang mendapat akses lebih luas pada ilmu pengetahuan dan bersinggungan dengan kebudayaan lain di dunia mungkin tak menghadapi banyak kesulitan mengintegrasikan konsep-konsep baru. Sedangkan rakyat negeri agraris yang masih terkungkung dan tertindas oleh struktur masyarakat feodal memiliki logika pemahaman sendiri tentang gerak pembebasan.
Berangkat dari pemandangan ini Ki Hadjar mencoba menerapkan sistem pendidikan yang pada dasarnya merupakan perkawinan antara konsep pengajaran tradisional, dalam hal ini kebudayaan Jawa, yang menekankan segi spiritual dan moral dengan pendidikan modern yang lebih memberikan ketrampilan teknis. Usaha Ki Hadjar ini segera mengundang kritikan dari berbagai pihak, termasuk dari kawan seperjuangannya, Tjipto Mangoenkoesoemo. Tjipto melihat bahwa ide Ki Hadjar memasukkan kebudayaan Jawa dalam sistem pendidikan hanya akan melemahkan gerakan anti-kolonialisme. Jawa sebagai entitas budaya dan politik sedang sekarat sehingga lebih baik membuangnya sama sekali dan berkonsentrasi pada gerakan politik. Tanpa kemerdekaan di bidang politik perjuangan di wilayah kebudayaan menjadi tak berarti. Bagi Tjipto, yang menyatukan seluruh rakyat Hindia Belanda bukanlah kesamaan sejarah, atau tradisi, tapi kepentingan material yang sama.9) Melainkan kesamaan kepentingan atas sumber penghidupan, alat produksi yang sekarang dikuasai kolonial.
Ki Hadjar berargumen bahwa ada segi-segi kebudayaan Jawa yang tidak feodalistis yang perlu dihidupkan agar rakyat memiliki rasa percaya diri yang lebih besar. Baginya kemerdekaan politik tak akan bertahan apabila bangsa ini masih terjajah di bidang kebudayaan. Lebih jauh lagi, ketika Tjipto mengatakan bahwa begitu Hindia Belanda merdeka, perkawinan budaya Indonesia dan Eropa akan terjadi dengan sendirinya, Ki Hadjar menihilkannya. Tak akan terjadi suatu perkawinan budaya yang demokratis apabila kedudukan pihak-pihak yang berasimilasi tidak setara. Yang terjadi nantinya bukanlah suatu sintesa, tetapi penjajahan satu budaya oleh budaya lainnya.10)
Polemik Kebudayaan: Bukan Pilihan "Barat" atau "Timur".
Perdebatan antara Tjipto dan Ki Hadjar boleh dikatakan mengawali perdebatan panjang dan sengit di bidang kebudayaan yang berlangsung pada pertengahan 1930-an. Dikenal dengan nama "Polemik Kebudayaan", silang pendapat yang terjadi di kalangan pemikir kebudayaan pada saat itu seringkali dipahami sebagai debat antara kubu modernis dan tradisionalis, atau kubu pro-Barat dan pro-Timur. Penyederhanaan peristiwa ini secara langsung maupun tidak mempengaruhi cara pandang umum tentang kebudayaan Indonesia. Pembaca sejarah dibuat memilih salah satu dan mengabaikan yang lainnya, seakan-akan kebudayaan Indonesia bergerak dalam bidang linear yang dibagi tegas antara sisi Timur dan Barat, atau sisi modern dan tradisional. Padahal ketika diperhatikan dengan baik tampak jelas bahwa semua pihak yang terlibat dalam polemik itu boleh dibilang kaum modernis, mereka menerima ilmu pengetahuan modern dan toleran terhadap apa yang mereka pahami sebagai 'kebudayaan barat'. Lebih jauh lagi, mereka sama-sama menentang tradisi 'feodal' Jawa kolonial. Tak satu pun percaya bahwa kebudayaan "Indonesia Baru" harus sepenuhnya diambil dari kebudayaan elit tradisional, atau pun bulat-bulat dari kebudayaan rakyat.
Kalau kita melihat satu-satunya buku tentang Polemik Kebudayaan tahun 1930-an yang terbit, kita akan sangat kesulitan menangkap konteks keseluruhan masalah yang diperdebatkan. Karena Achdiat K.. Mihardja sebagai editor buku ini tidak lebih dari menjalankan fungsi sebagai pengumpul tulisan-tulisan dari orang-orang yang terlibat dalam perdebatan ini. Tidak ada pengantar yang memberikan konteks sejarah perdebatan ini pada masanya. Misalnya tidak diterangkan mengapa sampai muncul perdebatan itu, atau bagaimana perdebatan itu berpengaruh pada kehidupan kebudayaan pada masanya. Apalagi menghubungkan perdebatan itu dengan gerakan nasionalisme yang sedang gencar-gencarnya di tahun 1930-an. Sebagai satu-satunya buku yang diacu bila orang membicarakan Polemik Kebudayaan 1930-an, buku ini tidak memadai. Karena orang harus mencari sendiri konteks historis perdebatan ini dengan memperhatikan bacaaan-bacaan sejaman dan kecenderungan-kecenderungan apa saja yang dominan di kalangan aktivis kebudayaan pada masa itu.11)
Dalam artikel bertajuk "Menudju Masjarakat dan Kebudayaan Baru",12) Sutan Takdir Alisjahbana mengajukan pendapat bahwa bangsa Indonesia harus berguru pada Barat. Sementara dengan gaya lugas, dia hantamkan pendapatnya pada setiap pemikiran yang masih terpaku pada kebudayaan masa lalu. Baginya, sejarah Indonesia dimulai abad ke-20. Baru pada abad inilah muncul suatu generasi baru, suatu generasi yang secara sadar berniat merambah jalan baru bagi bangsanya. Suatu generasi yang telah menikmati pendidikan Barat. Sebelum itu, dia anggap sebagai
zaman prae-Indonesia, zaman djahiliah ke-Indonesiaan, jang hanja mengenal sedjarah Oost Indische Compagnie, sedjarah Mataram, sedjarah Atjeh, sedjarah Bandjarmasin, dll. (Alisjahbana 1935)
Dengan demikian, segala cerita besar di masa lalu, entah itu Majapahit atau Sriwijaya, sebaiknya dibiarkan tenggelam dalam keheningan masa lalu. Kebudayaan Indonesia tidak terikat pada masa lalu mengingat problematika zaman kini membutuhkan "alat" atau "ramuan" baru yang tidak terdapat di masa lalu. Setelah menerima kritik-kritik tajam ia mengakui bahwa elemen masa lalu, termasuk kebudayaan daerah, walaupun tidak segera menghilang namun kelak akan tersapu oleh tuntutan zaman modern yang bersifat niscaya.
Dalam pandangan STA, masyarakat prae-Indonesia selama berabad-abad adalah masyarakat statisch, yang mati dan perlu disuntik dengan nilai-nilai kebudayaan Barat yang dynamisch, yang hidup. Karena, demikian ia memberi pembenaran, hanya suatu masyarakat yang dinamis yang dapat bersaing dalam masyarakat bangsa-bangsa. Dan bangsa Indonesia perlu mempelajari "alat" dari bangsa-bangsa yang waktu itu dia nilai tinggi kebudayaannya: Eropa, Amerika, Jepang.
Tulisan ini mendapat tanggapan dari Sanusi Pane dan Dr. Purbatjaraka. Pada intinya, keduanya beranggapan bahwa ada perbedaan kebudayaan dan nilai-nilai yang dianut Barat dengan Indonesia yang Timur sehingga, idealnya, perlu dicari perpaduan dari kelebihan masing-masing.
Ada beberapa catatan yang bisa diberikan pada "polemik jilid satu" ini. Pertama, tulisan-tulisan ini muncul dalam semangat Sumpah Pemuda yang terjadi beberapa tahun sebelumnya. Peristiwa ini menyebarkan optimisme ke pemuda-pemuda terdidik mengenai suatu "masyarakat imajiner" yang bernama Indonesia.
Kedua, seperti ditulis Takdir yang bisa jadi tidak menyadari adanya ironi tersembunyi dalam pernyataannya sendiri, bahwa ide dan pengorganisasian "nasionalisme" tersebut dibentuk oleh hikmah belajar dari pendidikan Barat, yakni Belanda sang kolonial. Dengan demikian, kesadaran politis mereka tentang ke-Indonesiaan terbentuk oleh kacamata Belanda dan belum tentu diikuti oleh "nasionalisme" budaya seperti dalam kasus STA, atau lebih lanjut menggunakan kebudayaan sebagai strategi membangun nasionalisme seperti yang dilakukan Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswanya.
Ketiga, sebenarnya STA bukan orang pertama yang mengungkapkan sikap menolak kebudayaan sendiri dan mengutamakan kebudayaan Barat. Sejak berdirinya Djawa Dipa 1914, Tjipto Mangunkusumo telah dengan tajam melontarkan kritik-kritiknya terhadap kebudayaan Jawa yang feodal dan mulai membusuk karena sudah kehilangan kedaulatannya. Menurutnya, sumber utama kelemahan orang Jawa adalah kurang memiliki semangat perlawanan sehingga bisa begitu lama dijajah. Dan berbeda dengan Takdir yang terlihat memunggungi Timur dan sangat memuja Barat, Tjipto lebih melihat hambatan bagi kemajuan bangsa Hindia adalah kolonialisme karena, menurutnya:
"[p]ertentangan fundamental itu bukan antara Timur dan Barat atau antara orang-orang Hindia dan non-Hindia tetapi antara dominasi dan subordinasi, apapun bentuknya".13)
Dan obat untuk menghilangkan penyakit bangsa ini, menurut Tjipto adalah membangkitkan semangat perlawanan rakyat bumiputera.
Keempat, mengingat semangat yang melingkupi polemik itu adalah persiapan untuk menyongsong masyarakat baru, Indonesia dengan rancangan kebudayaan yang paling mendukung, maka jalan yang diambil adalah pendidikan bagi generasi mendatang. Dengan demikian, polemik bergeser pada masalah pendidikan.
Pada tanggal 8 -10 Juni 1935 diadakan konggres Permusyawaratan Perguruan Indonesia yang pertama di Solo. Dalam artikel "Sembojan jang Tegas" yang dimuat dalam majalah Pudjangga Baru, STA memberikan kritik-kritik terhadap konggres itu yang tak lama kemudian menyulut polemik. Seperti bisa diduga, pada kesempatan ini pun STA menganjurkan bangsa ini mengarahkan mata ke Barat.
Dalam pengamatannya, para pembicara dalam konggres, antara lain Ki Hadjar Dewantoro, dr. Sutomo, dr. Radjiman Wediodiningrat, menyodorkan kecemasan-kecemasan yang sebenarnya tidak beralasan. Mereka mencemaskan pendidikan yang terlalu menekankan intellectualisme, individualisme, egoisme, dan materialisme. Padahal, demikian Takdir berpendapat, nilai-nilai inilah yang justru kurang atau tidak ada dalam masyarakat Indonesia sehingga perlu dihidangkan sebagai menu pendidikan dalam jumlah yang cukup besar. Agar cepat bisa mengejar kebudayaan Barat yang melaju di depan, bangsa Indonesia harus melahap nilai-nilai yang dianggap Takdir nilai-nilai kunci kebudayaan Barat yang dinamis, yang hidup. Dalam rumusannya yang berapi-api,
Otak Indonesia harus diasah menjamai otak Barat!
Individu harus dihidupkan sehidup-hidupnya!
Keinsjafan akan kepentingan diri harus disadarkan se-sadar-sadarnja!
Bangsa Indonesia harus diandjurkan mengumpulkan harta dunia sebanjak-banjak mungkin!
Kesegala djurusan bangsa Indonesia harus berkembang !" 14)
Sebagian pemrasaran dalam kongres pendidikan di Solo menanggapi Sembojan jang Tegas. Dr. Sutomo, misalnya, mengakui kehebatan intelektualisme Barat dan itu memang baik adanya untuk bahan rujukan. Namun, konggres itu adalah konggres Pemusjawaratan Perguruan Indonesia. Dalam kesempatan itu, mereka ingin menyusun suatu pendidikan yang sempurna bagi bangsa Indonesia dengan belajar dari pengalaman bangsa-bangsa lain, termasuk pendidikan Barat yang sangat kuat dalam hal asah akal (intelektualisme). Tapi masalahnya, menurut Sutomo, para ahli-ahli pendidik Eropah pun mulai resah karena menyadari kekurangan dan kesalahannya "kalau dengan te(r)dasnya akal itu lain-lain alat kemanusiaan tidak bersama dikembangkannja." Bangsa Indonesia tidak perlu mengulang kesalahan yang sama dan menghindari ekses-ekses intelektualisme dengan mengembangkan "alat-alat kemanusiaan" lain, yakni rasa dan karsa atau seni dan moral !
Dari perdebatan tentang intelektualisme dan kemudian berlanjut pada perdebatan tentang individualisme dan meterialisme, bisa diberikan catatan di sini. Meskipun Takdir di satu pihak dan Sutomo maupun Ki Hadjar Dewantara di pihak lain berbeda sikap terhadap intelektualisme, individualisme, materialisme, namun mereka memiliki persamaan. Kedua-duanya adalah hasil didikan Belanda. Kebudayaan Barat tidak seluruhnya ditolak, bahkan oleh Sutomo dan Ki Hadjar Dewantara yang sering dicap tradisonalis. Perbedaan terletak pada perbedaan cara pandang mereka mengenai kedudukan nilai-nilai Barat itu sendiri dan hubungan antara kekuasaan dan kebudayaan.
Posisi Takdir jelas. Pemujaannya pada Barat disertai dengan keyakinan bahwa nilai-nilai itu netral, bebas nilai. Akibatnya ia tidak bisa secara jeli melihat kepentingan kekuasaan yang bermain dalam kebijakan pemerintah kolonial Belanda untuk memberi sesuap pengetahuan Barat dalam wujud pendidikan zaman Belanda, yakni menyediakan tenaga pribumi untuk melancarkan roda pemerintah kolonial Belanda di samping menghibur hati kaum ethisi di negeri Belanda. Tak mengherankan bila Takdir dan Pudjangga Baru-nya tidak pernah melontarkan sikap kritis terhadap kolonialisme Belanda. Sikap yang didasari pada keyakinan bahwa kebudayaan tiada bersangkut paut dengan politik. Posisi yang dia yakini seumur hidup seperti terlihat dalam Konggres Kebudayaan tahun 1951 di Solo maupun Konggres Kebudayaan tahun 1991 di Jakarta!15)
Posisi Ki Hadjar Dewantara berbeda. Ia menyadari bahwa pendidikan Barat yang sering mengklaim humanis ternyata tidak sehumanis klaimnya dalam penerapannya di Hindia Barat. Ada keterbatasan-keterbatasan yang tidak menguntungkan kaum pribumi. Pertama, pendidikan tersebut bersifat elitis sehingga tidak menjangkau rakyat jelata. Kedua, pendidikan yang berorientasi ke negeri Belanda menjauhkan elite Indonesia dari seluruh bangsanya dan menumpulkan langkah pembentukan kesadaran kolektif sebagai suatu bangsa. Ketiga, sebagai akibat logisnya, elite terdidik Indonesia yang sudah ke-Belanda-belandaan dalam artian berpenampilan, berbahasa sehari-hari Belanda, lebih suka menjadi Belanda berkulit sawo matang. Tanpa kebanggaan dan terutama pengetahuan yang cukup pada masa lalu dan kebudayaan sendiri, apa yang bisa diharap selain ketundukan dan kekaguman berlebihan pada kebudayaan yang lebih berkuasa, kebudayaan sang penjajah?
Menyadari kedudukan strategis kebudayaan, Ki Hadjar Dewantara terdorong untuk mengurangi aktivitas politik praktisnya dan mendirikan pendidikan Taman Siswa. Ia belajar banyak dari model pendidikan Tagore di India. Dalam perguruannya kemampuan estetis dan etika diberi porsi besar dengan harapan terbentuk manusia-manusia Indonesia yang cerdas sekaligus berbudi luhur dari manusia-manusia baru inilah disandarkan harapan terbangunnya kemerdekaan budaya, di samping kemerdekaan politis bangsa Indonesia.
Seperti tampak di atas, perbedaan mendasar justru muncul ketika konsep-konsep yang beradu ini dikaitkan dengan gerakan pembebasan nasional melawan kekuasaan negara kolonial, seperti pernah dinyatakan Tjipto Mangoenkoesoemo di atas. Diwakili oleh pandangan Sutan Takdir Alisjahbana dan Ki Hadjar Dewantara, posisi berseberangan ini kelak menentukan arah perkembangan kebudayaan nasional Indonesia dan masalah yang dihadapinya.
Jelas bahwa yang jadi keprihatinan utama dalam perdebatan di masa 1930an ini sebenarnya adalah persoalan demokrasi. Apakah tradisi tertentu perlu dibawa serta atau dibuang dalam perkembangan suatu bangsa, erat hubungannya dengan bagaimana para pemikir kebudayaan membayangkan kehidupan yang lebih demokratis dan bagaimana mereka rumuskan visi politik dan moral bangsa yang diharapkan akan lahir. Sejarah menunjukkan bahwa upaya perumusan konsep kebudayaan nasional senantiasa 'terganggu' oleh pergolakan politik di jamannya: pendudukan Jepang, diikuti dengan pertempuran paska-kemerdekaan, dan pertarungan ideologis yang berakhir dengan tragedi berdarah 1965.
Catatan:
1) Untuk bagian ini, sebagain besar acuan diambil dari Thamrin, Muhammad Husni, 1992, Sama Rata, Sama Rasa, Sama Bahasa: Tentang Gerakan Djawa Dipa 1917-1922, Jakarta, Skripsi S1, Jurusan Sejarah FS UI. Sejauh diketahui penulis, baru skripsi ini yang secara khusus membahas Djawa Dipa. Selebihnya sedikit disinggung dalam Siraishi, Takashi, 1997, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti hlm. 143-149. Atau pada tulisan Anderson, Ben., 1983, "Sembah Sumpah: Politik Bahasa dan Kebudayaan Jawa", dalam Prisma No. 11 November 1983, hlm. 67-97
2) Tentang proses masuknya ide-ide modern ini lihat misalnya, McVey, Ruth, 1990, "Teaching Modernitiy: The PKI as An Educational Institution", dalam Indonesia, Anniversary Edition, No. 50 Oktober 1990. Atau dalam Razif 1994, "'Bacaan Liar': Budaya dan Politik Pada Zaman Pergerakan," Jakarta, Manuskrip Penelitian
3) Dalam bahasa Jawa dikenal tiga tingkatan, dari yang kasar ke yang hlm.us: Ngoko, Madya, Krama. Dipakai seturut kelas sosialnya, dengan aturan: "semakin ke atas semakin halus, semakin ke bawah semakin kasar".. Artinya orang lebih rendah kelas sosialnya harus memakai bahasa yang lebih hlm.us kalau bicara pada orang yang lebih tinggi kelasnya. Sebaliknya kelas sosial yang lebih tinggi memakai bahasa yang lebih kasar ke kelas yang lebih rendah.
4) Kota Surabaya memang punya karekter tersendiri. Dalam sejarahnya, kabupaten inilah yang ditaklukkan Mataram paling terakhir. Jadi pengaruh budaya Mataram paling terlambat datang ke kota ini, dibanding kota-kota lain di Jawa. Orang sering menyebut dialek bahasa Jawa orang Surabaya, dan wilayah Jawa Timur pada umumnya, adalah yang paling kasar.
5) Pada awalnya Tjiptomanoenkoesoemo tidak begitu antusias dengan gerakan ini. Karena seranganya pada kaum priyayi dan bangsawan dianggap bisa melemahkan persatuan kaum gerakan. Lihat, Muhammad Husni Thamrin, "Sama Rata, Sama Rasa, Sama Bahasa: Tentang Gerakan Djawa Dipa 1917-1922" 1992, hlm 51. Kemudian Tjipto mendukung gerakan ini setelah melihat gerakan ini pelan-pelan meluas, dan memahaminya sebagai ekspresi khas orang Jawa tentang demokrasi. Lihat Siraishi 1997, hlm. 143
6) Naskah lengkap pamflet ini, dalam versi Indonesia dan Belanda, bisa dilihat di Dewantara, Ki Hadjar, 1952, Dewantara, Dari Kebangunan Nasional sampai Proklamasi Kemerdekaan, Jakarta, N.V. Pustaka dan Penerbit Endang, hlm. 250-262.
7) Ratih, I Gusti Agung Ayu, 1997, Reconsidering the "Great Debate": the Formation of Indonesian National Culture, Kertas Kerja, hlm. 10
8) Sebuah kelompok studi religius yang mau mensintesakan paham Jawa akan kebahagiaan dan kebijaksanaan dengan paham modern: demokrasi.
9) Pembahasan lebih jauh tentang posisi dan pemikiran Tjipto, lihat Balfas, M., 1957, Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Demokrat Sedjati, Jakarta, Penerbit Djembatan, terutama pada bab 5 dan 6.
10) Lebih jauh tentang kritik KHD terhadap Tjipto ini lihat, Dewantara, Ki Hadjar, Dewantara, 1967, "Bagaimana Kedudukan Bahasa-Bahasa Pribumi (djuga bahas Tionghoa dan Arab) Di Satu Pihak dan Bahasa Belanda Di Lain Pihak, Dalam Pengadjaran?", dalam Karja Ki Hadjar Dewantara, Bagian II A: Kebudajaan, Yogyakarta, Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Kertas kerja ini pertama kali dipresentasikan dalam Kongres Pendidikan Kolonial di Hague, 28 Agustus 1916.
11) Mihardja 1954, untuk pembahasan yang meletakkan polemik ini pada konteks historisnya, dengan memberi latar belakang tentang Taman Siswa dan Pujangga Baru, lihat Ratih 1997
12) Alisjahbana, Sutan Takdir, 1955, "Menuju Masyarakat dan Kebudajaan Baru", dalam Pudjangga Baru, Th. III No 2, Agustus 1935
13) Seperti dikutip dalam Takashi Siraishi, Zaman Bergerak, 1997, hlm. 164
14) Alisjahbana, Sutan Takdir, "Semboyan Yang Tegas: Kitik Terhadap Beberapa Pare Advis Kongres Permusjawaratan Perguruan Indonesia", dalam Mihardja 1954, hlm. 42
15) Lihat Alisjahbana, Sutan Takdir, "Sejarah Kebudayaan Indonesia Masuk Globalisasi Umat Manusia", Prasaran dalam Kongres Kebudayaan 29 Oktober 1991.
Alexander Supartono
"LEKRA vs MANIKEBU: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965."
Skripsi STF Driyarkara, Jakarta 2000
Pengantar
Membaca runut paparan dari bab I sampai bab III, dalam kepentingan menarik sebuah benang merah pengisi bab terakhir ini, kita akan menemui sebuah kegagalan. Pokok yang dipaparkan di bab I, terbantah oleh pokok yang dipaparkan di bab II, dan semakin jauh sambungannya dengan paparan pada bab III. Dan kalau ketiga bab tersebut dihubungkan dengan tema utama seluruh tulisan ini, maka hasilnya adalah sebuah sangkalan: bahwa "perdebatan kebudayaan pada tahun 1960-an, tidak pernah terjadi".
Dari bab III, kita melihat tradisi perdebatan kebudayaan dalam sejarah Indonesia modern sudah dimulai sejak awal abad 20 lalu, ketika ke-Indonesia-an mulai dipikirkan dan dipraktekkan dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pertukaran gagasan atau perdebatan yang terjadi memang selalu diawali oleh para elit intelektual, yaitu mereka yang sudah tersentuh ide-ide modern dan berpendidikan Barat. Namun ketika gagasan ini mulai disebarkan dan menjadi milik banyak orang, dia menjadi gerakan, sebuah gerakan kebudayaan.
Djawa Dipa yang awalnya adalah gerakan budaya melawan feodalisme Jawa, meluas menjadi Hindia Dipa, gerakan melawan kolonialisme. Perubahan terjadi setelah disadari bahwa ketertindasan tidaklah cukup hanya diselesaikan dengan kesetaraan budaya, tapi juga harus juga ada kesetaraan ekonomi. Gerakan Djawa Dipa yang anti feodal Jawa dengan berusaha menghilangkan hirarki bahasa dan tata krama Jawa kemudian berubah menjadi gerakan kesetaraan penguasaan alat-alat produksi yang dimonopoli oleh kolonialisme. Dengan demikian perlawanan harus meluas dari wilayah budaya Jawa ke seluruh wilayah Hindia Belanda, dari Djawa Dipa ke Hindia Dipa. Proses perubahan tersebut adalah sebuah dinamika gagasan, sebuah perdebatan kebudayaan. Keraguan dr. Tjipto Mangooenkoesoemo terhadap gerakan ini, karena bisa memecah kaum pergerakan dan karena yang harus dilawan terutama adalah kolonialisme Belanda dan bukan feodalisme Jawa, dijawab sendiri oleh perkembangan gagasan itu dalam masyarakatnya. Ketika gagasan kesetaraan diajukan dalam sebuah masyarakat feodal yang sekaligus masyarakat jajahan dan berhadapan dengan kenyataan yang lebih luas gagasan tersebut berkembang.
Taman Siswa adalah sebuah sintesa yang memadukan gagasan modern pendidikan dengan budaya lokal (Jawa) dalam perlawanan terhadap kolonialisme. Ki Hadjar Dewantara melihat bahwa kemerdekaan mensyaratkan kebanggaan akan identitas bangsa sendiri. Dalam sistem pendidikan kolonial identitas itu dihilangkan. Priyayi dan bangsawan pribumi yang terdidik dalam sistem pendidikan ini hanya mengimitasi budaya kolonial Barat. Mereka mengalami keterbelahan identitas kultural, karena mereka tidak pernah tahu akar budayanya sendiri, tempat di mana mereka hidup. Perdebatan terjadi ketika Ki Hadjar tetap memasukkan budaya Jawa dalam sistem pendidikan yang dibangunnya. Mereka yang tidak setuju menganggap Jawa sebagai entitas budaya sudah tidak signifikan, karena feodal dan anti demokrasi. Namun tujuan Ki Hadjar bukanlah konservasi budaya Jawa, tapi menumbuhkan kebanggaan atasnya sebagai identitas, sehingga kesetaraan (dengan budaya Barat) bisa tercapai. Dengan kesetaraan ini sintesa dengan gagasan modern Barat bisa terjadi dengan demokratis, dan tidak akan terjadi penjajahan budaya pada saat kemerdekaan nanti.
Soal kesetaraan inilah yang tidak diperhatikan oleh Sutan Takdir Alisjahbana dengan sikap ekstremnya untuk "menoleh ke Barat" dalam polemik kebudayaan 1930-an. Mereka yang menentang Sutan Takdir tidak mengingkari pencapaian-pencapaian kebudayaan Barat. Merekapun hasil dari pendidikan modern Barat. Yang mereka permasalahkan adalah landasan kebudayaan Indonesia sendiri yang harus kokoh, sehingga siap berdialog dengan budaya Barat. Sebab kalau tidak, "tolehan ke Barat" dari Sutan Takdir akan menjadi sebuah pengabdian.
Masuk pada bab II, tradisi perdebatan ini sempat berlanjut di awal 1950-an. Kelompok Surat Kepercayaan Gelanggang berusaha memperluas wawasan dengan orientasi internasionalnya sebagai "ahli waris kebudayaan dunia".. Sedangkan Lekra dalam Mukadimahnya mengajukan kebudayaan semi feodal-kolonial sebagai masalah pertama yang harus diselesaikan lewat penuntasan Revolusi Agustus 1945. Pertukaran gagasan ini tidak sempat berkembang jauh. Ketegangan politik tingkat tinggi, baik di level nasional dan perang dingin di level internasional, membawa bentuk dan isi "perbincangan budaya" ini ke arah yang sama sekali lain. Yang terjadi bukan dialog hubungan kebudayan dan politik, tapi intervensi politik dalam kebudayaan. Hasilnya adalah proses degradasi yang memuncak pada patahnya sebuah tradisi yang sudah dibangun sejak awal abad lalu.
Dalam konteks ini, bab I menjadi paparan dari kegagalan gerakan kebudayaan membuat politik menjadi lebih demokratis dan manusiawi. Buku Prahara Budaya yang dibahas dalam bab ini kemudian menjadi bantahan atas adanya perdebatan kebudayaan di tahun 1960-an. Karena Manifes Kebudayaan yang menawarkan gagasan baru di tengah dominasi wacana oleh Lekra tidak melahirkan sebuah dialog kebudayaan. Serangan terhadapnya dan juga balasan dari Manikebu sendiri sampai dengan pelarangannya melulu bersifat politis. Sayangnya perseteruan ini kemudian secara salah dilihat sebagai sebuah perdebatan kebudayaan. Sedangkan yang terjadi adalah tidak lebih dari sebuah pertarungan politik, dalam arti sempit perebutan kekuasaan, yang dibawa ke wilayah kebudayaan. Lebih parah lagi adalah pemahaman bahwa seluruh dinamika kebudayaan yang terjadi pada tahun-tahun itu menjadi sekedar perdebatan kebudayaan antara Lekra dan Manikebu. "Perdebatan" ini seolah-olah meneruskan proses pencarian yang sudah berlangsung sejak Djawa Dipa di tahun 1914. Padahal "perdebatan kebudayaan" itu tidak lebih dari mitos belaka. Sebuah mitos pemenggal sejarah.
Distribusi Gagasan dalam Perdebatan Kebudayaan yang Elitis
Sejak Djawa Dipa tahun 1914 sampai dengan gejolak kebudayaan yang terjadi di era 1960-an, ada satu hal yang tetap: Perdebatan itu diawali dan dilakukan oleh kalangan intelektual, mereka yang dekat dengan dunia "tulis menulis".. Di masa penjajahan, intelektual selalu datang dari kalangan priyayi dan bangsawan, karena merekalah yang mendapat kesempatan sekolah.
Djawa Dipa digerakkan pertama kali oleh Tjokrodanoejo dan Tjokrosoedarmo, keduanya pimpinan organisasi modern Serikat Islam dan anggota redaksi koran Sinar Hindia.. Taman Siswa dibangun oleh Ki Hadjar Dewantara, yang bernama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, seorang bangsawan Jawa yang berpendidikan Barat. Begitu pula mereka yang terlibat dalam Polemik Kebudayaan 1930-an seperti Sutan Takdir Alisjahbana, dr. Soetomo, Ki Hadjar Dewantara, Dr. Poerbatjaraka. Mereka semua berpendidikan modern Barat. Tokoh-tokoh kelompok Surat Kepercayaan Gelanggang, Lekra dan Manikebu, seperti Asrul Sani, Bakri Siregar, Wiratmo Soekito juga berasal dari kalangan intelektual.
Kaum intelektual adalah lapisan dari masyarakat yang paling terbuka terhadap pengaruh budaya lain dan gagasan-gagasan baru. Mereka menjadi muara pertemuan dua atau lebih kebudayaan sekaligus. Hasilnya tergantung pada daya cerna masing-masing dan terutama adalah bagaimana mereka mengembangkan gagasan tersebut, secara individual atau didialogkan dengan basis masyarakat pendukungnya (komunitasnya). Dalam konteks Indonesia, hal ini mempunyai beberapa konsekwensi:
Pertama, perdebatan itu bersifat elitis. Perdebatan atau polemik kebudayaan muncul dalam forum kaum elit, yakni di media massa. Rakyat kebanyakan tinggal menjadi penonton. Tanpa pendidikan yang memadai, mereka tidak memiliki suara dalam merumuskan masalah atau, apalagi, menawarkan jalan bagi kebuntuan budaya yang sedang terjadi. Kaum intelektual Indonesia mengerjakan tugas tersebut: merumuskan masalah dan menggagas kebudayaan terbaik untuk bangsa ini, untuk rakyat dan bukan bersama-sama rakyat. Di sini masalahnya adalah bagaiamana kaum intelektual melihat posisinya dalam masyarakat. Sebagai kelompok elit yang mengontrol perkembangan masyarakat, atau sebagai barisan pelopor pembawa gagasan baru yang progresif dalam masyarakat, untuk kemudian menyerahkan perkembangan gagasan itu pada kecerdasan massa
Kedua, sifat elitis ini dengan sendirinya tampak pada perlakuan mereka terhadap faktor rakyat yang sudah hidup dan menghidupi kebudayaannya sendiri. Ada dua sikap terhadap hal ini: Sikap pertama yakni meninjau ulang kebudayaan sendiri dengan menyempurnakannya dengan unsur-unsur kebudayaan sang pemenang. Sikap kedua adalah dengan menafikan sama sekali pertanyaan mengenai faktor rakyat dan kebudayaannya, dengan bergabung pada kebudayaan yang lebih unggul, entah itu kebudayaan Eropa atau kebudayaan dunia.
Pada pilihan pertama, yang nampak menonjol adalah pengakuan mengenai hubungan erat antara kekuasaan dan kebudayaan dan adanya komitmen kuat pada rakyat yang sedang tertindas. Komitmen itu kita lihat pada bagaimana Djawa Dipa menolak feodalisme Jawa yang menindas dan kemudian dilestarikan oleh kolonial Belanda dengan menjadikan elit feodal Jawa sebagai kaki tangan penindasannya. Posisi ini juga diambil Ki Hadjar Dewantara sejak mendirikan Taman Siswa sampai saat Polemik Kebudayaan tahun 1930'an, yaitu menjadikan budaya Jawa yang tidak feodalistik sebagai landasan identitas budaya untuk berkenalan dengan gagasan-gagasan baru yang progresif dalam sebuah pendidikan modern yang dibangunnya untuk rakyat jajahan. Posisi yang sama juga diambil oleh Lekra dengan "memadukan tradisi yang baik dan kekinian yang revolusioner".
Dalam pilihan kedua, Sutan Takdir dengan keras menolak tradisi dan menyatakan bahwa "zaman pra-Indonesia, zaman djahiliah ke-Indonesiaan" harus ditolak dengan mengasah "otak Indonesia manjamai otak Barat" dengan syarat "Individu harus hidup sehidup-hidupnya". Sutan Takdir tidak memperdulikan kenyataan bahwa sebagian besar rakyat hidup dalam kebudayan yang disebutnya "jahiliah" itu. Pernyataan yang kurang lebih sama kita temui dalam Surat Kepercayaan Gelanggang ketika berseru: "kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat", karena sebagai "ahli waris kebudayaan dunia" mereka ingin "kebudayaan kami teruskan dengan cara kami sendiri".. Pada pilihan ini, selain acuh pada realitas rakyat kebanyakan, terlihat kecenderungan untuk menolak hubungan antara kebudayaan dengan kekuasaan. Kebisuan Takdir mengenai kolonialisme Belanda maupun posisi Manifes Kebudayaan yang terang-terang menyebutkan bahwa seni dan sastra memiliki roh sendiri yang harus dilepaskan dari kepentingan politik tertentu merupakan contoh-contoh terang dari sikap ini.
Selain itu, kedua sikap di atas juga berpengaruh pada penekanan masing-masing pada bentuk dan isi kebudayaan. Pembobotan yang berat sebelah dari masing-masing posisi bisa kita lihat dari ekspresi kultural dan produksi kebudayaan mereka. Titik tekan dari posisi pertama yang diambil Ki Hadjar dan Lekra adalah lahan penggarapan budaya lokal dari rakyat bawah atau yang sedang tertindas. Bahaya dari posisi ini adalah terlalu menekankan isi, terutama pada komitmen sosialnya, sehingga pada praktek bisa terjerumus pada pengorbanan mutu estetika dan melahirkan slogan-slogan verbal belaka. Djawa Dipa sampai Ki Hadjar dengan Taman Siswanya belum menghadapi masalah ini, karena berhasil mencapai sintesa seimbang antara tradisi dan gagasan-gagasan modern. Pada Djawa Dipa sintesa ini mengubahnya menjadi Hindia Dipa. Sedangkan pada Lekra, walau salah satu semboyannya "tinggi mutu estetis dan tinggi mutu ideologis", dalam banyak hal jatuh juga dalam bahaya di atas. Karya-karya Lekra yang dikumpulkan Taufik Ismail dan DS Moeljanto dalam Prahara Budaya serta yang dikumpulkan Keith Foulcher dalam Social Committment, bisa dijadikan contoh. Terutama produksi karya Lekra periode 1960-1965, ketika mereka semakin membesar dan semakin dekat dengan kekuasaan. Hal yang sama terjadi ketika beberapa tokoh Lekra menolak Chairil Anwar dan menyatakan Angkatan 45 "sudah mampus", karena komitmen sosial Chairil Anwar dan Angkatan 45 yang mereka anggap kosong.
Pada posisi kedua, posisi yang diambil oleh Sutan Takdir kemudian oleh Surat Kepercayaan Gelanggang, lalu dengan malu-malu diteruskan Manifes Kebudayaan, cirinya terletak pada penolakan pada tradisi dan akar budaya sendiri. Kebudayaan lokal dianggap tidak lagi relevan dalam pembangunan masa depan, karena mereka mengandaikan ada nilai-nilai kemanusian universal. Bahaya pada titik ekstrim ini adalah keasyikan pada kecanggihan bentuk, sehingga tema dan produk kebudayaan terasa jauh terpisah dari problematika hidup konkret masyarakat sehari-hari. Dalam konteks inilah bisa dipahami mengapa mereka begitu mengagungkan Chairil Anwar sebagai tonggak revolusi bentuk kesusasteraan modern Indonesia, tanpa memusingkan komitmen sosialnya.
Ketiga, seperti kita lihat dalam rangkuman ketiga bab di atas, mulai dari Djawa Dipa sampai paruh pertama 1960-an, tampak bahwa kebudayaan di Indonesia mengalami pendangkalan dan penyempitan arti. Perjuangan anti feodal meluas menjadi perjuangan melawan kolonialisme, dilanjutkan dengan perpaduan tradisi dengan sistem pendidikan modern. Sampai Polemik kebudayaa 1930-an, yang selama ini disalahartikan sebagai pilihan "Barat" dan "Timur", sebenarnya adalah persoalan demokrasi, apakah tradisi tertentu perlu dibawa atau dibuang dalam pembangunan Indonesia masa depan. Hal ini berkait erat dengan bagaimana para pemikir kebudayaan membayangkan kehidupan yang lebih demokratis dalam Indonesia merdeka.
Sampai tahap ini, kebudayaan masih dipahami dalam artinya yang luas sebagai dunia makna yang mencakup keseluruhan bidang kehidupan manusia. Dalam tahun 1960-an kebudayaan dimengerti dalam artian yang sempit, yakni bidang seni dan sastra, sehingga polemik atau perdebatan kebudayaan pada periode sejarah ini, yang hanya sedikit tergambar pada awal 1950-an, harus dipandang sebagai polemik seni dan sastra belaka. Tahap yang paling memilukan adalah periode akhir paruh pertama 1960-an, di mana kebudayaan, yang sudah mengalami penyempitan arti tersebut, menjadi padang Kurusetra pertarungan politik dalam artinya yang sempit pula: perebutan kekuasaan. Tradisi demokratis pertukaran gagasan, polemik dan perdebatan kebudayaan Indonesia sebelum kemerdekaan, justru ternistakan ketika kemerdekaan itu sudah berada dalam genggaman.
Matinya Tradisi yang Demokratis: Lahirnya Rezim Fasis
Matinya tradisi yang demokratis itulah yang menjadi landasan kelanggengan politik dehumanisasi Orde Baru. Dari sekian perdebatan yang terjadi, kenyataan pahit harus dihadapi, bahwa tak satupun yang terlibat dalam perdebatan itu menjadi pemenang. Karena yang berjaya kemudian adalah kebudayaan militer: baju seragam mulai dari murid Taman Kanak-Kanak sampai pakaian menteri, upacara bendera dan baris berbaris menjadi fenomena nasional, pebredelan pertunjukan teater oleh seorang kopral Angkatan Darat, kurikulum pendidikan yang mempersiapkan murid untuk jadi skrup-skrup mesin besar kapitalisme, sampai monointerpretasi tentang apa yang dimaksud dengan "kebudayaan nasional".. Dan kalau ditambah dengan tragedi berdarah 1965 yang membuat kita kehilangan pekerja-pekerja terbaik kebudayaan di masanya, matinya tradisi yang demokratis itu telah menjadi landasan bagi lahirnya sebuah kebudayaan fasis primitif yang militeristik.
Perubahan politik di akhir abad lalu, yang banyak memangkas dominasi militer, ternyata tidak banyak membawa perubahan berarti di bidang kebudayaan, kegiatan kebudayaan terlihat hanya mengekor ke mana politik berbicara. Karena perubahan yang terjadi tidak menyentuh hal yang paling fundamnetal: basis ekonomi. Indonesia pasca Suharto meninggalkan beban krisis yang bukan kepalang. Di tengah krisis ekonomi kapitalisme lanjut ini, demikian tulis Trotsky 70 tahun lalu, menjadi lahan paling subur dari lahirnya rezim fasis dengan basis sosial borjuis kecil dan kelas menengah. Karena krisis ini telah merugikan kekuatan modal internasional, maka untuk membayar kerugian plus bunganya, satu-satunya pilihan adalah meningkatkan eksploitasi dan menghancurkan kekuatan kelas pekerja serta kekuatan-kekuatan demokratik lainnya. Semua itu tidak mungkin terlaksana dalam sebuh rejim yang demokratis. Inilah ancaman di depan mata kita sekarang.
Apa yang dilakukan pemerintahan kita yang populer sekarang, sudah menunjukkan gejala di atas. Penyelesaian krisis ekonomi ini masih diserahkan pada kekuatan modal, dengan tetap bernaung ada lembaga seperti IMF dan Bank Dunia. Kebijakan ini, seperti yang sudah dicontohkan negara-negara Amerika Latin di tahun 1980-an, hanya menunda krisis lebih lanjut. Kekuatan pemilik modal dengan segera akan meniadakan arti penting kemajuan budaya; memperkokoh warisan budaya kolonial dan feodal; memanipulasi demokrasi menjadi bentuk demokrasi formal kotak suara; dan menyingkirkan partisipasi kebudayaan yang lebih luas dan egaliter. Monopoli kapital akan melemahkan rakyat menyelesaikan masalahnya sendiri dan bergantung pada kekuatan modal. Contoh kongkrit telah diberikan: terbentuknya Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Di sini kebudayaan dimengerti semata-mata sebagai barang unik dan antik yang bisa diperjualbelikan layaknya komoditi lainnya. Jadi, bukan kebudayaan yang berjiwa, melainkan komoditi kultural untuk dijual. Dengan demikian kita masih menghadapi masalah yang sama: fasisme yang lebih canggih dengan dukungan penuh kekuatan modal internasional.
Tentukan Langkah Menuju Kebudayaan yang Demokratis, Ilmiah, dan Kerakyatan
Akhirnya, kebudayaan progresif macam apa yang seharusnya lahir dan berkembang untuk menjawab masalah tersebut di atas? Kebudayaan macam apa yang bisa mendorong lahirnya sebuah masyarakat yang demokratis, sebagai prasyarat dasar dari seluruh proses penyelesaian setiap masalah? Pada sejarah juga kita belajar.
Proses kematian tradisi perdebatan yang demokratis dalam kebudayaan Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak masa-masa revolusi dan awal-awal kemerdekaan. Di masa-masa transisi inilah arah perkembangan bisa bergerak ke mana saja, tergantung pada kekuatan mana yang menjadi pemenang sebagai pengontrol transisi tersebut. Seperti tampak pada bab I dan bab II, kontrol itu perlahan pindah ke tangan kekuatan-kekuatan politik praktis, dan ketika polarisasi kekuatan politik memuncak dan macet, pemegang senjatalah yang mengambil alih.
Kesalahan sejarah tersebut terjadi karena pada masa transisi dari masyarakat jajahan yang masih feodal menuju masyarakat egaliter yang demokratis tersebut tidak tuntas, walau kemerdekaan secara politis sudah dicapai. Kebudayaan yang nasional dan kerakyatan yang ditawarkan Lekra untuk menghancurkan kebudayaan semi kolonial dan semi feodal dalam masyarakat, sebenarnya sempat berkembang dalam bentuk pengorganisiran kelompok-kelompok kesenian tradisional, dengan hasil terangkatnya kebudayaan daerah. Namun semua terhenti pada tragedi berdarah 1965.
Dengan mengangkat kebudayaan daerah, yang dihidupi sebagian besar masyarakat, berarti juga terangkatnya kesenian rakyat. Perdebatan memang terjadi di tubuh Lekra, ketika sebagian tokohnya yang berlatar pendidikan modern menganggap kesenian rakyat tidak serta merta bisa dianggap sebagai kesenian yang bermutu. Dari perdebatan inilah orientasi kebudayaan dipertajam, antara peningkatan mutu kesenian menjadi semakin realis, atau lebih pada eksplorasi potensi luar biasa kesenian rakyat sebagai media pembebasan. Dengan mengorganisir kelompok-kelompok kesenian tradisional seperti ketoprak, wayang dan ludruk, yang masih banyak mengandung mistisisme, Lekra menjatuhkan pilihan pada kebudayaan yang dihidupi sebagian besar rakyat. Alasan yang sama mengapa Ki Hadjar tetap memasukkan kebudayaan Jawa yang tidak feodalistis pada sistem pendidikan modern yang dibangunnya dalam Taman Siswa. Garis kerakyatan dengan demikian dipraktekkan.
Sejak Djawa Dipa, Hindia Dipa, Taman Siswa dan Polemik Kebudayaan sampai kemerdekaan, sejarah gerakan kebudayaan Indonesia sudah menetapkan langkahnya untuk melawan kolonialisme dan feodalisme. Kolonialisme sebagai bentuk primitif imperialisme kekuatan modal sudah hilang saat kemerdekaan berhasil direbut. Namun setelah kemerdekaan, dia tetap menjadi ancaman. Di sini kebudayaan pun mengambil posisi melawan setiap model baru imperialisme. Karena itu kebudayaan pertama-tama juga harus bersifat nasional. Dengan identitas nasional inilah dialog yang setara dengan kebudayaan-kebudayaan yang ada di dunia bisa terjadi. Garis perlawanan terhadap feodalisme ditetapkan karena tidak lagi alasan untuk mempertahankannya, baik secara teoritis maupun prakteknya sehari-hari. Feodalisme mempersempit perkembangan gagasan-gagasan baru kebudayaan dan ilmu pengatahuan, karena menjadikannya milik segelintir elit feodal saja. Padahal kebudayaan harus juga bisa memberi ruang pada pencarian kebenaran obyektif, untuk kemudian mendukungnya dalam penyatuan teori dan praktek. Dengan demikian kebudayaan bisa dipertangungjawabkan oleh siapa saja. Karena itu kebudayaan harus bersifat ilmiah. Sifat ilmiah inilah yang ditinggalkan oleh para tokoh kebudayaan pada era 1960-an. Mereka malah masuk pada provokasi politik yang dangkal dan sesaat. Mereka mengingkari barisan pemikir kebudayaan yang berusaha mengembangkan intelektualisme sejak awal abad lalu.
Di bawah semua itu dasar utamanya adalah kebudayaan bersifat demokratis karena ia tercipta dan tumbuh secara alamiah sesuai dengan kehendak dan kemampuan rakyat negeri ini. Ia tidak dipaksakan ada hanya karena ia menjadi komoditi penting sebagai ornamen wisata yang menghasilkan devisa. Sifat demokratis yang melekat dalam kebudayaan nasional kita meluas bobotnya ketika ia mengajak dan memungkinkan semua orang berdialog bersama. Sifat dialog ini pula mengantarkan kita pada bentuk kebudayaan baru yang bukan sekedar angan-angan dan imajinasi tanpa sebab-akibat dari penciptanya. Dalam ruang-ruang yang demokratis inilah gagasan-gagasan pembebasan bisa lahir dan berkembang.
Alexander Supartono
"LEKRA vs MANIKEBU: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965."
Skripsi STF Driyarkara, Jakarta 2000
Lampiran 1
Surat Kepercayaan Gelanggang
Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
Ke-Indonesia-an kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh ujud pernyataan hati dan pikiran kami.
Kami tidak akan memberikan suatu kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirka suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan suara-suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia dan yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha-usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya ukuran pemeriksaan nilai.
Revolusi bagi kami adalah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikian kami berpendapat bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.
Dalam pememuan kami, kami mungkin tidak selalu asli, yang pokok ditemui itu ialah manusia. Dalam cara kami mencari, membahas dan menelaah kami membawa sifat sendiri.
Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.
Jakarta, 18 Februari 1950

Lampiran 2
Mukadimah LEKRA 1950
Adalah suatu kepastian, bahwa dengan gagalnya Revolusi Agustus 1945, Rakyat Indonesia sekali lagi terancam suatu bahaya, yang bukan saja akan memperbudak kembali Rakyat Indonesia di lapangan politik, ekonomi dan militer, tetapi juga di lapangan kebudayaan.
Gagalnya Revolusi Agustus 1945 berarti juga gagalnya perjuangan pekerja kebudayaan untuk menghancurkan kebudayaan kolonial dan menggantinya dengan kebudayaan yang demokratis, dengan kebudayaan Rakyat.
Gagalnya Revolusi Agustus 1945 berarti memberi kesempatan kepada kebudayaan-feodal dan imperialis untuk melanjutkan usahanya, meracuni dan merusak-binasakan budi-pekerti dan jiwa Rakyat Indonesia. Pengalaman menunjukkan, bahwa kebudayaan-feodal dan imperialis telah membikin Rakyat Indonesia bodoh, menanamkan jiwa-pengecut dan penakut, menyebarkan watak lemah dan rasa hina-rendah tiada kemampuan untuk berbuat dan bertindak.
Pendeknya: kebudayaan-feodal dan imperialis membikin rusak binasa batin rakyat Indonesia, membikin Rakyat Indonesia berjiwa dan bersemangat budak.
Masyarakat setengah-jajahan sebagaimana kita alami sekarang ini, masyarakat yang dilahirkan oleh sesuatu politik kompromi dengan imperialisme sudah dengan sendirinya tidak bisa lain dari dengan membuka pintu bagi kelangsungan kebudayaan-kolonial, sebagai persenyawaan antara kebudayaan-feodal dan kebudayaan imperialis.
Masyarakat setengah jajahan memerlukan kebudayaan kolonial sebagai salah satu senjata klas berkuasa untuk menindas klas yang diperintah; kebudayaan kolonial adalah senjata dari klas "elite" yang telah merasakan kenikmatan dan kemewahan yang dihasilkan oleh keringat dan darah Rakyat banyak.
Maka dengan demikian proses perkembangan kebudayaan Rakyat yaitu kebudayaan dari Rakyat banyak yang merupakan lebih dari 90% dari jumlah seluruh nasion (nation) Indonesia, akan tertindas dan tertekan kemajuannya. Tetapi sebaliknya kebudayan anti-Rakyat kebudayaan-feodal dan imperialis akan kembali merajalela lagi.
Kedudukan setengah jajahan dari tanah-air Indonesia berarti pula bahwa Indonesia terseret ke dalam arus peperangan yang sedang disiapkan oleh negeri-negeri imperialis. Peperangan imperialis adalah rintangan yang sebesar-besarnya bagi perkembangan kebudayaan Rakyat.
Maka kami yang bersedia menjadi pekerja Kebudayaan-Rakyat, mempunyai kewajiban mutlak menghalau kebudayaan-kolonial dan mempertahankan Kebudayaan Rakyat.
Untuk ini kami yang bersedia mennjadi pekerja Kebudayaan Rakyat mempersatukan diri dan menyusun kekuatan untuk bertahan serta mengadakan perlawanan terhadap setiap usaha yang hendak mengembalikan kebudayaan-kolonial, kebudayaan kuno, yang reaksioner itu.
Kami pekerja-Kebudayaan-Rakyat akan mempertahankan dan memperkuat benteng Kebudayaan-Rakyat (Kultur Rakyat). Untuk maksud-tujuan ini, maka kami menyusun diri dalam lembaga KEBUDAYAAN RAKYAT berdasarkan konsepsi Kebudayan Rakyat.
Konsepsi Kebudayaan Rakyat
I
Kesenian, ilmu dan industri adalah dasar-dasar dari kebudayaan. Apabila kita sungguh-sungguh mau menjadikan kebudayaan kita indah, gembira dan bahagia, maka kita harus menguasai dan mencurahkan perhatian kita terhadap kesenian, ilmu dan industri.
Kesenian, ilmu dan industri baru bisa menjadikan kehidupan Rakyat indah, gembira dan bahagia apabila semuanya ini sudah menjadi kepunyaan Rakyat. Kenyataan sekarang menunjukkan, bahwa ini belum menjadi kepunyaan Rakyat, tetapi masih menjadi kepunyaan lapisan atas, klas "elite" yang jumlahnya sangat sedikit dari pada jumlah nation.
Maka adalah tugas daripada Rakyat Indonesia untuk membuka segala kemungkinan supaya bisa mengecap kesenian, ilmu dan industri. Maka adalah kewakiban Rakyat Indonesia untuk memperjuangkan agara kesenian, ilmu dan Industri tidak dimonopoli oleh segolongan kecil lapisan atas dan dipergunkan untuk kepentingan dan kenikmatan golongan kecil itu. Rakyat Indonesia harus berjuang untuk menguasai dan memilik kesenian, ilmu dan industri..
II
Tujuan Rakyat Indonesia adalah mendirikan Republik Demokrasi Rakyat, di mana terdapat kebebasan bagi perkembangan ekonomi Rakyat, di mana terdapat kebebasan bagi perkembangan ilmu dan kesenian Rakyat. Pendeknya di mana terdapat perkembangan Kebudayaan Rakyat yang bersifat nasional dan berdasarkan ilmu, di mana terdapat kebebasan perkembangan pribadi (individuality) berjuta-juta Rakyat. Dengan singkat: tujuan Rakyat Indonesia ialah Revolusi Demokrasi Rakyat. Rakyat adalah satu-satunya sumber kekuasaan dalam Republik Rakyat. Sonder melalui Revolusi ini, maka untuk menguasai kesenian, ilmu dan industri, adalah impian belaka. Selanjutnya seluruh Rakyat Indonesia harus menentang tiap-tiap usaha perang yang disiapkan oleh negara-negara imperialis.
III
Perjuangan Kebudayaan Rakyat adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjuangan Rakyat umum. Ia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan terutama dari perjuangan klas Buruh dan Tani, yaitu klas yang menjadi pemimpin dan tenaga terpenting dan pokok dalam perjuangan Rakyat.
Fungsi daripada Kebudayaan Rakyat (kultur Rakyat) sekarang ialah: menjadi senjata perjuangan untuk menghancurkan imperialisme dan feodalisme. Ia harus menjadi stimulator (Pendorong) dari Massa, menjadi sumber yang senantiasa mengalirkan begeestering (kesegaran jiwa) dan api revolusi yang tak kunjung padam. Ia harus menyanyikan, memuja, mencatat perjuangan kerakyatan, dan menghantam, membongkar, menggulingkan dan mengalahkan imperialisme dan feodalisme. Kebudayaan Rakyat berkewajiban mengajar dan mendidik Rakyat untuk menjadi pahlawan dalam perjuangannya.
IV
Kolonialisme di masa lampau dan setengah-kolonialisme dewasa ini menimbulkan faktor-faktor di kalangan pergerakan Rakyat umumnya dan pergerakan Buruh dan Tani khususnya, yang merugikan perkembangan Kebudayaan Rakyat. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Tiadanya kesedaran, bahwa perjuangan Rakyat terutama Perjuangan Buruh dan Tani tak mungkin dipisahkan dengan kebudayaan.
2. Sentimen (perasaan) yang picik yang berwujud dalam prasangka (prejudice) antipatik (tidak suka, benci) terhadap segala sesuatu yang berbau dan atau yang ada dengan kebudayaan, sebagai akibat pandangan yang menyamaratakan Kultur Rakyat dengan Kultur degenerasi-burjuis.
3. Tidak adanya dorongan dari Gerakan Rakyat, terutama gerakan Buruh dan Tani sendiri, kepada barisan kadernya untuk juga memperhatikan masalah Kultur (Kebudayaan).
4. Ketidak mampuan (impotensi) dari kawan-kawan seniman Rakyat sebagai pekerja Kebudayaan Rakyat, untuk menarik garis Kultur Rakyat dengan Kultur-degenerasi-borjuis, meskipun pergerakan Rakyat sendiri memberikan bahan-bahan yang melimpah-limpah.
5. Impotensi dari gerakan Rakyat, terutama dari gerakan Buruh dan Tani dalam menarik golongan intelgensia dan pemuda-pelajar yang berpikiran maju ke dalam barisannya.
V
Sikap kebudayaan Rakyat terhadap kebudayaan asing atau luar Negeri sama sekali tidak bersikap bermusuhan. Kebudayaan Asing yang progressif akan diambil sarinya sebanyak-banyaknya untuk kemajuan perkembangan gerakan kebudayaan rakyat Indonesia. Tetapi dalam hal mengambil sari ini, kita tidak akan menjiplak secara membudak.
Kebudayaan asing akan diambil sarinya dengan cara kritis atas dasar kepentingan praktis dari Rakyat Indonesia. Demikian pula kebudayaan Indonesia kuno tidak akan dibuang seluruhnya, tetapi juga tidak akan ditelan mentah-mentah. Kebudayaan kuno akan diterima dengan kritis untuk meninggikan tingkat kebudayaan Indonesia baru yaitu Kebudayaan demokrasi Rakyat.
VI
Untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan Rakyat, untuk membangun barisan kebudayaan, supaya menjadi kekuatan dalam rtevolusi demokrasi Rakyat, didirikan "LEMBAGA KEBUDAYAAN RAKYAT", yang menuju kultur Rakyat atau Kultur Demokrasi Rakyat. Di samping bekerja untuk gerakan massa sehari-hari, bagaimanapun harus diusahakan oleh barisan kader Massa untuk memperhatikan, menyelidiki masalah Kultuur, serta menguasainya selaku pekerja Kebudayaan Rakyat, untuk dijadikan senjata perjuangan anti-imperialisme.
Hal demikian kita harus lakukan, justru karena imperialisme berhasil mengadakan infiltrase di kalangan klas borjuis Nasional yang tidak setia pada Revolusi Agustus 1945.
Kami mengajak kepada barisan kader gerakan Rakyat, terutama kader Buruh dan Tani, kami mengajak kepada kaum Intelegensia dan Pemuda Pelajar yang Progresif dan Patriotis, untuk mendisiplin dirinya menaruh perhatian terhadap masalah Kultur Rakyat. Kami berseru supaya untuk maksud ini menggunkan sebaik-baiknya organisasi LEMBAGA KEBUDAYAAN RAKYAT.

Lampiran 3
Mukadimah LEKRA 1959
Menyadari bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan, dan bahwa pembangunan kebudayaan Indonesia-baru hanya dapat dilakukan oleh rakyat, maka pada hari 17 Agustus 1950 didirikanlah Lembaga Kebudayaan Rakyat, disingkat Lekra. Pendirian ini terjadi di tengah-tengah proses perkembangan kebudayaan, yang, sebagai hasil keseluruhan dayaupaya manusia secara sedar memenuhi, setinggi-tigginya kebutuhan hidup lahir dan batin, senantiasa maju dan tiada putus-putusnya.
Revolusi Agustus 1945 membuktikan, bahwa pahlawan di dalam peristiwa bersejarah ini, seperti halnya di dalam seluruh sejarah bangsa kita, tiada lain adalah rakyat. Rakyat Indonesia dewasa ini adalah semua golongan di dalam masyarakat yang menentang penjajahan. Revoluis Agustus adalah usaha pembebasan diri rakyat Indonesia dari penjajahan dan peperangan penjajahan serta penindasan feodal. Hanya jika panggilan sejarah Revolusi Agustus terlaksana, jika tercipta kemerdekaan dan perdamaian serta demokrasi, kebudayaan rakyat bisa berkembang bebas. Keyakinan tentang kebenaran ini menyebabkan Lekra bekerja membantu pergulatan untuk kemerdekaan tanah air dan untuk perdamaian di antara bangsa-bangsa, di mana terdapat kebebasan bagi perkembangan kepribadian berjuta rakyat.
Lekra bekerja khusus di lapangan kebudayaan, dan untuk masa ini terutama di lapangan kesenian dan ilmu. Lekra menghimpun tenaga dan kegiatan seniman-seniman, sarjana-sarjana dan pekerja kebudayaan lainnya. Lekra membantah pendapat bahwa kesenian dan ilmu bisa terlepas dari masyarakat. Lekra mengjak pekerja-pekerja kebudayaan untuk dengan sedar mengabdikan dayacipta, bakat serta keahlian merreka guna kemajuan Indonesia, kemerdekaan Indonesia, pembaruan Indonesia.
Zaman kita dilahirkan oleh sejarah yang besar, dan sejarah bangsa kita telah melahirkan puter-putera yang baik, di lapangan kesusasteraan, senibentuk, musik maupun di lapangan-lapangan kesenian dan ilmu. Kita wajib banggga bahwa bahwa bangsa kita terdiri dari suku-suku yang masing-masingnya mempunyai kebudayaan yang bernilai. Keragaman bangsa kita ini menyediakan kemungkinan yang tiada terbatas untuk penciptaan yang sekaya-kayanya serta seindah-indahnya.
Lekra tidak hanya menyambut sesuatu yang baru; Lekra memberikan bantuan yang aktif untuk memenangkan setiap yang baru dan maju. Lekra membantu aktif perombakan sisa-sisa "kebudayan" penjajahan yang mewariskan kebodohan, rasa rendah serta watak lemah pada sebagian bangsa kita. Lekra menerrima dengan kritis peninggalan-peninggalan nenek moyang kita, mempelajri dengan seksama segala segi peninggalan-peninggalan itu, seperti halnya mempelajari dengan seksama pula hasil-hasil penciptaan klasik maupun baru dari bangsa lain yang mana pun, dan dengan ini berusaha meneruskan secara kreatif tradisi yang agung dari sejarah bangsa kita, menuju penciptaan kebudayaan baru yang nasional dan ilmiah. Lekra menganjurkan pada anggota-anggotanya, tetapi juga pada seniman-seniaman, sarjana-sarjana dan pekerja-pekerja kebudayaan lainnya di luar Lekra, untuk secara dalam mempelajari kenyataan, mempelajari kebenaran yang hakiki dari kehidupan, dan untuk bersikap setia kepada kenyataan dan kebenaran.
Lekra menganjurkan untuk mempelajari dan memahami pertentangan-pertentangan yang berlaku di dalam masyarakat maupun di dalam hati manusia, mempelajari dan memahami gerak perkembangannya serta hari depannya. Lekra menganjurkan pemahaman yang tepat atas kenyataan-kenyataan di dalam perkembangannya yang maju, dan menganjurkan hak ini, baik untuk cara kerrja di lapangan ilmu, maupun untuk penciptaan di lapangan kesenian. Di lapangan kesenian Lekra mendorong inisiatif yang kreatif, mendorong keberanian kreatif, dan Lekra menyetujui setiap bentuk, gaya, dsb., selama ia setia pada kebenaran dan selama ia mengusahakan keindahan artistik yang setinggi-tingginya.
Singkatnya, dengan menolak sifat anti-kemanusiaan dan anti-sosial dari kebudayaan bukan-rakyat, dan menolak perkosaan terhadap kebenaran dan terhadap nilai-nilai keindahan, Lekra bekerja untuk membantu manusia yang memiliki segala kemampuan untuk memajukan dirinya dalam perkembangan kepribadian yang bersegi banyak dan harmonis.
Di dalam kegiatannya Lekra menggunakan cara saling-bantu, saling-kritik dan diskusi-diskusi persaudaran di dalam masalah-masalah penciptaan. Lekra berpendapat, bahwa secara tegara berpihal pada rakyat dan mengabdi kepada rakyat, adalah satu-satunya jalan bagi seniman-seniman, sarjana-sarjana maupun pekerja-pekerja kebudayaan lainnya untuk mencapai hasil tahanuji dan tahan waktu. Lekra mengulurkan tangan kepada organisasi-organisasi kebudayaan yang lain dari aliran atau keyakinan apa pun, untuk bekerja sama dalam pengabdian ini.

Lampiran 4
Manifes Kebudayaan
Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan Nasional kami.
Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional, kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan dan sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai Bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa.
Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Jakarta, 17 Agustus 1963
Drs. H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin, D.S. Moeljanto, Ras Siregar, Hartojo Andangdjaja, Sjahwil, Djufri Tanissan, Binsar Sitompul, Drs. Taufiq A.G. Ismail, Gerson Pyok, M. Saribi Afn., Pernawan Tjondronagaro, Drs. Boen S. Oemarjati.
Penjelasan Manifes Kebudayan
I. Pancasila sebagai Falsafah Kebudayaan
Dalam pengertian kami yang bersumber dalam hikmah Pancasila, kebudayaan bukanlah kondisi obyektif, apalagi hasil sebagian barang mati.
Dalam pengertian kami kebudayaan adalah perjuangan manusia sebagai totalitas dalam menyempurnakan kondisi-kondisi hidupnya. Kebudayaan nasional bukanlah semata-mata ditandai oleh "watak nasional", melainkan merupakan perjuangan Nasional dari suatu bangsa sebagai totalitas dalam menyempurnakan kondisi-kondisi hidup nasionalnya. Predikat kebudayaan adalah perjuangan dengan membawa konsekwensi-konsekwensi yang mutlak dari sektor-sektornya.
Sepenuhnya pengertian kami tentang kebudayaan sirama dengan Pancasila karena Pancasila adalah sumbernya, sebagaimana Bung Karno mengatakan:
"Maka dari itu jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu menjadi suatu realiteit, yakni jika kami ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nasionaliteit yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan spciale rechtvaardigheit, ingin hidup sejahtera dan aman, denan ketuhanan yang luas dan sempurna, janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan dan sekali lagi perjuangan".
Maka pengertian Kebudayaan Nasional adalah perjuangan untuk memperkembangkan dan mempertahankan martabat martabat kami sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa. Jika kepribadian Nasional yang merupakan implikasi dari Kebudayan Nasional kita adalah apa yang oleh Presiden Sukarno dirumuskan sebagai "freedom to be free", maka Kebudayaan Nasional kita digerakkan oleh suatu Kepribadian Nasional yang membebaskan diri dari penguasaan (campur tangan) asing, tetapi bukan untuk mengasingkan diri dari masyarakat bangsa-bangsa, melainkan justru untuk menyatakan diri dengan masyarakat bangsa-bangsa itu secara bebas dan dinamis sebagai persyaratan yang tidak ditawar bagi perkembangan yang pesat dari Kepribadian dan Kebudayaan Nasional kita yang pandangan dunianya bersumber pada Pancasila.
Kami ingin membuktikan, bahwa falsafah demokrasi Pancasila menolak semboyan "The End justifies the Means" (Tujuan menghalalkan cara), sehingga sebagai falsafah demokrasi Pancasila adalah humanisme kultural yang pengejawantahannya harus kami perjuangkan dalam setiap sektor kehidupan manusia. Semboyan akultural "The End justifies the Means" tersebut yang tidak mengakui perbedaan antara tujuan denan cara, mengakibatkan orang menuju tujuan dengan menyisihkan pentingnya cara mencapai tujuan itu.
Demikian umpamanya di bidang penciptaan karya-karya kesenian di mana orang lebih mementingkan aspek propagandanya daripada aspek keseniannya adalah contoh dari pelaksanaan semboyan "The End justifies the Means" sebagai semboyan yang bertentangan dengan Pancasila. "The End justifies the Means" - apabila orang mengemukakan apa yang bukan kesusasteraan sebagai kesusasteraan, apa yang bukan kesenian sebagai kesenian, apa yang bukan ilmu pengetahuan sebagai ilmu pengetahuan, dan sebagainya.
Perkosaan seperti bukanlah cara insaniah, melainkan cara alamiah. Perkosaan adalah mentah, sedang penciptaan karya mengalahkan kementahan dengan cara manusia untuk menciptakan dunia yang damai. Kesenian sebagai penciptaan karya manusia akan abadi hanya apabila bukan saja tujuannya adalah kemanusiaan, tetapi juga caranya kemanusiaan dan itulah implikasi yang paling hakiki dari Pancasila sebagai falsafah demokrasi yang kami perjuangkan secara prinsipal.
Adapun bahaya bagi kebudayaan yang paling mengancam datangnya dari wilayahnya sendiri, tetapi yang terang ialah bahwa sumber pokok dari bahaya tersebut terletak dalam kecenderungan-kecenderungan fetisy sebagai kecenderungan nonkreatif. Adapun kecenderungan tersebut manifestasinya tidak hanya dalam pendewaan, melainkan terdapat juga dalam persetanan sebagai umpamanya kami kenal dalam wilayah kesenian. Sebagaimana fetisy-fetisy itu bermacam-macam, demikian pulalah kesenian fetisy. Sebagaimana terdapat fetisyisme dari juwa pelindung di samping fetisyisme dari jiwa pendendam, demikianlah terdapat kesenian yang mengabdi kepada jiwa pelindung dengan memberikan sanjungan-sanjungan secara berlebih-lebihan pula. Tidak jarang terjadi bahwa kedua macam kesenian fetisy itu mempunyai pretensi "kesenian revolusioner", tetapi dalam hal demikian, maka kesenian fetsy itu kita namakan kesenian dengan pengabdian palsu.
Kesenian kreatif, berlawanan dengan kesenian fetisy, tidak mencari sumbernya dalam fetisy, melainkan dalam dirinya sendiri, sehingga dengan ini kami menolak fatalisme dalam segala bentuk dan manifestasinya. Kesenian kreatif yang kami perjuangkan dengan menyokong Revolusi tidaklah bersumber dalam fetisyisme dari jiwa pelindung, sebaliknya mengkritik penyelewengan-penyelwengan dari Revolusi tidaklah pula bersumber dalam fetisyisme jiwa pendendam. Kami tidak memperdewakan Revolusi, karena kami tidak mempunyai pengabdian palsu, sebaliknya kami pun tidak mempersetankan Revolusi, karena kami tidak pula mempunyai pengabdian palsu. Tetapi kami adalah revolusioner.
Kami tidak lebih daripada manusia lainnya, direncanakan namun merencanakan, diciptakan namun menciptakan. Itu saja dan tidak mempunyai pretensi apa-apa.Kami pun tidak akan merasa takut kepada kegagaln-kegagalan kami sendiri, karena kegagalan-kegagalan itu bukanlah akhir perjuangan hidup kami.
II Kepribadian dan kebudayaan Nasional
Dalam dunia kesenian Indodesia dikenal ";;humanisme universal". Tafsiran kami tentang istilah tersebut adalah sebagai berikut:
Apabila dengan "humanisme universal"dimaksudkan pengaburan kontradiksi antagonis, kontradiksi antara kawan dengan lawan, maka kami akan menolak "humanisme universal" itu. Misalnya sebagaiamana yang dilakukan oleh NICA dahulu, di mana diulurkan kerjasama kebudayaan di satu pihak, tetapi dilakukan aksi militer di lain pihak.
Sebaliknya kami menerima "humanisme universal" apabila dimaksudkan, bahwa kebudayaan dan kesenian itu bukanlah semata-mata nasional, tetapi juga menghayati nilai-nilai universal, bukan semata-mata temporal, tetapi juga menghayati nilai-nilai eternal.
Apabila dengan kebudayaan universal itu dimaksudkan bukan kondisi obyektif, melainkan perjuangan manusia sebagai manusia sebagai totalitasdalam usahanya mengakhiri pertentangan antara manusia dan kemanusiaan, maka kami menyertujui ajakan untuk meneruskan kebudayaan universal itu, karena dengan demikian kebudayaan universal itu merupakan "kekuatan yang menggerakkan sejarah", dan itu sepenuh-penuhnya sama dengan pikiran kami, bahwaw kebudayaan uniersal itu adalah perjuanan dari budi nurani universal dalam memerdekaan setiap manusia dari rantai-rantai belenggunya, perjuangannya yang memperjuangkan tuntutan-tuntutan Rakyat Indonesia, karena rakyat di mana-mana di bawah kolong langit itu tidak mau ditindas oleh bangsa-bangsa lain. Tidak mau dieksploitasi oleh golongan-golongan apa pun, meskipun golongan itu adlaah bangsanya sendiri. Mereka menuntut kebebasan dari kemiskinan dan kebebasan dari rasa takut, baik yang karena ancaman di dalam negeri, maupun yang karena ancaman dari luar negeri. Mereka menuntut kebebasan untuk menggerakkan secara konstruktif aktivitas sosialnya, untuk mempertinggi kebahagiaan individu dan kebahagiaan masyarakat. Mereka menuntut kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, yaitu menuntut hak-hak yang lazimnya dinamakan demokrasi.
Jadi "humanisme universal" janganlah menyebabkan orang bersikap indefferent (acuh tak acuh) terhadap semua aliran (politik), sehingga dengan "humanisme universal" orang harus toleran pada imperialisme dan kolonialisme. Kami tetap mencari garis pemisah secara tegas antara musuh-musuh dan sekutu-sekutu Revolusi, musuh-musuh dan sekutu-sekutu Kebudayaan, tetapi ini tidak berarti bahwa kami mempunyai sifat sektaris dan chauvinis, karena sikap yang demikian ituadalah justru mengaburkan garis pemisah tersebut.
Musuh kami bukanlah manusia, karena kami adalah ank manusia. Masuh kami adalah unsur-unsur yang membelenggu manusia, dan karenanya kami ingin membebaskan manusia itu dari rantai-rantai belenggunya. Dalam perlawan kami terhadap musuh-musuh kami itu kami tetap berpegang teguh pada pendirian dan pengertian, bahwa sejahat-jahatnya manusia namun ia masih tetap memancarkan sinar cahaya Ilahi, sehingga konsekuensi kami ialah, bahwa kami harus menyelamatkan sinar cahaya Ilahi tersebut.
Maka kepercayaan yang kami kumandangkan ialah, bahwa manusia adalah makhluk yang baik, dan karena itulah maka kami bercita-cita membangun suatu masyarakat manusia yang baik itu, sesuai dengan garis-garis sosialisme Indonesia.
Dengan begitu teranglah sudah posisi terhadap masalah "humanisme universal". Kami menampilkan aspirasi-aspirasi nasional, yaitu pengarahan-pengarahan kepada pembedaan diri di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa, bagi merealisasikan kehormatan, martabat (dignitas), prestise dan pengaruh, tetapi kami ingin menjaga agar pengarahan-pengarahan tersebut tidak menuju ke arah kesombongan nasional dan chauvinisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Adapun implikasi dari aspirasi-aspirasi nasional ini ialah, bahwa bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa mempunyai kebebasan untuk mengembangkan kepribadiannya, artinya bangsa Indonesia dapat terus menerus menyusuaikan diri dengan perkembanan sekitarnya, tetapi caranya adalah unik dan dinamis. Untuk dapat mempunyai sifat dinamis inilah, maka bangsa Indonesia harus mempunyai kesenian sebagai sektor kehidupan kebudayaan, yaitu kesenian yang sepenuhnya merupakan pancaran kebebasan, kesungguh-sungguhan yang sejujur-jujurnya.
III Politisi dan Estetisi
Dalam dunia kesenian Indonesia juga dikenal istilah "realisme sosialis". Menurut sejarahnya, penafsiran realisme sosialis itu ada dua macam:
Yang pertama: Realisme sosialis langsung merupakan kelanjutan dari konsepsi kultural Josef Stalin. Dalam tahun-tahun 30-an dengan berkembangnya fetisy, barang pujaan yang seakan-akan mengundang suatu kekuatan gaib, maka kebudayaan Rusia terancam dengan amat mengerikan. Dengan Stalin maka metode kritik seni adalah deduktif, artinya konsepsinya telah ditetapkan lebih dahulu untuk "menertibakan" kehidupan kesenian dan kebudayaan. Ciri pokok dari kesenian yang telah "ditertibkan" itu ialah adanya konsepsi yang sama dan sektaris tentang kritik seni. Itulah sebabnya, maka jiwa obyektif yang berpangkal pada budi nurani universal tidak selaras dengan realisme sosialis, sehingga kami menolak realisme sosialis dalam perngartian itu, dimana dasarnya ialah paham politik di atas estetik.
Yang kedua: Realisme sosialis menurut kesimpulan kami dari jalan pikiran Maxim Gorki, yang dipandang sebagai otak dari realisme sosialis itu, yakni bahwa sejarah yang sesungguhnya dari rakyat pekerja tak dipelajari tanpa suatu pengetahuan tentang dongengan kerakyatan yang secara terus menerus danpasti menciptakan karya sastra yang bermutu tinggi seperti Faust, Petualangan Baron von Munchaussen, Gargantua dan Pantagruel, Thyl Eulensiegel-nya Coster, dan Prometheus Disiksa karya Shelley, karena dongengan kerakyatan kuno purbakala itu menyertai sejarah dengan tak lapuk-lapuknya dan dengan cara yang khas.
Di situ sebenarnya Gorki telah menggariskan politik sastra yang berbeda dengan realisme sosialis ala Stalin, karena pada hakikatnya Gorki telah menempuh politik sastra universal. Sesungguhnya politik sastranya itu bersumber dalam kebudayaan tidak sebagai suatu sektor politik yang searah dengan garis Manifes ini.
Berdasarkan fenomena-fenomena sejarah, maka seorang ahli sejarah mengatakan, bahwa kebudayaan dari suatu periode senantiasa kebudayaan dari kelas yang berkuasa. Akan tetapi sejarah juga mengatakan, bahwa justru karena tidak termasuk dalam kelas yang berkuasa, maka orang berhasil membentuk keuatan baru yang terbentuk di tengah-tengah penindasan kekuatan lama, merupakan faktor positif yang menentukan perkembangan kebudayaan dan kesenian.
Sebagaimana terjadi di Perancis, sejarah mengajarkan, bahwa kekuatan yang dibentuk oleh borjuasi revolusioner, adalah keuatan yang menentukan dalam melawan penindasan monarki mutlak. Tetapi sayang, bahwa elan kreativitas yang menyala-nyala bersama-sama kekuatan baru itu menjadi padam setelah kekuatan borjuasi revolusioner itu menjadi sempurna. Bahkan kekuatan politik yang sempurna itu merintangi kebudayaan dan kesenian. Penindasan baru yang dilakukan oleh kelas baru itu di bidang kesenian dan kesusasteraan khususnya telah menyebabkan timbulnya suatu kekuatan baru dengan lahirnya Angkatan 1830 ayng mula-mula dipelopori oleh Victor Hugo dan kemudian dilanjutkan oleh Theophile Gautier.
Maka dapatlah kami mengambil kesimpulan, bahwa paham politik di atas estetik yang merumuskan politik adalah primer dan estetik adalah sekunder, dilihat dari sudut kebudayaan dan kesenian adalah suatu utopia. Sebab paham itu jikalau dilaksanakan dengan jujur hanya akan memupuk dan menghasilkan perasaan-perasaan kekecewaan, dan jikalau dilaksanakan dengan tidak jujur akan dapat merupakan tipu muslihat kaum politisi yang ambisius.
Sebagai realis kami tidak mungkin menerima setiap bentuk utopia karena menyadari, bahwa dunia ini bukan surga. Karena berpikir secara dialektik, maka kami mengakui kenyataan-kenyataan lingkungan sosial kami senantiasa mengandung masalah-masalah, dan setiap rintangan yang kami jawab akan menimbulkan tantangan-tantangan baru. Oleh karena itu kami tidak pernah berpikir tentang suatu zaman, di mana tak ada masalah lagi karena setiap pikiran yang demikian itu adalah terlalu "idelais" dan karenanya tidak ilmiah.
Pekerjaan seorang seniman senantiasa harus dilakukan di tengah-tengah dunia yang penuh dengan masalah-masalah, analaog dengan pekerjaan seorang dokter yang senantiasa harus dilakukan di tengah-tengah dunia yang penuh dengan penyakit-penyakit. Apabila dunia ini sudah sempurna, tidak perlu lagi adanya seniman. Oleh karena itu paham yang sudah dirumuskan, bahwa politik adalah primer dan estetik adalah sekunder tidak memahami realisme, karena apabila kekuatan politik telah menjadi sempurna, maka tidak perlu lagi kesusasteraan dan kesenian, tidak perlu lagi estetika. Seandainya pada suatu ketika kekuatan politik yang dibentuk itu telah menjadi sempurna, maka masalah apakah yang akan dibahas oleh kesenian revolusioner yang sebagai estetik murni baru mulai sesudah itu? Tidak lebih dan tidak kurang dari masalah ayng dibahas oleh kaum estet, yatu mereka yang mempunyai paham estetik di atas politik, sehingga bersifat borjuis.
Tidaklah berlebih-lebihan kiranya apabila kami mengambil kesimpulan, bahwa paham politik di atas estetik itu tidak memberikan tempat kepada estetik sebelum pembentukan kekuatan politik menjadi sempurna, sehingga selama jangka waktu pembentukan kekuatan politik itu tidak ada persoalan tentang estetik, sedangkan paham estetik di atas politik hanya dapat dilaksanakan apabila mendapat sandaran kekuatan politik yang sempurna pula.
Maka kami dapat menarik kesimpulan selanjutnya, bahwa kedua paham kesenian tersebut mengandung kontradiksi-kontradiksi. Berbeda dengan itu adalah paham kami, yaitu paham yang tidak emngorbankan politik bagi estetik, tetapi sebaliknya, tidak pula mengorbankan estetik bagi politik. Karena pengorbanan tersebut tidak menunjukkan adanya dinamika, dan di dalam hal tidak adanya dinamika, maka fusngsi estetik murni adalah suatu imperialisme estetika. Dalam kondisi ini, maka transformasi revolusioner dari negara kapitalisme ke arah negara sosialis tidak akan mengubah secara revolusioner kondisi-kondisi kulturalnya. Berlawanan dengagn itu kami menghendaki perubahan kondisi-kondisi kultural itu secara revolusioner menuju ke arah masyarakat sosialis-Pancasilais.
Menurut keyakinan kami, maka masyarakat sosialis-Pancasilais yang kami perjuangkan secara kultural-revolusioner itu adalah suatu keharusan sejarah yang tidak dapat dihindarkan oleh siapapun, tetapi terutama oleh kami sendiri.
Demikianlah Penjelasan Manifes ini diumumkan.
Jakarta, 17 Agustus 1963
Literatur Pancasila
terdiri dari
BungKarno: "Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme"
Bung Karno: Pidato "Lahirnya Pancasila"
Dr. H. Roelan Abdulgani: "Manipol-Usdek, Pidato Radio".
Wiratmo Soekito: "Peranan Institusi-institusi dalam Memperkembangkan SosialismeKreatif".
Harian Semesta: "Rivalitas Kelas Persoalan Sosial".
ooo0ooo